“Eh, enggak. Hanya salah lihat, iya.” Nunik menyumpah, namun hanya di dalam hati. Petugas muda itu nyaris saja membuat tali jantungnya putus. Hmm… tampan juga.
“Baik, Ndan. Siap, 86.” Jamil menyimpan kembali ponselnya.
“Bagaimana?”
“Atasan, mengingatkan detail olah TKP…” Jamil mengempaskan napas panjang, memancing perhatian sang rekan.
“Jujur saja.”
“Entahlah,” Jamil melirik ke arah Doni yang masih saja bersikap sama. “Ada yang aneh di sini—maksudku, atasan kita.”
Lama sang rekan terdiam, sebelum berujar, “Sudahlah. Biar sisanya kami yang menyelesaikan.”
Jamil mengangguk, lantas meninggalkan rumah besar. Di Luar garis kuning kepolisian, beberapa tetangga cukup bernafsu untuk mengetahui kenyataan di balik pembunuhan Ana. Jamil tidak menghiraukan itu, terus saja memacu motor besar dengan raungan sirenenya.
***