"Trus, jualannya di mana? Harganya berapa?" tanya Farah.Â
"Nah, ini juga terserah kalian. Seperti Bunda bilang tadi, itu bagian dari strategi. Silakan kalian atur sendiri. Mau di sekolah, di mesjid tempat kalian mengaji, atau di mana saja, boleh. Soal harga juga gitu, terserah kalian menentukan. Ambil aja patokan harga rata-rata di sekolah kalian. Lalu jual lebih murah atau sama. Bisa juga lebih mahal, asal kalian pintar promosi, pasti tetap laku."Â
Aisyah diam sesaat. Ia lihat air muka ketiga anaknya bergantian. Menakar, apakah mereka antusias atau tidak.Â
"Gimana, kalian tertarik?"Â
"Aku terarik, seru nih!" ujar Farah bersemangat.Â
"Aku juga!" Firza tak kalah semangat.Â
"Fatih, gimana? Tertarik ikut permainan ini?" kejar Aisyah karena Fatih tidak bereaksi sebagaimana kedua adiknya.Â
"Oke Bunda, Abang ikut." Akhirnya bocah berwajah ganteng itu bersuara sambil mengacungkan jempol kanan dan tersenyum tipis.Â
Lagi-lagi mirip sekali dengan mendiang ayahnya. Kadang Aisyah merasa rindu pada almarhum suaminya terobati tiap kali melihat Fatih tersenyum. Mereka benar-benar mirip.Â
Aisyah lega. Misi pertamanya tercapai. Ia sudah berhasil membuat skenario seolah ini semua hanya permainan sehingga ketiga anaknya antusias mau berjualan.Â
"Baik, kalau gitu, silakan kalian tentukan mau jualan apa, supaya Bunda bisa segera siapkan," lanjut Aisyah.Â