“Ana Sayang… kita buat anak yang banyak yaaa. Aku suka anak-anak, Ana. Kamu suka, kan? He-he, aku tahu… ayoo Ana, jangan diam saja…”
Sekali lagi, Jamil menghela napas teramat dalam. Terlalu berat apa yang ditanggung punggung lebar itu, bisiknya dalam hati.
“Pak Doni,” Jamil tahu, mungkin Doni tidak akan mendengar apa yang ia ucapkan, tapi entahlah… ia merasa harus melakukannya, itu saja. “Maaf, Nyonya Sinna akan kami bawa. Sepupumu, Nunik, ditemukan tewas akibat patukan ular berbisa. Dan pada tas kulit hitam itu, kami menemukan sidik jari ibunda Anda. Maaf, selamat malam.”
“Ahh Ana… biarkan saja mereka. Ayolah Sayang, Cinta, Manis… hehehe…”
Jamil menggelengkan kepala, detik selanjutnya ia meninggalkan Doni dalam pengawasan sang ART muda.
Di dalam mobil patroli, Nyonya Sinna tak sedikit pun menampakkan penyesalan atas rencana yang telah ia rancang dan berhasil merenggut nyawa Nunik.
“Kau pantas mati, Nunik. Pantas mati seperti ibumu. Kau memojokkan Doni-ku, hingga mencuci pikirannya untuk mencintai anak haram itu. Ahh, aku lupa, kau tidak tahu soal itu. Hanya anak angkat? Hahaha… Kau pantas mati! Kalian berdua pantas mati!” Namun, kata-kata itu tertindih raungan sirene yang semakin menjauh dan menjauh.
Rudie tiba-tiba hadir di ruang tengah rumah besar, terengah-engah demi sebuah kepastian. Namun ia harus menelan ludah. Tidak seorang pun ia temui di sana yang bisa ia tanyai, kecuali Doni yang bertingkah aneh, dan ART muda yang baru saja muncul dari arah ruang belakang.
Rudie menjelepok begitu saja, meraung panjang. “Apa yang terjadi pada keluarga kalian…?”