Mohon tunggu...
Bitorian Arsyad
Bitorian Arsyad Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum

Berusaha dan yakin adalah kunci keberhasilan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebab-Sebab Terjadinya Poligami dalam UU No 1 Tahun 1974

17 Maret 2024   13:38 Diperbarui: 17 Maret 2024   13:47 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Bitorian Arsyad Yanuar

Nim : 222121183 ( HKI 4E )

Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Judul : Sebab-Sebab Terjadinya Poligami Dalam UU No 1 Tahun 1974

Penulis : Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si. & Drs. H. Syamsul Falah, M.Ag.

Penerbit : PUSTAKA SETIA Bandung

Terbit : April 2019

Cetakan : Cetakan Kedua.

 

Abstrak

Poligami, yaitu memilikiistri lebih dari satu yang menjadi pasangan hidup, telah menjadi topik kontroversial dalam berbagai kalangan masyarakat di seluruh dunia. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan dan menganalisis sejumlah apa saja alasan yang sering dikemukakan oleh orang yang ingin melakukan poligami dan aturan yang terkait dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Pertama, alasan agama sering menjadi faktor utama di balik praktik poligami. Dalam agama islam diperbolehkan melakukan poligami dengan syarat harus berlaku adil kepada semua istri-istrinya. Kedua, faktor ekonomi juga sering dikaitkan dengan poligami. Di beberapa masyarakat, poligami dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan status ekonomi keluarga atau sebagai respons terhadap ketidakstabilan finansial. Selain itu, poligami juga dapat dipandang sebagai cara untuk memperluas jaringan sosial dan dukungan keluarga.

Selanjutnya, dalam beberapa kasus, poligami dipertimbangkan sebagai solusi untuk masalah sosial tertentu, seperti jumlah wanita yang lebih banyak dari pada pria dalam suatu komunitas. Selain itu, terdapat juga alasan kultural dan tradisional yang mendukung praktik poligami, dimana hal ini terkait dengan warisan budaya dan nilai-nilai tertentu yang melekat dalam suatu masyarakat.

Namun, di sisi lain, poligami juga dapat menimbulkan sejumlah isu sosial, termasuk ketidaksetaraan gender, ketidakstabilan emosional, dan konflik dalam hubungan antarindividu. Oleh karena itu, meskipun alasan-alasan tersebut dapat memberikan pemahaman tentang fenomena poligami, perlu diakui bahwa terdapat sudut pandang yang berbeda dalam masyarakat terkait dengan keabsahan dan kebutuhan akan praktik tersebut.

Kesimpulan, praktik poligami melibatkan dinamika yang kompleks, dipengaruhi oleh faktor-faktor agama, ekonomi. Analisis yang lebih dalam tentang alasan-alasan di balik poligami dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang fenomena ini, serta membuka ruang untuk diskusi yang lebih luas mengenai implikasi moral, sosial, dan hukumnya dalam konteks masyarakat modern.

 

Pendahuluan

Poligami, adalah kondisi dimana seseorang suami memiliki lebih dari satu istri yang hidup secara bersamaan, telah menjadi subjek perdebatan yang panjang dalam berbagai kalangan masyarakat yang ada di seluruh dunia. Meskipun poligami memiliki hukum yang terdapat dalam agama dan budaya. Namun, fenomena ini masih menjadi trending topik yang sangat kontroversial serta memicu beragam pandangan serta pendapat dan perhatian dari masyarakat serta lembaga hukum yang berwenang

Ada 2 pandangan mengenai poligami yang pertama poligami dipandang sebagai bagian dari tradisi, agama, atau budaya tertentu, sementara dalam pandangan yang kedua, dianggap sebagai bentuk bentuk penindasan yang terjadi terhadap wanita karena melanggar prinsip-prinsip kesetaraan dalam gender. Meskipun di beberapa negara khususnya indonesia poligami telah diatur secara ketentuan ketentuan hukum yang berlaku, dinegara lain poligami dilarang karena dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal terhadapa perempuan.

 

Rumusan Masalah

1. Apa saja alasan-alasan dalam Poligami?

2. Bagaimana prosedur Poligami?

3. Apa saja ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri sipil dan Pejabat Negara?

 

Pembahasan

KETERANGAN POLIGAMI DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Alasan-alasan Poligami

Secara Istilah, poligami artinya adalah mempunyai banyak istri. Dikatakan poligami apabila suami yang menikahi perempuan dengan lebih dari satu. Istilah poligami tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 3-5, yang artinya poligami diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh laki laki atau suami dengan lebib dari satu perempuan, atau dalam bahasa lain poligami adalah suami yang mempunyai istri lebih dari satu

Poligami diartikan sebagai suatu perkawinan yang dilakukan oleh suami atau istri untuk mendapatkan pendamping hidup lebih dari satu. Apabila pernikahan dilakukan oleh seorang suami terhadap perempuan lebih dari seorang, atau suami yang istrinya lebih dari satu, disebut dengan poligami .

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/1974, poligami adalah perkawinan yang tertuju pada beberapa persyaratan serta alasan. Persyaratannya adalah bahwa suami yang ingin poligami harus mendapatkan persetujuan dari istrinya dan disetujui melalui persidangan di pengadilan. Tujuannya sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1/1974,secara otomatis berfungsi agar menciptakan prinsip keadilan dalam rumah tangga.

Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri- istri dan anak-anak mereka.

 

Tiga persyaratan yang dijelaskan diatas tersebut memberikan pemahaman kepada suami sebelum melaksanakan poligami harus memiliki syarat syarat sehingga ia memiliki rasa tanggung jawab yang besar, tidak pilih kasih pada salah satu istri saja melainkan kepada semua istrinya agar mendapatkan cinta dan kasih sayang yang sangat tulus, suami yang memiliki finansial yang baik, yang mampu menghidupi istri dan anak-anaknya akan lebih besar mendapatkan persetujuan dari sang istri untuk diperbolehkan melakukan poligami, namun sebaliknya, jika suami finansial nya tidak bagus maka sang istri akan sangat sulit untuk mendapatkan persetujuan dari istrinya, dan bukan hanya untuk istri nya saja, bahkan untuk diri sendiri saja belum terpenuhi secara ekonomi ataupun batiniah-nya.

 

Al-Hamdani mengatakan bahwa keadilan dalam poligami harus setara dalam sikap serta tindakan baik secara materil dan spiritual maka akan muncullah batiniah, istri akan memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi suami yang poligami. Sebaliknya, suami akan memberikan seluruh kasih sayang kepada istri-istrinya secara adil dan seimbang

 

Poligami dibenarkan dalam Al-Quran dan undang undang dengan syarat dan aturan yang sangat kuat dan berat. Keadilan memang sangat sulit dibuktikan, karena yang bisa berlaku adil hanya yang mahaadil, namun untuk memenuhi syarat tersebut, Undang-undang telah memberikan aturan dengan sangat ketat, Yaitu suami harus meminta izin ke istri yang pertama, bahkan sang istri harus menyatakan persetujuannya oleh majelis hakim di pengadilan agama

 

Nabi Muhammad SAW  memberikan contoh mengenai pologami tersebut dalam QS An-Nisa ayat 3

 

 

Artinya : Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.

 

Dalam penjelasan yang ada di Al-Quran  maupun Al-Hadis menjadi pedoman hidup umat islam, suami yang melakukan poligami tidak didasarkan dengan alasan yang tidak tepat, melainkan ada hal tertentu yang di alami oleh sang istri, misalnya cacat badan, mandul, atau istri  yang tidak dapat melakukan kewajibannya tersebut sebagai istri, Dalam islam poligami dibenarkan atau diperbolehkan dengan syarat dan ketentuan suami tersebut harus berlaku adil terhadap istri-istrinya.

 

Dasar hukum poligami yang kedua adalah Al-hadis yaitu Hadis riwayat Abu Dawud yang artinya

"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda, 'Barang siapa mempunyai dua orang istri lalu lebih berat pada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dengan bahu miring." (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Nas'i, dan Ibnu Majah dalam Sunan Abu Dawud, t.t.: 768)

 

Pasal dalam UU No 1 tahun 1974 yang berkaitan dengan poligami terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Pasal 4 yang ayat 2 berisi sebagai berikut:

1. Suami yang akan beristri lebih dari satu dalam Pasal 3 ayat (2) UU ini, maka wajib mengajukan permohonan ke pengadilan daerah tempat tinggalnya

2. Pengadilan dijelaskan pada ayat (1) hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari satu apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

1. Alasan Pertama

Hak serta kewajiban suami istri menurut UU No 1/1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34. Pasal 30 disebutkan, Suami istri membawa kewajiban yang sangat besar dalam menegakkan rumah tangga yang menjadi syarat utama menjadi susunan masyarakat.

 

Dalam Pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban suami istri, yaitu 1.

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

2. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum; Suami adalah kepala keluarga, dan istri, ibu rumah tangga.

 

Pasal 32 menyatakan bahwa:

1. Suami istri harus tempat tinggal yang menetap

2. Rumah tempat tinggal berdasarkan ayat ini (1) Pasal ini ditentukan sesuai kesepakatan bersama

 

Pasal 33: "Suami istri harus saling mencintai dan memberi kasih sayang lahir dan batin

 

Pasal 34 sebagai berikut:

1. Suami wajib menjaga istri serta memberikan keperluan hidup rumah tangga kemampuannya

2. Istri wajib membenahi rumah tangga

3. Jika suami atau istri melupakan kewajibannya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri dibagi kedalam enam bagian, yakni sebagai berikut.

 

Pertama, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal  yang kaitannya sama materinya dengan pasal yang terdapat dalam UU No 1/1974 Pasal 30-34

Bagian Kedua, Kedudukan Suami Istri pada Pasal 78, yaitu:

1. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga;

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan

   rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

 

Bagian Ketiga, Kewajiban Suami pada Pasal 80:

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangga, tetapi mengenai hal serta urusan

   rumah tangga yang penting di putuskan oleh kedua pasangan

2. Suami wajib menjaga istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga

   dengan semampunya

3. Suami wajib serta harus memberi pendidikan agama kepada istrinya

4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak

c. Biaya pendidikan bagi anak.

d. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat

(4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tahkim sempurna dari istrinya

e. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b

f. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istrinya nusyuz.

 

Bagian Keempat, Tempat Kediaman pada Pasal 81:

1. Suami wajib memberikan tempat tinggal bagi istri dan anak- anaknya atau mantan istri yang masih dalam iddah;

2. Tempat tinggal adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah atau iddah wafat;

3. Tempat kediaman disediakan untuk menjaga istri dan anak- anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;

4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya dengan keadaan sekitar tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana yang sangat dibutuhkan lainnya

 

Bagian Kelima, Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang, pada Pasal 82 yang berbunyi:

1. Suami yang mempunyai istri lebih dari satu wajib memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara imbang baik secara besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri,kecuali terdapat perjanjian perkawinan

2. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

 

Bagian Keenam, Kewajiban Istri, pada Pasal 83:

1. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir serta batin kepada suami yang bagaimana telah dijelaskan dan dibenarkan dalam hukum islam

2. Istri wajib mengatur seluruh keperluan rymah tangga setiap hari dengan sebaik baiknya

 

Pasal 84:

1. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;

2. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku, kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya;

3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istrinya tidak nusyuz;

4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

 

Hak dan kewajiban suami istri menurut Undang-Undang Nomor 1/1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah sangat lengkap. Hak istri adalah kewajiban suami, sebaliknya hak suami merupakan kewajiban istri.

 

Dalam hukum Islam tidak berbeda, kewajiban suami adalah pemimpin dalam keluarga, dengan demikian istri harus mengabdi kepada suami yang membimbingnya ke jalan kebajikan dan takwa. Menurut Sayyid Sabiq (1987: 52) "Jika akad nikah telah sah, ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami istri. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam, yaitu; (1) Hak istri atas suami; (2) Hak suami atas istri; dan (3) Hak bersama. Masing-masing suami istri jika menjalankan kewajibannya dan memerhatikan tanggung jawabnya akan mewujudkan ketenteraman dan ketenangan hati sehingga suami istri mendapatkan kebahagiaan yang sempurna."

 

Hak istri terhadap suaminya meliputi:

1. hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah;

2. hak rohaniah, seperti melakukannya dengan adil jika suaminya poligami dan tidak boleh membayakan istri.

 

Suami berkewajiban melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

1. memberi keperluan hidup keluarganya untuk kebutuhan rohaniah dan jasmaniah;

2. suami melindungi istri dan anak-anaknya dari segala sesuatu yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan, sebagaimana suami berkewajiban memberi tempat kediaman;

3. suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan; 4. suami berkewajiban menggauli istrinya dengan baik dan benar.

 

Istri berkewajiban melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. melayani kebutuhan suaminya secara lahir maupun batinnya;

2. menjaga nama baik dan kehormatan suami serta harta bendanya;

3. mengabdi dengan taat kepada ajaran agama dan kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

4. suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai semua kebutuhan rumah tangganya memiliki hak untuk mengatur dengan baik terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya dengan cara bermusyawarah.

 

Dengan demikian, jika istri "tidak dapat menjalankan kewajibannya", artinya istri tidak dapat melakukan hal-hal:

1. melayani kebutuhan suaminya secara lahir maupun batinnya;

2. menjaga nama baik dan kehormatan suami serta harta bendanya;

3. mengabdi dengan taat kepada ajaran agama dan kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

4. mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

5. mencintai suami, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin kepada suaminya.

 

Apabila istri "tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut, suami memiliki hak untuk melakukan poligami, karena hal tersebut dibenarkan oleh undang-undang.Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut, suami memiliki hak untuk melakukan poligami, karena hal tersebut dibenarkan oleh undang-undang.

 

Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri adalah adanya unsur ketidakberdayaan dari sang istri untuk menjalankan kewajiban tersebut, artinya bukan karena unsur kesengajaan. Jika disebabkan oleh unsur kesengajaan, istri demikian dikategorikan sebagai istri yang durhaka atau nusyuz, yang tentu saja

bukan untuk dipoligami, melainkan harus dinasihati atau yang paling ekstrem sebagai pilihan terakhir adalah diceraikan oleh suaminya.

Kewajiban istri adalah menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Hal itu bukan hanya kewajiban istri, juga merupakan kewajiban suami (Pasal 30). Makna dari tidak dapat menegakkan rumah tangga tidak dijelaskan secara nyata oleh Undang-Undang Perkawinan, tetapi terdapat beberapa indikator bahwa istri tidak dapat menegakkan rumah tangganya, yakni: (1) istri yang durhaka kepada suami; (2) istri yang pemboros; (3) istri yang tidak bersedia tinggal bersama suaminya di kediaman tempat tinggal yang telah disediakan suami; dan (4) istri yang mengidap penyakit lahiriah atau mental yang sukar disembuhkan.

 

Apabila alasan yang dimaksudkan oleh Pasal 4 ayat (2) huruf (a) bukan sebagaimana pemahaman di atas, yakni istri yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, kata "tidak dapat" kurang tepat jika diartikan dengan "tidak mau melaksanakan kewajibannya sebagai istri". Kalimat "tidak dapat" lebih tepat diartikan bahwa istri yang dimaksudkan adalah terganggu fisik atau batinnya atau karena sebab yang lain yang bukan "disengaja atau direncanakan", sehingga kewajibannya sebagai istri tidak dapat dilakukan. Dengan pemahaman ini, alasan suami poligami berbeda jauh dengan alasan dibolehkannya menceraikan istri.

 

2. Alasan Kedua

Alasan kedua suami boleh melakukan poligami adalah istri tidak dapat menjalankan kewajibannya karena mendapat penyakit atau cacat badan yang sukar disembuhkan. Pemahaman terhadap kalimat "tidak dapat" berhubungan erat dengan alasan berikutnya yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat 2 huruf (c). Pada huruf (c) dikatakan bahwa suami akan diberi izin melakukan poligami jika istrinya tidak dapat memberikan keturunan. Dua ayat tersebut menggunakan kata "tidak dapat" yang artinya merupakan peristiwa yang terjadi atau dialami karena kehendak Allah semata-mata, bukan disengaja apalagi direncanakan.

 

Apabila dipahami lebih mendalam perbedaan kalimat tersebut adalah sebagai berikut.

Istri yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam membangun rumah tangganya karena cacat badan atau

 

3. Alasan Ketiga

Alasan ketiga, suami boleh poligami adalah istri tidak dapat memberikan keturunan, misalnya mendapatkan kemandulan yang permanen akibat rahimnya telah diangkat, terkena kanker rahim, dan berbagai sebab lainnya yang mengakibatkan istri tidak dapat mem- berikan keturunan.

 

Alasan suami boleh poligami karena alasan ini adalah sebagai berikut:

1. semua pasangan suami istri berkeinginan memperoleh keturunan dari hasil perkawinannya;

2. keturunan merupakan bukti cinta dan kasih sayang yang abadi bagi suami istri;

3. keturunan merupakan generasi penerus dan pewaris keluarga;

4. keturunan menjadi kebanggaan bagi pasangan suami istri; dan

5. keturunan dalam rumah tangga merupakan aset yang utama yang nilainya melebihi harta apa pun.

 

Dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa untuk mengajukan permohonan ke pengadilan, sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Telah ada persetujuan dari istri/istri

1. Telah ada kepastian suami dapat menjamin keperluan istri-istri nya dan seluruhnya anaknya

2. Telah ada jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan seluruh anaknya.

b. Poligami dibenarkan oleh Al-Quran dan UU dengan persyaratan. Suami harus mampu berlaku adil. Apabila dipahami lebih dalam perbedaan kalimat tersebut sebagai berikut.

1. Istri yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam membangun rumah tangganya karena cacat badan atau

2. Istri yang cacat badan atau terkena penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

3. Istri yang mengalami kemandulan yang berakibat tidak dapat memberikan keturunan, disamakan dengan tidak dapat melayani suaminya secara lahir dan batin.

 

B. Prosedur Poligami

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9/1975 Pasal 40 dijelaskan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Pasal ini merupakan penegasan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 4 yang kemudian tata cara pelaksanaannya diuraikan dalam Pasal 41 yang menyebutkan bahwa Pengadilan kemudian memeriksa mengenai hal-hal berikut:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

(1) bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

(2) bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

(3) bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.

c. Ada atau tidaknya persetujuan kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan

Dijelaskan pula dalam PP Nomor 9/1975 Pasal 40, "Apabila seorang suami bermaksud tujuan untuk mempunyai istri lebih dari satu maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan." Artinya suami membuat surat pengajuan secara tertulis yang disampaikan ke pengadilan melalui panitera yang nantinya akan diperiksa dalam persidangan.

Dalam Pasal 41 dikatakan: Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. ada tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

* bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

* bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

* bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. ada atau tidaknya persetujuan dari istri baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Sidang Pengadilan.

c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan:

* surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda- tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

* surat keterangan pajak penghasilan; atau

* surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pegawai pencatat dilarang melakukan pencatatan jika perkawinan yang dilakukan suami atas dasar poligami tersebut belum mendapatkan izin dari pengadilan. Dengan demikian bagi seorang suami yang bermaksud poligami harus meminta izin dari pengadilan dan harus membuat surat keterangan penghasilan dari tempatnya bekerja yang ditandatangani langsung oleh bendahara. Suami yang hendak poligami seperti pegawai yang bermaksud mengajukan pinjaman kredit ke bank

C. Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri sipil dan Pejabat Negara

Pasal 19

Setiap pejabat atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya membuat dan memelihara catatan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing.

 

Dalam Pasal 10 dijelaskan:

1. Izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. istri tidak dapat dapat melahirkan keturunan.

3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:

a. Ada persetujuan tertulis dari istri;

b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang ber.sangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. (4) Izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila:

1. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

2. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

 

d. alasan yang dikemukan bertentangan dengan akal sehat; dan/ atau ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

 

Untuk Pegawai Negeri Sipil prosedur permohonan izin poligaminya dapat dilakukan dengan cara membuat surat permohonan izin poligami yang disampaikan kepada pejabat yang merupakan atasannya secara langsung atau di bawah atasannya yang telah didelegasikan. Misalnya seorang Pegawai Negeri Sipil yang jabatannya sebagai dosen di UIN bermaksud poligami, maka ia harus meminta izin kepada Menteri Agama atau kepada Rektor, atau kepada Dekan di Fakultas tempat ia bekerja.

 

Di dalam Pasal 1 ayat 2 huruf (b) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat sebagai berikut:

1. Menteri

2. Jaksa Agung

3. Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen

4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi atau Tinggi Negara

5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

6. Pimpinan Bank Milik Negara

7. Pimpinan BUMN

8. Pimpinan Bank Milik Daerah

9. Pimpinan Badan Usaha Milik Daerah.

 

Pada pasal-pasal tersebut menjelaskan tentang bahwa menteri adalah salah satu pejabat yang harus dimintai izin oleh ASN atau menteri adalah orang yang berwenang memberikan izin bagi yang akan melakukan poligami, tetapi menteri mempunyai bawahan dan bawahan menteri mempunyai bawahan dan seterusnya. Maka dari itu, permintaan izin dapat dilakukan atau diajukan kepada pejabat atau atasan langsung kepada ASN yang bersangkutan. Prosedurnya tidak jauh berbeda dengan suami yang bukan PNS yang melakukan poligami. Bahkan, ASNwanita pun diperbolehkan menjadi istri kedua jika memperoleh dan mendapat izin dari pejabat atau atasannya langsung di tempatnya bekerja.

 

Kesimpulan

Poligami artinya adalah mempunyai banyak istri. Dikatakan poligami apabila suami yang menikahi perempuan dengan lebih dari satu, melakukan poligami pada perkawinan tertuju pada beberapa persyaratan serta alasan. Persyaratannya adalah bahwa suami yang ingin poligami harus mendapatkan persetujuan dari istrinya dan disetujui melalui persidangan di pengadilan, dengan adanya persetujuan dari istri/istri-istri;maka istri akan memiliki kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka serta mempunyai jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri- istri dan anak-anak mereka. Bagi pegawai negeri yang ingin melakukan poligami harus mengikkuti aturan yang berlaku yaitu harus memperoleh izin dari atasannya langsung di tempatnya bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun