Â
Di dalam sel bawah tanah. Pemuda lusuh yang adalah Nito, menyeret langkah ke sudut tergelap ruang. Tidak ada lagi yang mampu membuat hidupnya bergairah andai kata bisa keluar dari mimpi buruk ini. Tidak ada. Hasrat yang dulu ingin membina rumah tangga bahagia, pupus sudah. Seandainya Ana tetaplah bukan anak Om Hary, ahh… itu percuma jika benar ayah telah membunuhnya juga, pikir Nito.
Hanya satu alasan saja yang mampu menopang kehidupan tubuh ringkih itu. Dendam berkarat yang tertanam paksa ke relung jiwa. Dan itu, akan sempurna bila Kamal meregang nyawa di tangannya.
Â
***
Jumat, jam 11.00 – malam.
Lengking sirene mobil kepolisian mengentak keheningan. Beberapa petugas segera turun dan langsung memasuki rumah yang tiada lagi rona kehidupan.
Jamil menghela napas dalam kala pandangannya tertumbuk sosok Doni yang mencangkung di sudut perapian. Teramat sulit untuk mengorek keterangan dari sosok yang sekarang kehilangan akal sehatnya itu kini, pikir Jamil.
Dua orang rekan Jamil segera naik ke lantai dua. Sebentar saja telah kembali turun, kali ini dengan mengapit perempuan 65 tahun.
Dengan sedikit gerakan kepala, Jamil memerintahkan kedua rekannya, membawa perempuan tua ke kantor guna penyelidikan lebih lanjut. Jamil juga memberi tahu seorang ART muda, untuk bisa memberi perhatian pada Doni.
Jamil mendekati Doni yang mendekap serpihan-serpihan boneka beruang.