Ya, tak ada jalan lain, Aisyah terpaksa mengkaryakan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu untuk membantu berjualan.Â
Akan tetapi, ada hal yang mengganjal hati Aisyah. Ia teringat prinsip suaminya, bahwa anak-anak adalah sepenuhnya tanggung jawab orang tua. Anak-anak harus sedapat mungkin dibuat gembira dan bahagia. Mereka tak boleh bekerja, kecuali membantu-bantu pekerjaan rumah untuk melatih tanggungjawab. Tugas anak hanya belajar dan harus diberikan hak untuk bermain, bergembira, sesuai perkembangan usia.Â
Prinsip itu amat dipegang sang suami. Semasa hidupnya Almarhum selalu sedapat mungkin menghadirkan kegembiraan dan tawa bahagia pada anak-anak mereka. Meskipun dengan cara-cara yang sederhana dan murah sesuai kemampuan ekonomi mereka.Â
Sang suami juga tak ingin anak-anak tahu kesulitan ekononomi keluarga. Biarkan mereka tetap ceria karena segala kebutuhan mereka selalu terpenuhi, meski sederhana.Â
Sebuah dilema. Kali ini Aisyah terpaksa meminta anak-anaknya bekerja untuk mencukupi nafkah keluarga. Ini jelas menyimpangi prinsip sang suami. Meminta mereka berjualan jelas akan merenggut sebagian hak mereka untuk belajar, bermain, dan bergembira.Â
Belum lagi risiko anak-anaknya merasa malu karena diejek atau bahkan dirundung teman-temannya karena berjualan. Aisyah pun jelas tak ingin itu terjadi.Â
Tapi, tak ada pilihan. Hanya ini satu-satunya jalan keluar.Â
Aisyah memutar otak mencari cara supaya anak-anaknya mau berjualan tanpa merasa terpaksa, tidak merasa malu, bahkan kalau bisa menjalaninya dengan riang gembira. Â
***Â
Aisyah tengah berkumpul dengan keempat anaknya. Ada ide yang dia peroleh setelah tahajut tadi malam. Ia berharap, dengan melaksanakan ide ini, uang diperoleh, anak-anaknya pun tidak merasa terbebani, tetap bahagia, gembira, sebagaimana yang selalu diinginkan mendiang suaminya.Â
"Fatih, Farah, Firza, sini dengar Bunda. Bunda mau ngasih permainan seru untuk kalian."Â