***
Rabu, jam 12.45 – lewat tengah malam.
Di lantai satu rumah besar bak vila sang raja disesaki petugas kepolisian, juga. Sementara itu, tidak menghiraukan para polisi yang hilir mudik mengumpulkan barang bukti, Nunik pun tak kalah sibuknya. Dengan alasan ingin membantu pihak kepolisian, ia “mengacak-acak” kamar pribadi mendiang Ana.
Tatapannya membentur lusinan tas berbagai merek di satu lemari, Nunik tersenyum seribu makna. “Bingo…”
Di lantai bawah, sejak sepuluh menit yang lalu Doni hanya mematung di sudut kiri perapian yang tak pernah terpakai sekali pun. Entah siapa yang mendesain bangunan ini, terlalu kebarat-baratan, begitu yang selalu diprotes Doni kala sang ayah masih hidup.
“Pak Doni,” seru Jamil, ia butuh kesabaran ekstra untuk yang satu ini. “Anda belum menjawab pertanyaan kami.”
Petugas sialan! Tidak bisakah pertanyaanmu itu menunggu kesedihanku berlalu? Namun, hanya tatapan bak sembilu tajam yang menanggapi teguran Jamil.
“Bangsat…!” rutuk Nunik. Ia tidak menemukan tas yang ia cari di antara lusinan tas yang berjejer rapi. “Terkutuk kau, Ana. Di mana kau simpan tas itu…?
“Anda menemukan sesuatu, Mbak Nunik?”