Doorrr…
Pukul 4.59 – subuh.
Hadi mengendap-endap menuju pintu belakang rumah Nunik. Hanya anak dari adik Nyonya Sinna itulah nyawa terakhir yang bisa ia dapat. Tidak mungkin mencari yang lain, tidak sempat, sementara satu jam lagi adalah batas terakhir dari permaianan ini, setidaknya itulah ancaman dari Kamal.
Namu Hadi tak mengira, ternyata rumah dalam keadaan ramai. Dan suasana ini, seperti ada seseorang telah mati saja, bisik hatinya.
Dan benar, begitu Hadi memberanikan diri untuk muncul di tengah keramaian di ruang depan itu, beberapa kerabat mengatakan padanya jika Nunik tewas karena gigitan ular beracun.
Di mata orang-orang, Hadi terlihat terpukul akan kematian Nunik, dan menangis sejadi-jadinya. Namun, bagi Hadi sendiri, ratapannya tak lebih dari bayang kematian sang anak di depan mata. Ya, kematian sebab ia gagal menyelesaikan permaiannya.
Lima belas menit kemudian, tiga mobil kepolisian berhenti di depan rumah mendiang Nunik. Hadi masih menjelepok di sana saat beberapa petugas berseragam lengkap menghampiri.
“Pak Hadi, kami minta Anda ikut kami ke kantor,” Jamil mengedarkan pandangannya. Dari tempat ia berdiri, ia bisa melihat dua rekannya tengah berada di ruang tengah. Menelisik TKP ditemukannya tubuh Nunik yang membiru dengan mulut berbusa. “Mungkin… hukuman Anda akan mendapat keringanan.”
Hadi terperangah, ia menatap ke dalam sepasang mata itu. Jamil mengangguk, memastikan apa pun yang dipikirkan Hadi tentang hal yang ia ucapkan adalah benar.