Pukul 14.36 waktu Arab Saudi. Hotel Dar Al Haramain, Sektor 11 Jamaan Haji Indonesia.
Wiwin  masuk kamar mandi. Air kran hotel yang hangat mengantar dirinya  mensucikan diri dengan berwudlu. Sementara di luar kamar,  Bu Yanti,  bibinya, telah menanti dengan perlengkapan standar shalat dan tadarus di  Masjidil Harom. Masker, tas identitas dan tas punggung berisi kitab Al  Quran serta tiga botol air mineral kosong untuk diisi air zam-zam  sepulang 'Isya nanti malam.
"HP Neng bunyi, sepertinya WA." kata  Bu Yanti ketika Wiwin keluar kamar mandi.
"Oooo ... iya Bi, terima kasih." kata gadis itu sambil melihat HP-nya. Sejenak ia mendesah, kemudian menggeleng.
"Pejuang yang itu lagi?" tanya Bu Yanti menggoda.
"Hehe iya. Biarlah, ayo kita berangkat...."
"Nggak akan didoakan di Harom? Mustajab lho!" Bu Yanti menggoda lagi.
"Win ke sini mau beribadah Bi."
"Berdoa juga beribadah."
"Hehe iya sih, tapiii..... kuat-kuatan doa saja Bi. Ayo Bi ...." kata Wiwin sambil menggamit bibinya.
"Maksudnya apa?"
"Nggak ada maksud. Ayolah Bi ...."
Keduanya  memasuki lift dari lantai 14 hotel. Sampai di lantai dasar telah banyak  calon jamaah haji yang hendak menuju masjidil Harom. Kedatangan bus  sholawat kode 11 yang selalu dinanti . Waktu 24 jam adalah kewajiban  armada hijau sebagai fasilitas jamaah dari Indonesia. Mengantar pulang  pergi mereka ayang akan menuju masjidil Harom dari setiap hotel tempat  menginap jamaah dari seluruh Indonesia.
Hanya sekitar tujuh  menit bus telah sampai di terminal depan masjidil Harom. Keduanya  bergandengan tangan untuk menghindari terpisah di antara ribuan jamaah.  Ketika pintu utama King Abdul Aziz Gate tampak, keduanya beradu pandang  untuk saling mengingatkan.
Keduanya  berdoa dengan agak keras ketika memasuki pintu masjidil Harom. Berdoa  untuk mengucap selamat serta memohon keberkahan akan dibukanya  pintu-pintu barokah.
"Bi ..... sebentar.... " Wiwin menghentikan langkahnya ketika usai mencopot sandal capitnya.
"Ada apa Neng?"
"Tiba-tiba jantung saya berdebar teu puguh-puguh."
"Ssssst....  Nggak boleh ngomong begitu, semua yang ada di sini adalah puguh, baik  yang nyata maupun yang ghaib. Percayalah itu. Sudah, lupakan saja,  mudah-mudahan itu pertanda berkah ..."
Gadis itu berhenti sejenak,  memejamkan mata. Nafas dihelanya dalam seraya membaca istighfar untuk  menetralkan perasaan yang tiba-tiba terasa beda. Beberapa saat kemudian  keduanya telah berada di antara ribuan orang yang thowaf. Wiwin dan  bibinya mengambil thowaf sebagai pengganti shalat tahiyyatul masjid.
Berbaur  di antara ribuan jamaah dari berbagai penjuru dunia, gadis itu  merasakan kecil nyalinya. Artinya, ia merasakan betapa suasana thowaf  dengan berbagai ras manusia lebih ia rasakan sebagai sebuah miniatur  padang masyar. Ia merasa sangat kecil tak berarti apa-apa. Namun, tentu  saja miniatur yang dipenuhi oleh orang-orang yang beriman. Tak terasa,  di putaran thowaf yang kelima, matanya terasa panas. Air matanya  mengembang, bahkan semakin deras. Biasanya ia refleks mengelap air mata  dengan sapu tangan, jika tidak biasanya ujung syal ciri kloter yang  terpaksa digunakan.
"Indonesia!" tiba-tiba ia mendengar ada  suara di sebelah kirinya berjalan. Wiwin menoleh. Ia melihat seorang  pemuda di sebelahnya.
"Ya? Saya?"
"Iya, Mbak."
"Oooo... ada apa ya?"
"Awas hati-hati jangan sampai melihat ke belakang. Nanti putaran yang  ini batal."
"Oh! Iya... iya."
"Ini syal anda Mbak? Kloter Majalengka?" katanya sambil menyorongakan syal ciri kloter.
"Oh... iya.... tapi .... mmm..... ambil saja. Ya ambil saja silakan!" kata gadis sambil bergegas mempercepat jalan sambil terus menggamit lengan Bu Yanti.
Kejadian  itu tepat ketika mereka berdua hampir mengangkat tangan lurus dengan  rukun Yamani. Entah karena daya apa, Wiwin dengan mantap mengatakan  "ambil saja" . Namun begitu hampir memasuki putaran keenam di lampu  hijau, gadis itu terhenyak.
"Syalku?"
"Sssst.... lampu hijau Neng! Bismillahi wallahu akbar!" sergah Bu Yanti mengingatkan.
"Bismillah wallahu akbar!" Wiwin melambaikan atangan ke arah hajar aswad kemudian menegcup tangannya,
Bu Yanti tidak mempedulikan gadis di sebelahnya yang ia lirik masih kelihatan bingung.
Usai thawaf ke tujuh dan shalat di belakang maqom Ibrahim, Bu Yanti menepuk pundak Wiwin.
"Syalmu hilang Win?"
"Iya Bi.... tadi sih ada yang mengembalikan, ketika putaran keenam. Tapi kok ada yang aneh."
"Anehnya?"
"Kok tiba-tiba Win jadi bingung, malah spontan Win katakan ambil saja!"
"Jadi? Syal-nya diambil orang itu?"
"Ya bukan diambil, Win yang bilang begitu. Jadi ya sudah, dia bawa. Lah terus Win pakai ciri yang mana? Ntar kalau nyasar?"
"Sssst  nggak boleh ngomong gitu! Ntar nyasar beneran!" Bu Yanti mengingatkan  kepokannya agar tak sembarang bicara di masjidil Harom.
"Astaghfirullah .... Iya.. iya... Win ralat."
"Mau pakai syal itu lagi?"
"Yang dibawa orang?"
"Iya Bi."
"Hafal orangnya nggak?"
"Enggak."
"Ganteng nggak?"
"Ganteng sih!"
"Iiiih calon haji kok ngomong gitu!"
"Bibi juga, calon haji nanya gitu hihihi.....!"
"Aaaaah kamu Win! Bisa saja ngebales! Sudah lah, relakan saja syal itu."
"Kenapa ya Bi, Win kok gitu. Kaya kena hipnotis, kenapa kaya sok kenal gitu. Ambil saja! Ambil saja! Astaghfirullaaaahh......"
Hari  itu Wiwin dan Bu Yanti memaknai waktu dengan beribadah. Thowaf, shalat  'Ashar, shalat maghrib dan 'Isya. Tentu di waktu-waktu antara  shalat-shalat tersebut terdapat kegiatan shalat sunah dan tadarus.
Malam  hari pukul 21.15 keduanya telah berada di kamar hotel.Â
Jatah makan  malam dari catering masih layak dimakan dengan kadaluwarsa pukul 22.00.  Sambil menikmati makanan, gadis itu membuka WA yang berbunyi.
"Win... jam segini sudah pulang kan? Moga permohonanku didoakan di multazam tidak dilupakan."
Melihat  WA itu selera makan gadis itu mendadak berkurang. Kardus penutup  aluminium foil ditutupnya. Ia mengambil air zam-zam kemudian diminumnya.
"Kenapa berhenti Win?" bibinya bertanya demi melihat keponakannya menghentikan makannya.
"Turun selera. Ada WA lagi."
"Aris Si pejuang?"
"He-euh bener Bi. Win capek Bi, kenapa juga .... hmh kenapa juga Win harus berhutang budi  padanya."
"Berhutang budi? Sebesar itukah kasusnya?"
"Mungkin.  Tapi bagi dia lho Bi, bagi Win semua Win anggap biasa saja. Semua  bantuan Win anggap sebagai bantuan sesama teman, teman seperjuangan di  UPI."
"Misalnya apa sih?"
"Bantu nyelesaikan tugas  kuliah. Waktu KKN juga bareng, dia banyak membantu Win. Yang agak parah  lagi Bi, baru menyesal nih. Ini kaitannya dengan kepergian Win di  kelompok seni Kabumi, ya ke Afrika Selatan, ke Singapura, Brunei,  Thailand, dan terakhir ke Malaysia, itu semua diikat dengan kegiatan  yang dibantu sama Kang Aris."
"Maksudnya diikat bagaimana?"
"Parah  Bi, selama mulai ngurus paspor di imigrasi Cirebon, sampai itu paspor  jadi, dibantu dan ditemanin Kang Aris. Sementara paspor itu kan dipakai  berulang-ulang ke negara-negara tersebut."
"Pantas......"
"Itulah Bi."
"Jadi dia suka sama Win?"
"Iya."
"Itulah yang berat Bi."
"Dia  merasa keterbukaanmu untuk menerima bantuan dari Aris itu, karena kamu  ada rasa suka, atau menanggapi rasa suka Aris. Dan Aris mengubah rasa  suka itu menjadi rasa cinta."
"Itulah yang membelenggu Win. Win ingin lepas Bi...."
"Makanya kalau berteman dengan lawan jenis hati-hati."
"Ingin  rasanya waktu ini mundur lagi. Tak ada bantuan-bantuan dari Kang Aris...  tugas-tugas Win selesaiin sendiri, paspor Win urus sendiri."
"Wiiin, kamu sudah punya pacar atau calon apa belum?"
"Belum."
"Kalau begitu terima saja Aris itu."
"Apa Bi?"
"Apa keberatanmu menerima Aris? Kamu masih sendiri, masih jomblo. Jomblo haji! Haji jomblo!"
"Aaaa Bibi bisa saja."
"Jika  kamu sudah punya calon, kemudian Aris datang, itu baru kamu boleh  bingung. Ini kan sudah jelas. Mau apalagi, kamu jadi guru baru. Calon belum  ada. Ada yang berkenan. Jadilah sudah, tinggal menata rumah tangga."
"Memang Bibi dulu juga begitu ya?"
"Maksudnya?"
"Bibi akan terima setiap orang yang datang asal tak ada penghalang?"
"Enggak juga sih!"
"Naah kan!"
"Jadi kamu nggak suka Aris?"
"Sebagai  teman, sebagai sahabat yang telah banyak membantu Win, Win tetap suka.  Tapi jika harus ditebus dengan cinta, Win nggak mau. Win nggak ada  chemistry sama dia."
"Apa itu chemistry?"
"Ini bahasa anak muda Bi. Nggak ada klik, nggak ada kontak, nggak ada kecocokan, nggak ada getar-getar hati."
"Halaaah anak muda ribed pisan euy!"
"Bi, tolong bantu atasi masalah ini ya."
"Ini  tantangan bagi kamu Win, kamu sudah dewasa. Cobalah atasi sendiri.  Coba, kamu punya backing Allah. Sekarang tinggal mohon dipilihkan jalan  terbaik."
Mendengar kalimat terakhir bibinya, Wiwin terdiam. Ia  menghela nafas dalam. Bibinyapun hanya mengamati sekilas, kemudian  membiarkan keponakannya itu berfikir sendiri. Beberapa jenak kemudian  Wiwin kembali membuka kotak makannya, melanjutkan makan. Bu Yanti  tersenyum.
***
Hari Minggu, pukul 06,45 WAS, di Indonesia sekitar pukul 11-an.
Sambil  menanti masuk saat shalat dhuha, Wiwin menghubungi Mira, adiknya,  dengan video-call. Setelah menanyakan keadaan keluarga di Majalengka,  Wiwin berpesan agar merahasiakan pembicaraan ini.
"De Mira, minta tolong foto Teteh yang di jabal Rahmah dicetak yang besar terus dipiguraan."
"Foto yang mana teh?"
"Ini, baru Teteh kirim ..... nooooh..... yap!"
"Yang berdua?"
"Iya yang berdua, dengan latar belakang Jabal Rahmah."
"Wouuw? Itu pacar Teteh yang baru? Serius nih?"
"Is! Jangan banyak tanya ah! Pokoknya cetak yang besar, terus dipiguraan, pasang di ruang tamu."
"Cieeee Teteh .... dia itu orang mana sih teh?"
"Orang Talaga."
"Ooooo ... bener.... Jabal Rahmah memang membawa berkah ya teh?"
"Ah kamu De... masih kecil tahu saja!"
"Kecil apaan? Dah mahasiswa kok!"
"Hehe!"
"Teh."
"Apa sayang?"
"Teteh doain aku di multazam nggak?"
"Pasti dong."
"Teteh doain aku apa?"
"Yang dulu Dede nitip doa, lancar kuliah, dan lulus dengan berkah."
"Doa yang lain teh?"
"Kan  dulu Teteh kirim foto tulisan, ntuuu yang background-nya ka'bah. Mira  selalu berdoa agar suatu saat dapat singgah di sini, di tempat terindah  dalam hidup ini."
"Iya benar, benar itu Teh. Ada doa yang lain nggak buat aku?"
"Ada sih, tapi kadang Teteh malu sendiri."
"Memang ngedoain Mira apa teh?"
"Diberikan jodoh yang baik. Imam keluarga yang berakhlak mulia."
"Hah? Haiya hihihi... pantesan saja ngadoa kayak gitu pasti malu sendiri. Teteh sendiri juga masih jomblo."
"Itulah masalahnya De!"
"Teh...."
"Apa sayang?"
"Waktu ngedoain Mira, Teteh menyebut nama nggak?"
"Menyebut."
"Hah? Siapa Teh?"
"Rahasia! Tapi dia orang Majalengka."
"Mira kenal sama dia nggak?"
"Ehehee.... kayaknya De Mira belum kenal sama dia."
"Hah? Berarti bukan teman SMP, SMA atau teman kuliah dong!"
"Tapi anak Smansa juga kok!"
"Smansa? Aaaahhhh Teh Wiwin jahaaat! Siapa Teh?"
"Ada di lauful-mahfudz. Jangan khawatir cantik."
"Tapi penasaran."
"Berdoalah agar nanti malam ketemu dia di dalam mimpi."
"Aaaah..... Teteh mah! Tapi yaudah lah, ntar Mira juga doain jodoh buat Teteh."
"Sama siapa?"
"Yang ada di foto di Jabal Rahmah , yang foto jejeran, yang akan aku cetak nanti heheee...."
"Naudzubillahi min dzalik Dedeeee..... jangan doakan Teteh dengan orang itu!"
"Ganteng kok Teh!"
"Awas kalau didoakan dengan orang itu! Swear! Jangan doakan De!"
"Memangnya kenapa?"
"Awas kalau kepo nggak aku kasih oleh-oleh!"
"Hehee... iya  iyaaa... Tetehku yang cantik, nyerah, Mira nyerah demi oleh-oleh!"
***
Mina suatu pagi.
Mengantri  kamar mandi sejak pukul tiga malam membawa kebaikan yang bermanfaat.  Dengan teman-teman calon lain bisa shalat bersama di kesempitan tenda  Mina. Tak apa, yang penting tepat waktu. Lagi pula rencananya hari ini  adalah melontar jumrah yang terakhir karena mengambil nafar-awal.
Pukul  enam pagi rombongan telah siap berangkat. Perjalanan yang akan ditempuh  cukup jauh. Harus melewati dua terongan, satunya terowongan Mina atau  terowongan Al Muaishim. Wiwin bersama Bu Yanti telah menyiapkan  perlengkapan, terutama air. Begitu rombongan diberangkatkan, ternyata  kenyataan berbeda. Kekuatan fisik berbeda-beda. Ada yang jalannya  lambat, ada yang ngincig bagaikan mengejar sesuatu.
Termasuk  Wiwin, ia sama sekali tak habis pikir, kaki yang biasanya kuat untuk  melangkah, sejak bangun pagi tadi mendadak terasa sedikit nyeri di  pergelangan kaki. Itulah mengapa akhirnya Bu Yanti dan gadis itu  tertinggal dari rombongan lain.
"Kalau sakit jangan dipaksakan Win, badal kan sah juga." Saran Bu Yanti demi melihat keponakannya beberapa kali menyeringai.
"Nggak ah! Malu sama Bibi, aku masih kuat kok!"
"Kuat-kuat tapi cengar-cengir."
"Aaahhh..."
"Ya jalan dikit, ntar di terowongan Mina naik yang escalator."
"Iya Bi."
Dengan  motivasi yang dikumpulkan, gadis itu mencoba melawan dan melupakan rasa  nyeri di pergelangan kaki. Hari terakhir di jamarat harus sukses dengan  tanpa badal. Semua rangkaian rukun haji harus dilakukan dengan kekuatan  fisik sendiri. Kurang afdhol! Gumamnya sambil mengepalkan tangan.  Memang sah membadalkan melontar jumroh, namun baginya untuk apa  jauh-jauh dari tanah air jika haji tak dilakukan sendiri.
"Win mau istirahat di luar terowongan itu."
"Iya, ayo."
"Kalau Bibi merasa terlalu lama, Bibi silakan duluan, Win menyusul."
"Nggak. Kita harus tetap bareng."
Akhirnya  beberapa penggal dari perjalanan menuju jamarat terhenti. Gadis itu  memutuskan istirahat. Rasa nyeri di pergelangan kaki kirinya dirasakan  semakin menyengat. Gadis itu minggir langsung duduk di atas lantai.  Sementara Bu Yanti ikut duduk di sampingnya.
Air zam-zam di  botol ia ambil, ia minum beberapa teguk lantas diakhiri dengan doa yang  berisi tiga harapan setelah minum zam zam. Ilmu yang bermanfaat, rizki  yang luas dan kesembuhan dari segala penyakit. Setelah ia menuangkan air  zam zam ke pergelangan kaki yang nyeri kemudoan dibalurkan merata.
Assalaamu'alaikum!
Tiba  ada suara di sampingnya. Kedua orang itu terhenyak, kemudian menoleh.  Bu Yanti mengernyitkan dahi. Sementara Wiwin menjawab salam sambil  menggeser duduknya. Seorang pemuda mendatangi mereka berdua.
Wa'alaikumussalam... jawab Wiwin perlahan,
"Mbak Wiwin kan?"
"Mmmm... maaf, Mas ini siapa ya?"
"Lupa ya? Seminggu lalu kita bertemu lho!"
"Bertemu? Di mana ya?"
"Saat Mbak Wiwin memberikan syal kepada saya."
"Oooo.... Iya... iya...."
"Sudah ingat ya?"
"Mas tahu nama saya dari mana?"
"Bukankah di syal ada nama Mbak?"
"Ooooo...... iya .... "
"Ini syalnya ." kata pemuda itu setelah mengambil syal dari tas kecil yang digendongnya. Wiwin menerimanya.
"Kemarin  Mbak Wiwin menolak syal ini. Saya pikir kemarin Mbak masih bingung ya?  Kebetulan sekali sekarang kita bertemu. Maaf, kemarin juga setelah  thowaf itu, saya sempat menggunakan syal ini sebagai alas sujud, waktu  shalat di belakang maqom Ibrohim lurus di depan Multazam."
"Ooooo...."
"Maaf, di tempat itulah saya juga berdoa semoga syal ini kembali ke pemiliknya."
"Ooooo...."
"Dan doa saya dikabulkan."
"Ooooo...."
"Nama saya Denny, kenalkan. Mbak, Bu..." kata pemuda bernama Denny seraya memberi isyarat mengatupkan tangan di dada.
"Ooooo...."
"Win!" Bu Yanti menyikut lengan Wiwin perlahan.
"Ada apa Bi?"
"Kamu dari tadi aaa-ooo aaa-ooo terus."
"Oooo...."
"Naah itu kan."
"Amm... mm... iya... iya..."
"Ssst, kamu grogi ya?" tanya Bu Yanti berbisik.
"Sssst Bi." Wiwin juga berbisik
"Ganteng Win."
"Aduuuh .... Bibi sudah punya mamang lho!"
Ehem!
Dua perempuan itu berjingkat kaget ketika pemuda di depannya mendeham. Tak urung wajah keduanya memerah menahan malu.
"Maaf kalau boleh tahu, Mbak dan Ibu duduk di sini, Ibu ada masalah? Capek misalnya?"
"Nggak ada yang capek kok Mas. Ayo Bu .... " kata Wiwin sambil menggandeng tangan.
"Sudah sembuh Win?" secara refleks Bu Yanti bertanya.
"Oooo... jadi yang tadi bermasalah justru Mbak Wiwin?" tanya Denny sambil tersenyum.
"Hehe... iya, sedikit. Nyeri kaki."
"Kalau begitu, bagaimana kalau lontarnya saya wakili saja. Jamarat masih lumayan jauh."
"Enggak, nggak apa-apa...."
"Kalau begitu, ijinkan saya jalan bareng, barangkali Mbak-nya ini kerasa lagi sakitnya?"
Kali  ini tak ada kata penolakan sama sekali, kejadiannya begitu cepat.  Seperti halnya ketika Wiwin menyerahkan syal di masjidil Harom. Kini  ketiganya berjalan bersama. Di kesempatan inilah akhirnya Wiwin dan Bu  Yanti tahu, pemuda itu bernama Denny dari embarkasi JKG 007 Jakarta.
Dengan  perlahan akhirnya ketiganya sampai di tempat jamarat. Pelaksanaan  lontar jumrah ketiga yakni aqobah telah dilakukan. Menjelang keluar area  jumroh yang terakhir, Wiwin melihat Denny berdiri mematung dengan bibir  bergetar.
"Kenapa Mas Denny?"
"Ini adalah waktu  terakhir. Ya mungkin terakhir dalam hidupku melihat jamarat ini. Tempat  indah yang dihadiahkan syariatnya kepada saya ... kepada kita calon haji,  oleh Rasulullah. Dulu.... dulu Rasulullah juga pernah ke sini."
"Benar  Mas .... Win baru sadar, saat ini, detik ini adalah waktu-waktu terakhir  kita mengucap selamat tinggal. Haji mungkin hanya sekali, walaupun kita  bisa umroh jika ada rizki, namun umroh tak akan mengantarkan kita ke  sini lagi."
"Benar. Ini adalah tempat pertama dan terakhir bagi saya ...." Â
Ketiganya  mengambil tempat di sisi luar, lantas berdoa mengangkat tangan. Namun  tiba-tiba ketiganya kaget ketika di dekatnya, askar telah menyuruhnya  untuk segera meninggalkan tempat itu. Seluruh jamaah haji harus terus  berjalan, tak diperbolehkan menghambat arus haji lain yang akan  melanjutkan perjalanan.
Selamat tinggal jamarat!
Tanpa  sadar ketiganya melambaikan tangan ke arah ketiga jumroh. Air mata  tampak menitik. Bibir mereka terkatub. Ketika ketiganya diam, dari  belakang terdengar teriakan beberapa jamaan yang usai melontar jamarat.  Denny menoleh.
"Itu rombonganku! Bendera itu. Aku wajib gabung."
"Ooo..."
"Mbak  Win sama Ibu Yanti, jamarat mungkin yang terakhir dalam hidup Denny,  tapi saya berdoa mudah-mudahan mengenal Mbak dan Ibu berdua bukan yang  terakhir."
"Iya, Insya Allah Mas ... terima kasih sudah ditemani dari tadi pagi."
"Boleh minta foto?"
"Ooo... mmm... yah nggak apa-apa."
Pemuda  itu minta tolong jamaah lain yang lewat di dekatnya untuk membidik  mengambil foto dengan HP. Beberapa jepretan kini telah ada di HP pemuda  itu. Sebenarnya Wiwin ingin memiliki foto itu, namun ia malu.
"Saya tahu kalau saya minta nomor WA nggak akan dikasih... hehee....." kata Denny sambil tertawa.
"Bisa saja menebak. Tapi benar."
"Naaah kan?"
"Hehee..."
"Mbak sudah kerja?"
"Alhamdulillah."
"Di mana?"
"Saya guru."
"Alhamdulillah. Ada banyak kebaikan di dalam jiwa orang-orang yang memilih profesi guru."
"Aaah bisa saja Mas Denny."
"Ngajar di mana?"
"Di SMAN 1 Majalengka."
"SMA satu?"
"Ya."
"Catat Mbak Win.... saya pasti sampai ke sana!"
"Ah!"
"  Saya ke Madinah lusa, terbang ke tanah air tanggal 26 September. Kalau  kita tidak sempat bertemu lagi di haramain, paling tidak doa-doa kita  akan bertemu. Yakinkan di roudhoh ya Mbak Win. Di saat-saat arbain!"
"Iya... iya.... Insya Allah."
Assalaamu'alaikum!"
Dengan  terburu-buru pemuda itu berlari-lari kecil mengejar rombongan yang  sudah menjauh. Wiwin terbengong-bengong memandangi yang berlari  tergesa-gesa. Bu Yanti juga demikian, perempuan itu menggeleng-gelengkan  kepala.
"Mas Denny bilang pasti sampai ke Majalengka..." gumam Wiwin.
"Ini tanah haram Win."
"Artinya?"
"Ucapan dia yang penuh keyakinan bakal dikabul oleh Allah."
"Amiiin...... " secara refleks Wiwin mengamini. Bu Yanti mengernyitkan dahi.
"Kamu mengamininya Win?"
"Win mengamini? Kapan?" Wiwin kaget sendiri.
"Baru saja!"
"Och!"
"Kamu suka Denny ya?"
Gadis  itu tidak menjawab. Pertemuan singkat dengan pemuda Jakarta bernama  Denny baru saja berakhir. Namun gadis itu merasa ada sebuah sorot mata  yang aneh.
"Sorot mata Mas Denny seperti pernah Win kenal....  yaaaa.... sorot mata itu telah lama aku kenal. Win kenal... tapi di mana? Di  alam arwah? Ouch mungkin, mungkin saja di alam arwah? Jika jiwa ini  telah dijodohkan, maka ia akan mengenalnya kembali ketika di alam dunia.  Mas Dennyyy.... jangan-jangan kita dulu pernah bersama. Mas dulu yang  pernah dijodohkan dengan Win di zaman azali. Yaaa... zaman azali, lauful  mahfudz, saat Win masih belum punya dosa sama sekali ....... Ya Allah.  Engkau bukakanlah jalan jika dia adalah Denny yang dulu engkau satukan  dengan Win....."
Air mata Wiwin menetes.
Ia pandangi  sekilas jamarat yang semakin jauh. Tempat mengenal Denny sekilas. Tempat  yang nanti malam akan ditinggalkan untuk mengakhirkan perjalanan haji  dengan thowaf ifadhoh di masjidil Harom.
Jamarat.... Selamat tinggal.....
***
Tiga hari setelah pulang dari tanah suci, Wiwin masih dalam hari cuti.
Tamu  yang melayat kedatangan haji baru datang silih berganti. Rasa capek  sisa perjalanan ibadah fisik dan tekanan psikis, masih terasa. Namun  tamu harus tetap dumuliakan.
Pagi itu Wiwin bersama Bu Yanti  yang sudah haji tengah menemui pelayat di ruang tamu. Di tengah  keasyikan ngobrol, Mira, adiknya masuk. Ia berbisik kepada kakaknya.
"Teh .... sang pejuang datang."
"Siapa?"
"Sang pejuang."
"Kang Aris?"
"Iya.... seru ... bakal seru niih!"
"Sssst .... ngaco ah! Di mana orangnya?"
"Di gazebo."
Dengan  langkah berat Wiwin meninggalkan tetamu yang lain untuk menemui tamu  istimewa ini. Begitu melihat yang dicari datang, pemuda yang disebut  Mira sebagai pejuang itu langsung berdiri dan menyalami.
"Selamat datang Teh Hajjah."
"Nggak usah pakai hajjah segala! Risih tahu."
"Hajjah masih judes."
"Habisnya .... Wiwin tuh ya tetap Wiwin yang dulu."
"Yang cantik, yang ngangenin...."
"Iiiih Kang Aris! Aku ini haji lho ..."
"Naaah kan! Haji-nya muncul kan?"
"Maksudnya gini Kang, masa aku baru dalam suasana spiritual, Akang sudah mulai yang bukan-bukan!"
"Hehe.. iya, maaf .... emmm De Win, Aris didoakan nggak?"
"Iya didoakan."
"Alhamdulillah. Doa khusus ya De?"
"Enggak,  kum saja, bareng-bareng, semoga orang-orang yang nitip doa ke aku  dilimpahi keberkahan dalam hidup, sukses dalam segala hal."
"Doa khusus ada nggak?"
"Maaf Kang, Win lupa."
"Astaghfirullah ........" ada raut muka kekecewaan di mata Aris.
Sementara itu tiba-tiba Mira datang dan mengatakan bahwa tamu di ruang depan sudah pada pulang.
"Kang Aris pindah ke ruang tamu ....." kata Mira mempersilakan.
"Iya adik iparku." kata Aris sekenanya.
Wiwin nyengir. Demikian juga Mira.
"Ipar? Bukannya Kang Aris dulu sobatan dengan Teh Yani?"
"Teh Yani?"
"Iyalaah...  itu Teh Yani sahabat Teh Wiwin. Nah Kang Aris dengan Teh Yani itu  sobatan, sobat dalam tanda kutip, malah sobat dalam tanda seru!" kata  Mira sambil terkekeh-kekeh.
Diingatkan begitu muka Aris tampak  memerah. Wiwin sendiri kaget, ia tidak menyangka adiknya seberani itu,  padahal ia sendiri tak pernah berani mengatakan itu kepada Aris. Hanya  memang, Yani sendiri pernah bercerita tentang latar belakang Aris yang  pernah dekat dengannya. Untuk menghindari Aris salah tingkah yang lebih  banyak, Wiwin minta ijin masuk dulu. Di ruangan tamu pemuda itu hanya  ditemani oleh Mira.
Di ruang tamu, Aris tampak tegang. Oleh-oleh  khas pulang haji yang ditawarkan Mira tak segera dicicipi. Pemuda itu  hanya minum satu sloki air zam zam.
"Yang lain dicicipin Kang..."
"Iya De, makasih. Emmm..... De Mira, kakakmu hajian tentu punya banyak foto."
"Maksudnya?"
"De Mira banyak dikirimi foto nggak?"
"Banyak laaah. Kang Aris dikirimin nggak?"
"Justru kakakmu itu pelitnya minta ampun."
"Kang Aris, mungkin Teh Wiwin itu bukannya pelit tapi ..... tapi .... Mmmmm..... "
"Ada apa De?"
"Kang Aris mau lihat foto Teh Wiwin di Arab?"
"Ya mau laaah."
"Itu yang dipasang di dinding...." kata Mira seraya menujuk foto ukuran 10 R dalam pigura.
"Emm.... Itu ... foto kakakmu?" pemuda itu tergagap demi berbalik panfangan melihat foto Wiwin bersama seorang lelaki.
"Iya dong. Itu foto di jabal Rahmah, sebuah tepat yang diyakini banyak memberikan pengaruh positif bagi mereka yang berdua."
"Jjjj.... jadi kakakmu sudah punya pacar?"
"Hehee....."
"Nggak nyangka."
"Nggak nyangka apa?"
"Nggak pernah ngomong."
"Lapor maksudnya?"
"Hmh.... "
"Ya mana Teh Wiwin mau lapor ke Kang Aris, Akang bukan atasannya ...."
Beberapa  jenak pemuda itu memandangi foto yang dipajang. Wajahnya keruh. Baru  beberapa saat lewat Mira menyekaknya dengan mengatakan Kang Aris adalah  "sobat"-nya Yani, kini di depan mata sendiri disuguhi pemandangan yang  membuat dunianya menjadi buram.
"Aku pulang dulu ..... " kata Aris sambil berdiri bergegas keluar.
"Kang Ariiis... mau ke mana?" dari dalam muncul Wiwin sambil membawa bungkusan.
"Aku pulang De Win ... nggak enak badan."
"Oooo..... ini oleh-oleh dari Arab..." kata Wiwin sambil menyorongkan bungkusan dalam kantong keresek hitam.
"Terima kasih, nggak saja ..... Assalaamu'alaikum!"
Tanpa  menunggu jawaban Aris meninggalkan tuan rumah yang masih sedikit  bingung. Wiwin menoleh ke arah Mira. Adiknya tersenyum penuh arti.
"Kenapa Kang Aris?"
"Kena skak mat!"
"Apaan sih!"
"Aku baru tahu apa arti foto berpigura itu. Teh Wiwin cerdas."
"Kang Aris marah ya?"
"Cemburu. Dia kelihatan kecewa melihat Teteh di foto ini."
"Kaya kamu juga cerdas De!"
"Cerdas gimana?"
"Menyekak  Kang Aris dengan mengatakan dia adalah sobat tanda kutip teh Yani.  Padahal teteh sendiri nggak berani ngomong gitu lho! Takut nyakitin  hatinya."
"Aku ini Teh, paling sebel kalau ada laki-laki pembohong macam dia."
"Ssssstt.....  sudah De.... jangan bawa-bawa aku mengghibah orang, Teteh ingin menjadi  hajjah yang mabruroh, tak ingin dikotori dengan ghibah dan sejenisnya."
"Tapi betewe, siapa sih orang yang foto bareng sama Teteh?"
"Itu Pak Dayat, ketua kloter Majalengka. Semua juga minta foto sama beliau."
"Ooo....  tapi kok masih muda, ganteng lagi. Itu yang pada minta foto, alasannya  karena ketua kloter sebagai tokoh, atau karena masih muda dan ganteng?"
"Yang kedua haha!"
"Astaghfirullaaaah Teteeeeh! Lagi hajian kok sempat mikir orang ganteng ya!"
"Hihihi! De, biarpun ganteng, dia kan sudah punya istri ... "
"Ooooo......."
***
Selang sehari.
Hari  itu Mira bersiap kembali ke Bandung.Â
Penyambutan kepulangan kakaknya  dirasa cukup. Ia akan kembali rutinitas kuliah dengan tugas-tugas yang  tak tampak ujung usainya. Dari gang rumahnya gadis itu berjalan menuju  jalan raya untuk menyetop elf  Buhe Jaya langganan ke Bandung. Namun  belum sampai di ujung gang, ada mobil warna silver berbelok. Gadis itu  menyisi. Namun mobil itu berhenti. Kaca pintu bagian sopir turun.
"Eeemmm maaf Dik, numpang tanya."
"Iya silakan Pak?"
"Emmm...  kami dari Jakarta sedang cari orang, tadi sudah tanya ke SMA satu Majalengka, katanya  rumah Bu Hajjah Wiwin dan Bu Hajjah Yanti ada di gang ini. Adik tahu?"
Dada  Mira berbedar. Ada apalagi orang-orang yang tak dikenal menanyakan  kakaknya? Pikirnya. Akhirnya selera untuk berangkat ke Bandung hilang.  Ia ingin tahu siapa orang-orang yang ada di mobil.
"Iya tahu... benar Bu Wiwin dan Bu Yanti di sekitar sini , rumahnya cat hijau menghadap timur. Boleh ikuti saya Pak."
"Terima kasih, jangan ngrepotin Mbak."
Tak  berpanjang kata Mira berjalan bergegas mendahului mobil yang bergerak  perlahan. Gadis itu masuk halaman, kemudian memanggil kakaknya.
"Teh, ada mobil plat B menanyakan Teteh dan Bibi."
"Plat B?"
"Iya. Naah tuh ada yang turun mendahului."
Mata Wiwin terbelalak demi melihat siapa yang turun dari mobil.
Mas Denny..... gumamnya.
Dada  gadis itu berdetak. Bibirnya terkatub melihat tamunya semakin dekat.  Sebelum tamunya sempat menyapa, ia memanggil Mira yang ada di ruang  tamu.
"Siapa Teh?"
"Ssssttt... cicing heula! De,  tolong segera... foto berpigura yang aku dan Pak Dayat yang di ruang tamu  dicopot, disimpen di kamar, di kolong ranjang nggak apa-apa!"
"Teteh gugup banget sih!"
"Lakukan cepat. Hiiiih..... De Miraaaaa!" Wiwin terlihat gemas.
"Iya ... iya...."
Mira  segera masuk ke ruang tamu untuk mencopot foto berpigura yang sempat  dicemburui Aris. Gadis itu menuruti apa kakaknya. Ia menaruh barang itu  di kamar. Usai .menaruh pigura, gadis itu mengintip dari balik gordyn.
"Assalaamu'alaikum Mbak Hajjah Wiwin!" sapa Denny yang telah dikenalnya sekilas di Jamarat.
"Wa'alaikumussalam Mas Denny. Wiwin saja, nggak pakai Hajjah."
"Oooo maaf .... maaf...."
"Iya nggak apa-apa."
"Saya datang beserta keluarga, ayah, ibu dan itu yang tadi nyetir, adik saya."
"Piknik ke mana? Syukur bisa mampir ke sini."
"Bukan piknik. Mbak Wiwin, mohon maaf ... kedatangan kami sengaja bertamu di rumah Mbak Wiwin."
"Sengaja?"
"Tak ada yang kebetulan. Mungkin Mbak masih ingat janji saya ketika di Jamarat?"
"Iii...iya...."
Siang  itu sungguh sebuah acara mendadak yang luar biasa. Dua buah keluarga  yang belum saling kenal tampak akrab. Wiwin sendiri merasa heran,  kedatangan keluarga Denny sama sekali tak dirasakannya sebagai orang  asing. Benar. Ia merasakan keluarga itu telah dikenal lama. Wiwin  merasakan itu. Tapi sepanjang ia mengulur ingatannya, tampaknya pemuda  bernama Denny memang belum pernah datang secara nyata. Dalam mimpi?  Dalam getaran firasat sekilas? Gadis itu hanya menduga-duga.
Siang  itu Denny mengajak Wiwin bicara penting. Pemuda yang akhirnya tahu  bahwa Mira adalah adik Wiwin diajak serta. Kini ketiganya duduk di  gazebo sisi rumah.
"Mira sudah lama?" tanya Denny sambil tersenyum. Mira terheyak tiba-tiba ditanya seperti itu.
"Lama apanya?"
"Cantiknya."
Tak  tersadar Wiwin dan Denny tertawa tergelak-gelak. Sementara itu Mira  yang merasa dikerjai hanya bisa memerah mukanya dan salah tingkah.
"Ge-er nanti dia Mas."
"Mira...  Mira... maafkan Mas ya, kalau ada anak seusia ini bawaanya kepengen  nggoda terus. Mmm.... kebetulan adik bungsu saya, seusia Mira ya kaya  gini, cantik. Saya suka menggoda dan mengerjainya."
"Kok nggak diajak?" tanya Wiwin. Denny tak segera menjawab.
"Emm.... sayang Dinar adikku sudah pergi jauh."
"Maksudnya?"
"Dinar telah mendahului kami.... tepat seminggu sebelum saya berangkat melaksanakan ibadah haji...."
"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Turut bela sungkawa Mas." kata Wiwin yang tiba-tiba saja mengembang air matanya.
"Terima  kasih. Kadang saya sebagai kakak tak bisa melupakan dia, adik yang  sangat aku cintai. Aku semakin sayang, dan dia sesungguhnya ada di dekat  kami, berbahagia dalam rahmat Allah. Saya selalu kangen, mendengar  suara terakhir yang sempat aku rekam ketika dia sakit di akhir-akhir  hidupnya."
"Och....."
Perlahan Denny mengeluarkan HP, menekan tombol galeri untuk memunculkan rekaman suara adiknya.
"Boleh aku perdengarkan?" Denny minta ijin. Mira dan Wiwin mengangguk.
Beberapa saat kemudian terdengar suara gadis bernama Dinar terbata-bata:
"Kak  Denny nanti di multazam atau tempat-tempat musjabah lainnya, berdoalah  agar kakak mendapatkan seorang istri yang shalih..... (Amiiin) istri yang  cantik, istri yang memiliki adik perempuan yang cantik, yang seusia  Dinar.... (Amiiin)... yang bisa Dinar ajak berteman, bersahabat, curhat,  saling berbagi pengalaman... sahabat yang diikat tali persaudaraan dan  tali keluarga.... (Amiin).... Betapa bahagianya Dinar kelak.
Namun  Kak, rasanya saat ini Dinar harus berpacu dengan waktu... memanfaatkan  setiap detik untuk memohon ampunan dosa atas dosa-dosa Dinar ini. Doakan  Dinar masuk sorga Kak Denny .... (Aamiiin), Dinar akan tunggu, kita  bersama-sama di sorga.
Kak Denny,  biarlah Dinar mengubur impian dalam-dalam. Impian untuk mengikuti jejak  kakak, impian untuk naik haji, bersujud di kesyahduan baitullah. Biarlah  Dinar melupakan roudhoh di Masjid Nabawi, roudhoh....taman surga yang  menjadi impian para peziarah, impian para haji. Biarlah Dinar melupakan  haromain, arafah, muzdzalifah, mina, dan semua tempat yang pernah Kak  Denny motivasikan untuk Dinar. Terima kasih kakakku tercinta, ayah ibu  tercinta...... laaaa..... laaaa.....ilahaaa ilallah...mmm...mmu.. muhammadar...  roo..rooo.. sulull...looooohhhh..... (Dinaaaaaar!)"
Wiwin  dan Mira terisak. Demikian pula Denny. Kenangan terakhir bersama  adiknya tak mampu menahannya untuk tidak menangis. Hingga beberapa lama  ketiganya mencoba menenangkan diri. Sementara sambil menenangkan diri  Denny memperlihatkan foto-foto Dinar. Kedua gadis itu mengikutinya  dengan penuh perhatian.
"Nah kalau yang ini adalah gambar  terbagus yang aku suka. Aku kasih like seribu kali." Kata Denny sambil  memperlihatkan foto lain.
"Ya Allaaah!" Wiwin terpekik sambil menutup mulutnya. Mira terbelalak demi melihat foto kakaknya, bibinya bareng dengan Denny.
"Hah? Jadi Teteh sudah kenal dengan Kak Denny?"
"Hanya seperjalanan melontar jumroh, ketika kaki Teteh sakit di hari terakhir."
"Setelah itu?"
"Setelah itu ya sekarang ini."
"Teteh nggak pernah cerita."
"Takut salah harapan."
"Apa Teh?" Mira mengernyitkan dahi.
"Apanya?"
"Itu tadi kalimat terakhir Teteh .... takut salah apa?"
"Memang Teteh ngomong apa gitu?" Wiwin bingung.
"Wah  sayang tadi tidak aku rekam. Tuh dengarkan Kak Denny, sebenarnya cerita  singkat di Jamarot menjadi impian panjang si Teteh ini."
"Iiiiih apaan si De?"
"Sudah  ... sudah .... jangan berdebat, begini De Mira dan Mbak Wiwin.  Hitung-hitung melihat pesan De Dinar sebagai wasiat, sepertinya apa yang  diharapkan adikku sudah terpenuhi."
"Ooo yang mana?"
"Yang  di rekaman tadi. Kata Dinar semoga kakaknya ini memperoleh isitri yang  cantik, yang shalihah, dan mempunyai adik sepantar dia. Ya sudah klop.  Kriterianya tepat."
"Aku sepantar Dinar?" tanya Mira sambil menunjuk dada sendiri.
"Iya." kata Denny singkat.
"Berarti yang shalihah dan cantik kakak aku? Inikah yang diminta Dinar?"
"Dinar hanya menyampaikan kriteria. Dan hari ini, Denny yang menerjemahkan...."
"Ooooo....."
"Dan Mira yang akan memutuskan!" kata Denny membuat Mira kaget.
"Kok aku, maksudnya ini bukan main-main Kak Denny?"
"Ya kami sekeluarga serius...."
"Mira yang memutuskan?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Kakakmu  sulit bicara .... heheee..... " kata Denny tertawa. Mira menoleh ke arah  kakaknya. Benar, Wiwin tengah tertunduk sambil mempermainkan ujung  jilbabnya.
"Aku yang mengiyakan." kata Mira.
"De Mira! Deeee..... ini bukan main-main." Wiwin menahan adiknya.
"Memang ini serius, Mira tahu."
"Iya... iya Teteh tahu ...."
"Di  sini, di gazebo ini adalah prakata. Jika hitam katakan hitam, jika  putih katakan putih. Jika sudah jelas, kita kembali ke ruang tamu. Kita  akan tindak lanjuti."
"Aaah kakak! Kayak sidang komisi saja!"
Menjelang kata-kata yang lebih serius, Wiwin dan Mira diam. Denny mengambil nafas dalam sebelum bicara.
"Mbak  Wiwin, dengan diawali permohonan maaf... jika Mbak berkenan, aku akan  menyatakan kata serius untuk gadis yang aku jumpai di Jamarat."
"Iii.... iya."
"Aku akan melamar Mbak Wiwin."
Kepala  Wiwin terasa melayang mendengar kata-kata Denny yang begitu jelas.  Untuk beberapa saat ketiganya diam. Setelah bisa menenangkan diri, Wiwin  berbicara.
"Kita belum lama kenal. Baru dua kali ini."
"Nggak  Mbak, bagi saya mengenal calon istri tidak diukur dengan waktu. Tetapi  dengan intensitas doa yang serius. Cukuplah Allah yang memberi isyarat  dengan membuka jalannya. Dan semua isyarat itu bagi Denny telah banyak.  Pertama, ketika Mbak memberikan saya syal di masjidil Harom. Kedua, doa  saya untuk bertemu dan mengembalikan syal terkabul. Ketiga, di Jamarot  saya pernah berjanji, dan Allah tak memberikan aral untuk menghalangi  saya memenuhi janji saya untuk datang ke Majalengka. Keempat, pesan  terakhir Dinar, shalih, cantik, dan punay adik sepantar sudah klop  dengan permintaan Dinar."
"Benar kak Denny, Mira setuju."
"De! Setuju apa?"
"Setuju dilamar. Nanti kita ke orang tua di ruang tamu, diseriusin."
"Ah kamu De, kaya ngerti saja!"
"Aaaah Teteh juga suka ke Kak Denny kan?"
"Tahu dari mana kamu De?" Wiwin benar-benar gemas melihat keterlibatan adiknya.
"Dari  pertanyaan kakak yang ini. Tahu dari mana? Berarti kan Teteh suka. Iya  kan?" kata Mira terkekeh. Muka Wiwin memerah. Denny tertawa melihat  kelucuan kakak adik itu.
"Sudah lah De, jangan ngawur kamu!"
"Aku punya bukti Teh. Aku punya bukti kok .... Ini bukti yang membuat Mira mendukung Teh Wiwin dengan Kek Denny jadian."
"Bukti apa?" Wiwin penasaran.
Gadis itu sama sekali tak menyangka ketika tiba-tiba Mira menyorongkan HP ke Denny. Wiwin kaget.
"Itu  HP-kuuuu!" kata Wiwin seraya meminta HP yang sudah berada di genggaman  Denny. Pemuda itu menyerahkan HP kepada Wiwin dengan tersenyum.
"Kok nggak dilihat dulu ada gambar apa Kak Denny?" tanya Mira.
"Nggak boleh sama Mbak-mu itu. Biar Mbakmu sendiri yang cerita ada apa di HP itu."
"De Mira! Awas!"
"Ini untuk kebaikan, boleh kan Teh?"
"Terserah kamu laah...." Akhirnya Wiwin pasrah. Denny menegang wajahnya.
"Ada gambar apa rupanya?" tanyanya.
"Tadi sewaktu Mira sibuk ngobrol dengan kakak, Teh Wiwin diam-diam memotret Kak Denny ..........."
"De  Miraaaaaaa!!!!!" Wiwin kaget sambil memeluk adiknya kencang Wajahnya  dibenamkan di dadanya. Dalam pelukan Mira terkekeh-kekeh.
"Emmm...... benar Mbak Win?"
"Engg.....nggg.....cuma satu kok!" jawan Wiwin sambil tersipu-sipu.
"Alhamdulillah. Ini adalah isyarat lain. Nggg... tapi kenapa dulu di Jamarat nggak minta foto ketika kita bertiga?"
"Malu."
"Alhamdulillaaaah.....  aku baru tahu jawabannya sekarang. Dulu juga aku berfikir Mbak Wiwin  akan minta foto juga, tapi tidak. Dengan alasan malu .... aku semakin  yakin, niatku hari ini tidak salah."
"Teteh! Awas.. ah, lepaskan  aku. Aku ada perlu niiih..... " kata Mira meronta hingga lepas dari  pelukan kakaknya kemudian meninggalkan gazebo.
Beberapa saat ketika tinggal berdua.
"Mbak  Win, dulu aku pernah mengatakan sama Mbak Win dan Ibu Yanti, jamarat  mungkin yang terakhir dalam hidup Denny, tapi saya berdoa mudah-mudahan  mengenal Mbak dan Ibu berdua bukan yang terakhir. Masih ingat?"
"Iyah." Â Â
"Hari ini Denny berharap adalah awal kelanjutan itu....."
"Mmmm...."
"Mbak  Win, aku tidak seperti laki-laki kebanyakan. Aku tak ingin pacaran. Aku  ta'aruf dengan doa. Allah telah memberikan isyarat. Dan bagi aku  cukup..."
Wiwin merasakan ini bagaikan mimpi di siang bolong.
"Aku sulit mengatakan Mas."
"Aku  akan melamarmu hari ini juga, disaksikan orang tuaku. Jika Mbak Wiwin  menerima, mari kita bareng ke ruang tamu. Jika keinginan Denny Mbak  Wiwin tolak, biarkan aku sendirian kembali ke ruang tamu."
Perlahan pemuda itu bangkit.
Wiwin  masih terpekur di tempat duduknya. Denny gelisah. Pemuda itu melangkah  perlahan meninggalkan gazebo dengan kepala tertunduk.
"Mas  Denny....." tiba-tiba Wiwin bangkit perlahan memanggil pemuda itu. Denny  berhenti, perlahan menoleh ke arah gadis yang menjadi mimpinya.
"Tunggu aku......" kata Wiwin sambil bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Denny. Di dekat pemuda itu Wiwin diam.
"Mbak Win, mau menemani aku ke ruang tamu?"
"Iyah....." jawab gadis itu hampir tak kedengaran.
"Alhamdulillah  .... nama Mbak Wiwin sekarang sudah tak ada lagi. Yang ada adalah De Wiwin. De  Wiwin ..... De Wiwin adalah buah doaku, berkah dari haromain. Terima kasih  De ...." Kata Dennny perlahan hampir tak terdengar.
Keduanya  berjalan saling diam menuju ruang tamu untuk menemui orang tua mereka.  Namun ada yang mereka lupakan. Mira. Mereka tidak tahu dalam jarak  sekitar tiga meter Mira berlindung di balik gordyn. Dengan lensa tele,  mahasiswa Statistika Unisba itu telah merekam seluruh adegan dan  percakapan yang romantis dan mendebarkan dalam rekaman video.
"Untuk surprise saat pernikahan Teteh nanti ...." gumam Mira dengan senyum puas.
Dengan  tak sadar, gadis itupun membayangkan kelak akan datang seorang pemuda kepada dirinya seperti Denny. Ta'aruf dengan doa, lalu Allah memberikan isyarat.  Lamar. Gadis itu tersenyum. ***
                        Majalengka, 23 Oktober 2017
   * Request dari Wiwin Yulianingsih
      Guru Bahasa Jerman SMAN 1 Majalengka
    * Cerpen ini fiksi murni , tidak ada kejadian yang mirip atau sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H