Mengantri  kamar mandi sejak pukul tiga malam membawa kebaikan yang bermanfaat.  Dengan teman-teman calon lain bisa shalat bersama di kesempitan tenda  Mina. Tak apa, yang penting tepat waktu. Lagi pula rencananya hari ini  adalah melontar jumrah yang terakhir karena mengambil nafar-awal.
Pukul  enam pagi rombongan telah siap berangkat. Perjalanan yang akan ditempuh  cukup jauh. Harus melewati dua terongan, satunya terowongan Mina atau  terowongan Al Muaishim. Wiwin bersama Bu Yanti telah menyiapkan  perlengkapan, terutama air. Begitu rombongan diberangkatkan, ternyata  kenyataan berbeda. Kekuatan fisik berbeda-beda. Ada yang jalannya  lambat, ada yang ngincig bagaikan mengejar sesuatu.
Termasuk  Wiwin, ia sama sekali tak habis pikir, kaki yang biasanya kuat untuk  melangkah, sejak bangun pagi tadi mendadak terasa sedikit nyeri di  pergelangan kaki. Itulah mengapa akhirnya Bu Yanti dan gadis itu  tertinggal dari rombongan lain.
"Kalau sakit jangan dipaksakan Win, badal kan sah juga." Saran Bu Yanti demi melihat keponakannya beberapa kali menyeringai.
"Nggak ah! Malu sama Bibi, aku masih kuat kok!"
"Kuat-kuat tapi cengar-cengir."
"Aaahhh..."
"Ya jalan dikit, ntar di terowongan Mina naik yang escalator."
"Iya Bi."
Dengan  motivasi yang dikumpulkan, gadis itu mencoba melawan dan melupakan rasa  nyeri di pergelangan kaki. Hari terakhir di jamarat harus sukses dengan  tanpa badal. Semua rangkaian rukun haji harus dilakukan dengan kekuatan  fisik sendiri. Kurang afdhol! Gumamnya sambil mengepalkan tangan.  Memang sah membadalkan melontar jumroh, namun baginya untuk apa  jauh-jauh dari tanah air jika haji tak dilakukan sendiri.