“Siap, Ndan.”
Di waktu yang sama, Doni masih memeluk tubuh kekasihnya, tak menghiraukan tetes-tetes gerimis yang mulai membasahi sekujur tubuh.
Ana, mendapati dirinya tengah memandang tak berkedip pada Doni. Hanya sesaat, pandangan Ana menghangat.
“A—aku, mati?” Ana mengenali tubuh dalam pelukan Doni itu, tubuh dirinya sendiri. “Aku sudah mati…” Lantas berteriak kencang menyeru sang kekasih. “Kenapa kau tidak mendengarku, Doni…?” Ana mencoba memeluk Doni, namun hanya memeluk kehampaan.
Sekuat apa pun usaha Ana untuk menangis, bulir air mata tiada lagi di sana. Yang ia tahu, kini ia di alam berbeda. Bahkan rapatnya rintik hujan, tak setetes pun membasahinya. Satu bayang putih menyilaukan mengagetkan Ana, meski tiada seorang pun yang bisa memberi tahu, tapi Ana yakin, itu Sang Maut.
Ana tak bisa berbuat banyak, menatap sayu pada Doni. Namun Ana yakin, seseorang pasti akan memberikan kebenaran untuk Doni.
“Don… mungkin kau tidak memahami—tapi, aku mencintaimu, bahkan dengan keadaanku ini.”
Sang Maut membawa paksa tubuh halus Ana, dalam sekejapan mata telah menjauh meninggalkan kenyataan yang menyakitkan di belakang.
“Aku tetap mencintaimu, Don…”