Ruang bawah tanah ini, sebuah penjara yang telah lama tidak digunakan. Ada tujuh sel di sisi kanan. Kamal melangkah ke sel paling ujung, satu-satunya yang berisi tahanan.
Sesosok pemuda kumal bergulung di sana. Ia masih terlihat hidup, meski dalam keadaan hening.
Kamal meraih ember kaleng di lantai, lantas menyiramkan begitu saja air di dalam ember ke tubuh di balik jeruji itu.
Pemuda 25 tahun gelagapan. Kamal membuka pintu sel. Semakin Kamal mendekatinya, pemuda itu semakin bergeser ke sudut sel.
“Dua nyawa lagi,” Kamal terkekeh. “Jika bapakmu gagal, jangan pernah berharap kau akan melihat matahari!” Kamal menjambak rambut pemuda tersebut. “Aku rasa kau harus tahu… Ana, tunanganmu sudah mati,” ucapan Kamal diakiri dengan tawa membahana.
Duaaakh…
Pemuda itu melenguh pendek, kepala yang membentur dinding berdengung kencang. Tidak ada jeritan yang keluar dari mulutnya, hanya sepasang mata liar memerah dan gemeretak rahang yang bergesek kuat.
Ia memang tidak lagi mencintai Ana, meski gadis itu adalah calon istrinya. Kenyataan yang dibongkar Kamal, menyudutkan dan menghapus kata cinta di dirinya terhadap Ana.
Ana, adalah anak hasil perselingkuhan Om Hary, ayah kandung Doni. Yang berarti gadis itu adalah sepupu—patrilineal—yang tidak akan mungkin bisa ia nikahi. Dan sialnya, wanita yang menjadi selingkuhan Om Hary, adalah ibu kandung dari polisi jahanam itu. Di sinilah bermula “permainan berdarah” yang digelar Kamal terhadap keluarga besar Hary dan Hadi. Meski permainan itu juga menyeret nyawa Ana yang secara tidak langsung adalah adik satu ibu dari Kamal, namun iblis di diri Kamal tak mengizinkan kata prihatin muncul di hatinya.
Dan ya, meski nanti jika ia terlepas dari cengkeraman Kamal, pemuda itu tidak akan lagi meneruskan niat memperistri Ana, namun fakta yang tadi diucapkan Kamal… tetap saja menumbuk perasaannya. Berderai tak sanggup ia susun kembali.