Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maafkan Bunda Terpaksa Membohongi Kalian, Nak

22 Oktober 2022   15:39 Diperbarui: 22 Oktober 2022   15:40 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aisyah gelisah setelah melihat uang di dompetnya hanya tersisa empat ratus ribu. Sementara, di rekening juga sudah tak ada lagi uang yang bisa ditarik, hanya tersisa saldo minimal, lima puluh ribu. 

Rekening itu memang tak pernah lama memiliki saldo. Tiap tanggal empat terisi beberapa ratus ribu rupiah dari bagi hasil menulis di aplikasi literasi berbayar, KBM App, tetapi di hari yang sama langsung kosong karena segera ia tarik seluruhnya untuk menambah-nambah biaya kebutuhan harian. 

Minggu depan jatuh tempo bayar kontrakan. Tidak besar sebenarnya, karena hanya paviliun sederhana di sebuah gang sempit, hanya tiga ratus ribu sebulan sewanya. Tapi bagi Aisyah terasa sangat besar. Ia hanya seorang 'single parent' dengan empat anak yang masih kecil: tiga orang usia SD dan satu orang belum genab dua tahun. 

Sepeninggal suami, Aisyah dan keempat buah hatinya bertahan hidup hanya dari tabungan yang jumlahnya tak seberapa, dan sekarang hanya tersisa empat ratus ribu. Penghasilannya dari menulis hanya mampu menunda sementara habisnya tabungan itu. 

Aisyah sudah mencoba cari tambahan lain. Ia berjualan macam-macam secara online, tapi tak ada yang laku. 

Kadang ia heran, kenapa Tuhan tak menggerakkan hati para tetangga dan kerabat agar sudi membeli dagangannya. Tidak kasihankah mereka pada keempat anak-anaknya yang yatim? 

Pernah pula ia merasa Tuhan tidak adil. Tulisannya di KBM App hanya menghasilkan 200 - 300 ribu sebulan. Padahal ia merasa sudah menulis dengan bagus. Telah menerapkan semua kaidah menulis yang baik serta mempraktekkan berbagai kiat membuat cerita supaya menarik yang ia pelajari dari beberapa penulis hebat. Tapi tetap saja hasilnya tak seberapa. 

Sementara, ada penulis yang hidupnya sudah sejahtera malah berpengahasilan puluhan juta, padahal karyanya biasa-biasa saja. Sungguh tidak adil. 

Di tengah kebuntuan, dengan rasa bimbang Aisyah coba menghubungi kakak iparnya. 

[Bang, tidak adakah jatah warisan almarhum Bapak yang menjadi hak suamiku? Jika ada, aku mohon bisa menerimanya, Bang. Aku dan anak-anak butuh untuk menyambung hidup] 

Rasa ragu Aisyah tadi terbukti. Pesan itu dibaca, tapi sudah bermenit-menit tak kunjung dibalas. Sesuatu yang sebenarnya sudah ia duga. 

Pembagian warisan itu memang alot. Ada konflik antara saudara-saudara suaminya terkait porsi pembagiannya. 

Sejak semula suaminya sebenarnya enggan terlibat konflik itu. Ia lebih memilih mengalah saja ketimbang ribut dengan saudara sedarah. Hanya saja saudar-saudaranya yang lain yang saling ngotot. Berkali-kali mereka berunding, selalu berujung pertengkaran. 

Pertengkaran terakhir bahkan ia duga menjadi penyebab suaminya meninggal mendadak karena serangan jantung. Sang suami 'shock' karena perbedaan pendapat makin sulit dicarikan titik temunya. Semua merasa berhak dapat porsi lebih besar. Suaminya yang berusaha menengahi dengan mengingatkan agar pembagian dikembalikan ke hukum waris Islam saja, malah diserang. Sang suami pun akhirnya pasrah, bahkan ikhlas seandainya tak kebagian sama sekali, yang penting saudara-saudaranya kembali akur. 

Aisyah sebenarnya setuju dengan sikap suaminya yang tak mau ikut-ikutan berebut warisan begitu. Hanya karena saat ini terdesak kebutuhan saja makanya ia coba menanyakan hak suaminya atas harta peninggalan itu. Namun hasilnya nihil. 

Ia kecewa dengan sikap ipar-iparnya. Apa mereka tidak mau menyerahkan hak anak-anaknya atas warisan itu? Tidak pahamkah mereka ajaran agama? Memakan hak anak yatim adalah perbuatan zalim yang sangat dilaknat Allah. Tidak takutkah mereka akan azabnya? 

Aisyah makin bingung, apa lagi upaya yang bisa ia tempuh untuk bisa segera mendapatkan uang? Mencari kerja jelas tak bisa karena anak bungsunya tak mungkin ditinggal. 

Satu-satunya jalan memang hanya jualan. Tapi harus jualan langsung, bukan online. Karena jualan online sudah berkali-kali ia lakukan dan gagal. 

Bolak-balik berpikir, kembali hanya itu jalan keluar yang muncul di benaknya. 

Masalahnya, siapa yang akan berjualan? Soal apa yang akan dijual, tidak masalah. Aisyah yakin untuk berjualan makanan, karena mudah, bisa segera dilakukan. Ia pandai memasak berbagai jenis kue dan penganan tradisional yang cita rasanya sudah terbukti enak, setidaknya menurut anak-anaknya. 

Berjualan makanan juga tak perlu modal banyak tapi keuntungannya lumayan besar, bisa seratus persen. 

"Satu-satunya cara, meminta anak-anak yang berjualan," batinnya. 

Ya, tak ada jalan lain, Aisyah terpaksa mengkaryakan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu untuk membantu berjualan. 

Akan tetapi, ada hal yang mengganjal hati Aisyah. Ia teringat prinsip suaminya, bahwa anak-anak adalah sepenuhnya tanggung jawab orang tua. Anak-anak harus sedapat mungkin dibuat gembira dan bahagia. Mereka tak boleh bekerja, kecuali membantu-bantu pekerjaan rumah untuk melatih tanggungjawab. Tugas anak hanya belajar dan harus diberikan hak untuk bermain, bergembira, sesuai perkembangan usia. 

Prinsip itu amat dipegang sang suami. Semasa hidupnya Almarhum selalu sedapat mungkin menghadirkan kegembiraan dan tawa bahagia pada anak-anak mereka. Meskipun dengan cara-cara yang sederhana dan murah sesuai kemampuan ekonomi mereka. 

Sang suami juga tak ingin anak-anak tahu kesulitan ekononomi keluarga. Biarkan mereka tetap ceria karena segala kebutuhan mereka selalu terpenuhi, meski sederhana. 

Sebuah dilema. Kali ini Aisyah terpaksa meminta anak-anaknya bekerja untuk mencukupi nafkah keluarga. Ini jelas menyimpangi prinsip sang suami. Meminta mereka berjualan jelas akan merenggut sebagian hak mereka untuk belajar, bermain, dan bergembira. 

Belum lagi risiko anak-anaknya merasa malu karena diejek atau bahkan dirundung teman-temannya karena berjualan. Aisyah pun jelas tak ingin itu terjadi. 

Tapi, tak ada pilihan. Hanya ini satu-satunya jalan keluar. 

Aisyah memutar otak mencari cara supaya anak-anaknya mau berjualan tanpa merasa terpaksa, tidak merasa malu, bahkan kalau bisa menjalaninya dengan riang gembira.  

*** 

Aisyah tengah berkumpul dengan keempat anaknya. Ada ide yang dia peroleh setelah tahajut tadi malam. Ia berharap, dengan melaksanakan ide ini, uang diperoleh, anak-anaknya pun tidak merasa terbebani, tetap bahagia, gembira, sebagaimana yang selalu diinginkan mendiang suaminya. 

"Fatih, Farah, Firza, sini dengar Bunda. Bunda mau ngasih permainan seru untuk kalian." 

Ketiga bocah itu serempak menoleh dan menghentikan aktivitas mereka. Sedangkan si bungsu masih tertidur lelap. 

"Permainan apa, Bunda? Si nomor tiga, Firza, langsung penasaran. 

Bocah kelas satu SD itu segera mendekat dan duduk di sebelah Aisyah. Sementara kedua kakaknya juga terlihat antusias mendengar akan ada permainan. Mereka menyusul mendekat. 

"Begini, Bunda ada permainan keren untuk kalian. Selain permainan, ini juga semacam perlombaan yang seru." Dengan wajah berbinar Aisyah tatap mata ketiga bocah itu bergantian. 

"Wah, asiiik ... permainan apa, Bunda?" Farah, si nomor dua yang juga kelas dua SD, ikut penasaran. Sedangkan si sulung Fatih, meski juga terlihat penasaran tapi tak berkata apa-apa. Ia memang cenderung pendiam, tak banyak cakap, persis almarhum ayahnya. 

"Nama permainannya, wira usaha untuk menghasilkan uang," ujar Aisyah mantap. 

Ketiga bocah saling pandang, lalu Farah langsung bertanya, mewakili kebingungan dua saudaranya mengenai nama permainan itu. 

"Wira usaha ...? Lomba menghasilkan uang? Permainan apa tuh, Bun? Gimana caranya?" 

"Singkatnya, dalam permainan ini, kalian harus berjualan. Nanti, siapa yang paling banyak menghasilkan uang dari hasil berjualan itu, dia lah yang jadi pemenang." 

"Jualan apa, Bunda?" sela Firza. 

"Jualan makanan atau kue-kue. Selama ini kalian selalu suka makanan dan kue-kue yang Bunda bikin, kan? Nah, terserah kalian mau jualan apa. Nanti Bunda yang bikin. Kalian tinggal jualan dan atur strategi sebaik mungkin supaya laku." 

"Trus, jualannya di mana? Harganya berapa?" tanya Farah. 

"Nah, ini juga terserah kalian. Seperti Bunda bilang tadi, itu bagian dari strategi. Silakan kalian atur sendiri. Mau di sekolah, di mesjid tempat kalian mengaji, atau di mana saja, boleh. Soal harga juga gitu, terserah kalian menentukan. Ambil aja patokan harga rata-rata di sekolah kalian. Lalu jual lebih murah atau sama. Bisa juga lebih mahal, asal kalian pintar promosi, pasti tetap laku." 

Aisyah diam sesaat. Ia lihat air muka ketiga anaknya bergantian. Menakar, apakah mereka antusias atau tidak. 

"Gimana, kalian tertarik?" 

"Aku terarik, seru nih!" ujar Farah bersemangat. 

"Aku juga!" Firza tak kalah semangat. 

"Fatih, gimana? Tertarik ikut permainan ini?" kejar Aisyah karena Fatih tidak bereaksi sebagaimana kedua adiknya. 

"Oke Bunda, Abang ikut." Akhirnya bocah berwajah ganteng itu bersuara sambil mengacungkan jempol kanan dan tersenyum tipis. 

Lagi-lagi mirip sekali dengan mendiang ayahnya. Kadang Aisyah merasa rindu pada almarhum suaminya terobati tiap kali melihat Fatih tersenyum. Mereka benar-benar mirip. 

Aisyah lega. Misi pertamanya tercapai. Ia sudah berhasil membuat skenario seolah ini semua hanya permainan sehingga ketiga anaknya antusias mau berjualan. 

"Baik, kalau gitu, silakan kalian tentukan mau jualan apa, supaya Bunda bisa segera siapkan," lanjut Aisyah. 

"Aku mau jualan cilok, Bun. Cilok bikinan Bunda enak banget. Aku yakin bakal laku kalau dijual." Farah paling duluan menentukan pilihan. 

"Aku mau jualan brownies aja. Brownies bikinan bunda juga enak." Firza juga terlihat yakin.  

Lagi-lagi Fatih yang tidak segera menjawab. 

"Fatih gimana? Mau jualan apa?" Kembali Aisyah harus memancing. Ia agak khawatir, jangan-jangan Fatih sebenarnya paham bahwa ini akal-akalannya saja. 

"Mmmm ... Fatih ikut Farah aja, jualan cilok. Teman-teman Fatih dulu pernah nyicipi cilok buatan Bunda, mereka suka." 

Aisyah lega mendengar jawaban itu. 

Baik, permainan ini akan kita mulai besok. Tapi ingat, tiap permainan ada syaratnya, begitu pula permainan ini. 

Syaratnya ada dua. Pertama, kalian harus menjalaninya dengan gembira, dengan ceria, karena ini permainan. Kedua, sekolah kalian tidak boleh terganggu. Jika dua syarat itu tidak bisa kalian penuhi, nilai kalian dikurangi. Paham?" jelas Aisyah diakhiri senyum mengembang yang dipaksakan. 

"Siap, Bunda. Jelaas!" teriak ketiga bocah itu bersemangat hampir bersamaan. 

"Oya, Bunda .... Karena ini perlombaan, ada hadiahnya, dong?" tanya Fatih. 

"Hmmm .... Ya ... tentu ada hadiahnya. Bunda janjikan hadiahnya pasti keren dan sangat istimewa. Tapi belum bisa Bunda sampaikan sekarang. Kita jalani dulu lombanya, ya." 

Ketiga bocah itu langsung berbinar mendengar itu. Padahal Aisyah belum terpikir hadiah apa yang akan dia kasih. Yang terpikir saat ini hanya bagaimana supaya ketiga anaknya ini bersemangat jualan dan bisa segera menghasilkan uang, makanya ia janjikan akan ada hadiah yang menarik. 

***** 

Pagi ini Aisyah dan ketiga anaknya sibuk luar biasa. Sementara anak-anak bersiap, Aisyah menyiapkan dagangan yang akan mereka bawa. 

Setelah semua siap, ketiganya pamitan. Mereka terlihat ceria dan penuh semangat. 

Farah yang terlihat paling bergairah. 

"Pokoknya Farah pasti menang deh, Bunda," ujarnya yakin dengan wajah semringah, lalu mencium tangan sang Bunda. 

Bocah yang memang periang itu berjalan gegas sambil menenteng dagangan yang dikemas Aisyah dalam sebuah keranjang tenteng seperti keranjang belanjaan swalayan. 

Firza juga tak kalah bersemangat. Setelah salim ia langsung berjalan tergesa-gesa. Ia mau segera tiba di sekolah supaya bisa langsung jualan sebelum bel masuk berbunyi. 

Hanya Fatih yang terlihat biasa-biasa saja. Aisyah kembali menduga putra sulungnya itu sebenarnya sudah paham semua ini hanya skenarionya saja. Karena sudah kelas empat, bisa jadi dia sudah mengerti keadaan keuangan bundanya, meski Aisyah selalu menutupinya. 

Setelah ketiga bocah itu hilang dari pandangan, Aisyah tak kuasa lagi membendung air mata yang sejak tadi ia tahan. Bulir-bulir bening itu akhirnya luruh, merembes berkejaran membasahi pipinya. 

Rasa haru dan sedih campur aduk menyesaki rongga dada. 

Ia terharu melihat ketiga darah dagingnya itu berangkat sekolah seraya menenteng dagangan. Namun sekaligus sedih karena ia telah membohongi mereka dengan skenario yang terpaksa ia buat. 

Aisyah juga sedih memikirkan andai dagangan itu nantinya tidak laku. Pasti ketiga bocah lugu itu sedih, keceriaan mereka seketika sirna. Uang yang diharapkan untuk membayar kontrakan dan menyambung hidup pun tak diperoleh. 

***** 

Setibanya di sekolah, tanpa ragu Farah langsung mempromosikan dagangannya. Jam masuk masih lima belas menit lagi, tapi sebagian besar murid sudah datang. 

"Ayo sini, aku jualan cilok enak, nih. Ayo pada beli dong!" Promosi Farah dengan suaranya yang lengking.   

Tak lama, teman-temannya segera mengitari. 

"Dijual berapa segini, Farah?" seorang anak laki-laki mengambil sebungkus cilok dari keranjang. 

"Lima ribu." 

"Yaah ... kok lebih mahal dari pada ciloknya Mang Ucup di depan sekolah?" 

"Eh, jangan salah ... cilok bikinan bundaku ini lebih enak. Bumbunya lebih terasa. Coba deh kalau gak percaya." 

Farah membuka satu bungkus, lalu membagikannya sebagai tester. 

"Hmm, iya, enak banget nih!" seru anak laki-laki tadi. 

"Iyaaa ... enak. Lebih gede-gede juga." timpal anak perempuan di sebelahnya..." 

Dagangan Farah pun sudah terjual banyak sampai bel masuk berbunyi. Hanya tersisa beberapa bungkus. Ketika jam istirahat, cilok yang tersisa itu pun habis terjual. 

"Yaaah .... habis ya, Farah? Padahal aku mau beli lagi untuk dibawa pulang." ujar seorang teman Farah yang telah memegang selembar lima ribuan. 

"Iya, habis nih. Besok lagi, ya." sahut Farah dengan raut puas. 

"Besok bawa yang banyak ya." 

"Siip ... nanti aku bilang Bunda bikin yang banyak." 

Farah segera mengemasi keranjang dagangannya. Seluruh uang hasil jualan ia susun dan lipat rapi lalu menyimpannya dalam saku tas. 

Bocah itu berlari-lari kecil dengan riang. Tak sabar ingin segera tiba di rumah dan melaporkan kesuksesannya berjualan hari pertama. 

***** 

Di sekolahnya, Firza menjalankan strategi yang berbeda. 

Ia tiba di sekolah juga lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. 

Setelah menaruh tas, ia segera menuju ruang guru sembari menenteng loyang-loyang berisi brownies. 

Setibanya di ambang pintu ruang guru, tanpa ragu bocah itu langsung beraksi. 

"Assalammualaikum, Bapak Ibu Guru ... Bapak Ibu Guru sudah pada sarapan? Firza ada kue, nih!" seru Firza dengan wajah lugu. 

Para guru serempak menoleh, lalu saling pandang. 

"Firza kelas berapa?" tanya seorang guru yang duduk paling dekat dari posisi Firza berdiri. 

"Kelas satu, Bu." 

"Kue apa tuh yang Firza bawa?" 

"Brownies, Bu. Bikinan Bunda Firza. Enak banget, loh, Bu. Firza jamin," ujar Firza sambil nyengir lebar, memperlihatkan gusinya yang ompong karena dua gigi seri atasnya yang sudah tanggal. 

"Maksudnya, ini Firza jualan kue? Membantu mama?" tanya guru lain masih dengan wajah bingung. 

"Mmm ... bukan, Bu ... Eh ... maksud Firza, iya. Memang kue ini Firza jual. Tapi ini karena ikut lomba." 

"Lomba?" 

"Iya, Bunda Firza ngajak Firza dan kakak ikut permainan. Namanya permainan wira usaha. Caranya dengan jualan. Nanti yang dapat uang paling banyak yang menang dan dapat hadiah istimewa dari bunda." 

Para guru kembali saling pandang. Tapi kali ini mereka sudah paham situasi. Beberapa guru tampak menghela napas panjang. Terharu melihat bocah kecil yang lugu ini. 

"Firza tinggal aja kuenya, ya. Sekarang Firza silakan kembali ke kelas." Seorang guru senior menghampiri Firza. Ia ambil loyang-loyang berisi brownies dari tangan Firza sembari mengusap kepala bocah itu. 

"Baik, Bu. Assalammualaikum." Firza balik badan lalu berlari kembali ke kelas. 

Usai jam sekolah, Firza kembali ke ruang guru. Ia kaget sekaligus girang luar biasa mendapati semua loyang sudah kosong dan di dalamnya ada tumpukan uang. Ada uang seratus ribu, beberapa lembar pecahan limapuluh ribu dan dua puluh ribu. 

***** 

"Masha Allah ... luar biasa .... Hari pertama ini kalian menghasilkan uang Alhamdulillaah sangat banyak." Aisyah ciumi rambut ketiga anaknya bergantian. 

Ia gembira, dagangan anak-anaknya laku. Jumlah uang yang diperoleh juga jauh lebih besar dari pada yang ia perkirakan. Aisyah takjub. Entah bagaimana cara anak-anaknya berjualan. 

Aisyah juga merasa lega karena ketiga buah hatinya itu terlihat tetap gembira. Tidak terlihat ada tanda-tanda mereka mengalami pengalaman yang tidak enak selama berjualan. 

Fatih yang cenderung pendiam pun tadi terlihat sangat ceria ketika menyerahkan uang hasil berjualan. 

Hari ini, Fatih yang paling banyak menghasilkan uang. Tapi anehnya dagangannya tidak terjual habis. Entah kenapa bisa begitu. Aisyah cukup dibuat bingung olehnya. 

Farah yang optimis bakal menang malah yang paling sedikit memperoleh uang. 

"Besok Farah harus dapat lebih banyak lagi," tekatnya. 

***** 

Sudah dua minggu lomba berjalan. Tiap hari dagangan ketiga bocah itu hampir selalu habis. Aisyah pun berhasil mengumpulkan uang lumayan banyak. 

Sewa rumah bisa ia lunasi. Biaya hidup sehari-hari terpenuhi lebih dari cukup. Aisyah pun semakin bersemangat menyiapkan dagangan. 

Tak sulit baginya. Sambil memasak, ia tetap bisa mengurus si bungsu Fariz. Bahan-bahan ia pesan online. Semua di antar ke rumah. Aisyah benar-benar bersyukur ekonomi keluarganya jauh membaik. 

***** 

Hingga memasuki minggu ketiga. 

"Bunda ... lombanya kapan selesai? Kapan pengumuman pemenangnya? Trus, hadiahnya apa? Kami sudah gak sabar nih ingin tahu siapa pemenangnya dan apa hadiahnya. Kan Bunda janji hadiahnya pasti istimewa." 

Aisyah yang sedang meracik bumbu cilok tersentak mendengar pertanyaan Farah itu. 

Ia segera tersadar bahwa sudah dua minggu ini membohongi anak-anak. Sudah dua minggu pula ia memperalat mereka untuk menjadi pencari nafkah keluarga. Sesuatu yang sebenarnya sangat dilarang mendiang suaminya. 

Tiba-tiba Aisyah merasa bersalah. Merasa tak amanah. Gagal meneruskan prinsip-prinsip Almarhum dalam membesarkan anak. Ia merasa menjadi seorang Ibu yang sangat lemah, yang hidup dari keringat anak-anaknya. Dengan cara berbohong pula. 

Aisyah bebalik, lalu tersenyum lembut. 

"Permainan sudah selesai ... Besok kalian tak perlu berjualan lagi. Besok juga akan Bunda umumkan pemenang lomba. Dan Insha Allah akan Bunda kasih tau apa hadiahnya." 

Dada Aisyah gemuruh. Pelupuk matanya memberat karena menahan cairan bening yang telah menggenang sejak tadi. Segera ia peluk ketiga malaikat kecilnya itu supaya mereka tak melihatnya meneteskan air mata. 

***** 

Selepas tahajut, Aisyah larut dalam doa berurai air mata. Ia pasrahkan semua pada Sang Khalik. 

Ia putuskan tak akan lagi membebani anak-anak berjualan. Ia sudahi kebohongan. 

Ia tak tahu akan bagaimana mencari nafkah selepas ini. 

Ia bingung akan memberi hadiah istimewa apa untuk anak-anak besok sebagaimana yang telah ia janjikan. Ia tak punya apa-apa. 

Aisyah benar-benar pasrah pada kehendak Sang Maha Pengatur.

Karena letih lahir batin, perempuan itu tertidur di atas sajadah. 

Dering pesan WA masuk membangunkannya beberapa menit menjelang azan Subuh. 

Ia raih hp. 

"Hmm... pesan dari Bang Fahri." 

Segera ia buka pesan dari kakak iparnya itu. 

[Aisyah, kami sudah membuat kesepakatan mengenai warisan Almarhum Bapak. Jatah Almarhum suamimu dan sedikit hibah dari kami untuk anak-anakmu total berjumlah 600 juta rupiah. Kau kirim lah nomor rekening. Segera kutransfer uangnya] 

"Allahu Akbar! Allahu Akbar." Aisyah bersujud sambil menangis sesegukan. 

***** 

"Pemenang lomba adalah .... juara 3 Abang Fatih ... juara 2 Kak Farah ... dan juara 1 nya adalaaah.... Firzaaa!" Mimik Aisyah terlihat jenaka dan ceria. 

Firza langsung melonjak-lonjak kegirangan. Sementara Farah dan Fatih bertepuk tangan sambil tertawa-tawa. 

"Nah, sekarang sampai pada pengumuman hadiah. Kalian pasti sudah tidak sabar, kan? Hadiah yang akan Bunda kasih adalah sesuai dengan keinginan kalian. Apa pun itu, akan Bunda kasih." 

"Yang benar, Bunda? Kami minta apa pun akan dikasih?" 

"Iya ... apa pun, silakan sebutkan. Nah, dimulai dari Bang Fatih. Fatih mau apa?" 

"Abang mau laptop, Bunda." 

"Baik, besok kita beli." 

"Farah?" 

"Mmm ... Farah mau sepeda." 

"Siap, besok kita beli." 

"Nah, sekarang sang juara ... mau hadiah apa?" 

"Firza mau Bunda punya motor, supaya bisa cepat kemana-mana." 

"Baik, Nak. Besok kita beli motor. Nah, kalau semua sudah, Bunda akan tambahkan hadiah untuk kita semua." 

"Hadiah apa lagi, Bunda?" 

"Kita akan beli rumah baru. Meski sederhana, tapi jauh lebih besar, dan kita tak perlu lagi bayar sewa tiap bulan. Gimana, kalian pasti senang, kan?" 

"Yeeeeyyy!!!" 

Ketiga bocah itu menghambur memeluk bunda mereka. Berangkulan dan bertangis-tangisan.Maafkan Bunda Terpaksa Membohongi Kalian, Nak 

Cerpen Arfi Zon 

Aisyah gelisah setelah melihat uang di dompetnya hanya tersisa empat ratus ribu. Sementara, di rekening juga sudah tak ada lagi uang yang bisa ditarik, hanya tersisa saldo minimal, lima puluh ribu. 

Rekening itu memang tak pernah lama memiliki saldo. Tiap tanggal empat terisi beberapa ratus ribu rupiah dari bagi hasil menulis di aplikasi literasi berbayar, KBM App, tetapi di hari yang sama langsung kosong karena segera ia tarik seluruhnya untuk menambah-nambah biaya kebutuhan harian. 

Minggu depan jatuh tempo bayar kontrakan. Tidak besar sebenarnya, karena hanya paviliun sederhana di sebuah gang sempit, hanya tiga ratus ribu sebulan sewanya. Tapi bagi Aisyah terasa sangat besar. Ia hanya seorang 'single parent' dengan empat anak yang masih kecil: tiga orang usia SD dan satu orang belum genab dua tahun. 

Sepeninggal suami, Aisyah dan keempat buah hatinya bertahan hidup hanya dari tabungan yang jumlahnya tak seberapa, dan sekarang hanya tersisa empat ratus ribu. Penghasilannya dari menulis hanya mampu menunda sementara habisnya tabungan itu. 

Aisyah sudah mencoba cari tambahan lain. Ia berjualan macam-macam secara online, tapi tak ada yang laku. 

Kadang ia heran, kenapa Tuhan tak menggerakkan hati para tetangga dan kerabat agar sudi membeli dagangannya. Tidak kasihankah mereka pada keempat anak-anaknya yang yatim? 

Pernah pula ia merasa Tuhan tidak adil. Tulisannya di KBM App hanya menghasilkan 200 - 300 ribu sebulan. Padahal ia merasa sudah menulis dengan bagus. Telah menerapkan semua kaidah menulis yang baik serta mempraktekkan berbagai kiat membuat cerita supaya menarik yang ia pelajari dari beberapa penulis hebat. Tapi tetap saja hasilnya tak seberapa. 

Sementara, ada penulis yang hidupnya sudah sejahtera malah berpengahasilan puluhan juta, padahal karyanya biasa-biasa saja. Sungguh tidak adil. 

Di tengah kebuntuan, dengan rasa bimbang Aisyah coba menghubungi kakak iparnya. 

[Bang, tidak adakah jatah warisan almarhum Bapak yang menjadi hak suamiku? Jika ada, aku mohon bisa menerimanya, Bang. Aku dan anak-anak butuh untuk menyambung hidup] 

Rasa ragu Aisyah tadi terbukti. Pesan itu dibaca, tapi sudah bermenit-menit tak kunjung dibalas. Sesuatu yang sebenarnya sudah ia duga. 

Pembagian warisan itu memang alot. Ada konflik antara saudara-saudara suaminya terkait porsi pembagiannya. 

Sejak semula suaminya sebenarnya enggan terlibat konflik itu. Ia lebih memilih mengalah saja ketimbang ribut dengan saudara sedarah. Hanya saja saudar-saudaranya yang lain yang saling ngotot. Berkali-kali mereka berunding, selalu berujung pertengkaran. 

Pertengkaran terakhir bahkan ia duga menjadi penyebab suaminya meninggal mendadak karena serangan jantung. Sang suami 'shock' karena perbedaan pendapat makin sulit dicarikan titik temunya. Semua merasa berhak dapat porsi lebih besar. Suaminya yang berusaha menengahi dengan mengingatkan agar pembagian dikembalikan ke hukum waris Islam saja, malah diserang. Sang suami pun akhirnya pasrah, bahkan ikhlas seandainya tak kebagian sama sekali, yang penting saudara-saudaranya kembali akur. 

Aisyah sebenarnya setuju dengan sikap suaminya yang tak mau ikut-ikutan berebut warisan begitu. Hanya karena saat ini terdesak kebutuhan saja makanya ia coba menanyakan hak suaminya atas harta peninggalan itu. Namun hasilnya nihil. 

Ia kecewa dengan sikap ipar-iparnya. Apa mereka tidak mau menyerahkan hak anak-anaknya atas warisan itu? Tidak pahamkah mereka ajaran agama? Memakan hak anak yatim adalah perbuatan zalim yang sangat dilaknat Allah. Tidak takutkah mereka akan azabnya? 

Aisyah makin bingung, apa lagi upaya yang bisa ia tempuh untuk bisa segera mendapatkan uang? Mencari kerja jelas tak bisa karena anak bungsunya tak mungkin ditinggal. 

Satu-satunya jalan memang hanya jualan. Tapi harus jualan langsung, bukan online. Karena jualan online sudah berkali-kali ia lakukan dan gagal. 

Bolak-balik berpikir, kembali hanya itu jalan keluar yang muncul di benaknya. 

Masalahnya, siapa yang akan berjualan? Soal apa yang akan dijual, tidak masalah. Aisyah yakin untuk berjualan makanan, karena mudah, bisa segera dilakukan. Ia pandai memasak berbagai jenis kue dan penganan tradisional yang cita rasanya sudah terbukti enak, setidaknya menurut anak-anaknya. 

Berjualan makanan juga tak perlu modal banyak tapi keuntungannya lumayan besar, bisa seratus persen. 

"Satu-satunya cara, meminta anak-anak yang berjualan," batinnya. 

Ya, tak ada jalan lain, Aisyah terpaksa mengkaryakan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu untuk membantu berjualan. 

Akan tetapi, ada hal yang mengganjal hati Aisyah. Ia teringat prinsip suaminya, bahwa anak-anak adalah sepenuhnya tanggung jawab orang tua. Anak-anak harus sedapat mungkin dibuat gembira dan bahagia. Mereka tak boleh bekerja, kecuali membantu-bantu pekerjaan rumah untuk melatih tanggungjawab. Tugas anak hanya belajar dan harus diberikan hak untuk bermain, bergembira, sesuai perkembangan usia. 

Prinsip itu amat dipegang sang suami. Semasa hidupnya Almarhum selalu sedapat mungkin menghadirkan kegembiraan dan tawa bahagia pada anak-anak mereka. Meskipun dengan cara-cara yang sederhana dan murah sesuai kemampuan ekonomi mereka. 

Sang suami juga tak ingin anak-anak tahu kesulitan ekononomi keluarga. Biarkan mereka tetap ceria karena segala kebutuhan mereka selalu terpenuhi, meski sederhana. 

Sebuah dilema. Kali ini Aisyah terpaksa meminta anak-anaknya bekerja untuk mencukupi nafkah keluarga. Ini jelas menyimpangi prinsip sang suami. Meminta mereka berjualan jelas akan merenggut sebagian hak mereka untuk belajar, bermain, dan bergembira. 

Belum lagi risiko anak-anaknya merasa malu karena diejek atau bahkan dirundung teman-temannya karena berjualan. Aisyah pun jelas tak ingin itu terjadi. 

Tapi, tak ada pilihan. Hanya ini satu-satunya jalan keluar. 

Aisyah memutar otak mencari cara supaya anak-anaknya mau berjualan tanpa merasa terpaksa, tidak merasa malu, bahkan kalau bisa menjalaninya dengan riang gembira.  

*** 

Aisyah tengah berkumpul dengan keempat anaknya. Ada ide yang dia peroleh setelah tahajut tadi malam. Ia berharap, dengan melaksanakan ide ini, uang diperoleh, anak-anaknya pun tidak merasa terbebani, tetap bahagia, gembira, sebagaimana yang selalu diinginkan mendiang suaminya. 

"Fatih, Farah, Firza, sini dengar Bunda. Bunda mau ngasih permainan seru untuk kalian." 

Ketiga bocah itu serempak menoleh dan menghentikan aktivitas mereka. Sedangkan si bungsu masih tertidur lelap. 

"Permainan apa, Bunda? Si nomor tiga, Firza, langsung penasaran. 

Bocah kelas satu SD itu segera mendekat dan duduk di sebelah Aisyah. Sementara kedua kakaknya juga terlihat antusias mendengar akan ada permainan. Mereka menyusul mendekat. 

"Begini, Bunda ada permainan keren untuk kalian. Selain permainan, ini juga semacam perlombaan yang seru." Dengan wajah berbinar Aisyah tatap mata ketiga bocah itu bergantian. 

"Wah, asiiik ... permainan apa, Bunda?" Farah, si nomor dua yang juga kelas dua SD, ikut penasaran. Sedangkan si sulung Fatih, meski juga terlihat penasaran tapi tak berkata apa-apa. Ia memang cenderung pendiam, tak banyak cakap, persis almarhum ayahnya. 

"Nama permainannya, wira usaha untuk menghasilkan uang," ujar Aisyah mantap. 

Ketiga bocah saling pandang, lalu Farah langsung bertanya, mewakili kebingungan dua saudaranya mengenai nama permainan itu. 

"Wira usaha ...? Lomba menghasilkan uang? Permainan apa tuh, Bun? Gimana caranya?" 

"Singkatnya, dalam permainan ini, kalian harus berjualan. Nanti, siapa yang paling banyak menghasilkan uang dari hasil berjualan itu, dia lah yang jadi pemenang." 

"Jualan apa, Bunda?" sela Firza. 

"Jualan makanan atau kue-kue. Selama ini kalian selalu suka makanan dan kue-kue yang Bunda bikin, kan? Nah, terserah kalian mau jualan apa. Nanti Bunda yang bikin. Kalian tinggal jualan dan atur strategi sebaik mungkin supaya laku." 

"Trus, jualannya di mana? Harganya berapa?" tanya Farah. 

"Nah, ini juga terserah kalian. Seperti Bunda bilang tadi, itu bagian dari strategi. Silakan kalian atur sendiri. Mau di sekolah, di mesjid tempat kalian mengaji, atau di mana saja, boleh. Soal harga juga gitu, terserah kalian menentukan. Ambil aja patokan harga rata-rata di sekolah kalian. Lalu jual lebih murah atau sama. Bisa juga lebih mahal, asal kalian pintar promosi, pasti tetap laku." 

Aisyah diam sesaat. Ia lihat air muka ketiga anaknya bergantian. Menakar, apakah mereka antusias atau tidak. 

"Gimana, kalian tertarik?" 

"Aku terarik, seru nih!" ujar Farah bersemangat. 

"Aku juga!" Firza tak kalah semangat. 

"Fatih, gimana? Tertarik ikut permainan ini?" kejar Aisyah karena Fatih tidak bereaksi sebagaimana kedua adiknya. 

"Oke Bunda, Abang ikut." Akhirnya bocah berwajah ganteng itu bersuara sambil mengacungkan jempol kanan dan tersenyum tipis. 

Lagi-lagi mirip sekali dengan mendiang ayahnya. Kadang Aisyah merasa rindu pada almarhum suaminya terobati tiap kali melihat Fatih tersenyum. Mereka benar-benar mirip. 

Aisyah lega. Misi pertamanya tercapai. Ia sudah berhasil membuat skenario seolah ini semua hanya permainan sehingga ketiga anaknya antusias mau berjualan. 

"Baik, kalau gitu, silakan kalian tentukan mau jualan apa, supaya Bunda bisa segera siapkan," lanjut Aisyah. 

"Aku mau jualan cilok, Bun. Cilok bikinan Bunda enak banget. Aku yakin bakal laku kalau dijual." Farah paling duluan menentukan pilihan. 

"Aku mau jualan brownies aja. Brownies bikinan bunda juga enak." Firza juga terlihat yakin.  

Lagi-lagi Fatih yang tidak segera menjawab. 

"Fatih gimana? Mau jualan apa?" Kembali Aisyah harus memancing. Ia agak khawatir, jangan-jangan Fatih sebenarnya paham bahwa ini akal-akalannya saja. 

"Mmmm ... Fatih ikut Farah aja, jualan cilok. Teman-teman Fatih dulu pernah nyicipi cilok buatan Bunda, mereka suka." 

Aisyah lega mendengar jawaban itu. 

Baik, permainan ini akan kita mulai besok. Tapi ingat, tiap permainan ada syaratnya, begitu pula permainan ini. 

Syaratnya ada dua. Pertama, kalian harus menjalaninya dengan gembira, dengan ceria, karena ini permainan. Kedua, sekolah kalian tidak boleh terganggu. Jika dua syarat itu tidak bisa kalian penuhi, nilai kalian dikurangi. Paham?" jelas Aisyah diakhiri senyum mengembang yang dipaksakan. 

"Siap, Bunda. Jelaas!" teriak ketiga bocah itu bersemangat hampir bersamaan. 

"Oya, Bunda .... Karena ini perlombaan, ada hadiahnya, dong?" tanya Fatih. 

"Hmmm .... Ya ... tentu ada hadiahnya. Bunda janjikan hadiahnya pasti keren dan sangat istimewa. Tapi belum bisa Bunda sampaikan sekarang. Kita jalani dulu lombanya, ya." 

Ketiga bocah itu langsung berbinar mendengar itu. Padahal Aisyah belum terpikir hadiah apa yang akan dia kasih. Yang terpikir saat ini hanya bagaimana supaya ketiga anaknya ini bersemangat jualan dan bisa segera menghasilkan uang, makanya ia janjikan akan ada hadiah yang menarik. 

***** 

Pagi ini Aisyah dan ketiga anaknya sibuk luar biasa. Sementara anak-anak bersiap, Aisyah menyiapkan dagangan yang akan mereka bawa. 

Setelah semua siap, ketiganya pamitan. Mereka terlihat ceria dan penuh semangat. 

Farah yang terlihat paling bergairah. 

"Pokoknya Farah pasti menang deh, Bunda," ujarnya yakin dengan wajah semringah, lalu mencium tangan sang Bunda. 

Bocah yang memang periang itu berjalan gegas sambil menenteng dagangan yang dikemas Aisyah dalam sebuah keranjang tenteng seperti keranjang belanjaan swalayan. 

Firza juga tak kalah bersemangat. Setelah salim ia langsung berjalan tergesa-gesa. Ia mau segera tiba di sekolah supaya bisa langsung jualan sebelum bel masuk berbunyi. 

Hanya Fatih yang terlihat biasa-biasa saja. Aisyah kembali menduga putra sulungnya itu sebenarnya sudah paham semua ini hanya skenarionya saja. Karena sudah kelas empat, bisa jadi dia sudah mengerti keadaan keuangan bundanya, meski Aisyah selalu menutupinya. 

Setelah ketiga bocah itu hilang dari pandangan, Aisyah tak kuasa lagi membendung air mata yang sejak tadi ia tahan. Bulir-bulir bening itu akhirnya luruh, merembes berkejaran membasahi pipinya. 

Rasa haru dan sedih campur aduk menyesaki rongga dada. 

Ia terharu melihat ketiga darah dagingnya itu berangkat sekolah seraya menenteng dagangan. Namun sekaligus sedih karena ia telah membohongi mereka dengan skenario yang terpaksa ia buat. 

Aisyah juga sedih memikirkan andai dagangan itu nantinya tidak laku. Pasti ketiga bocah lugu itu sedih, keceriaan mereka seketika sirna. Uang yang diharapkan untuk membayar kontrakan dan menyambung hidup pun tak diperoleh. 

***** 

Setibanya di sekolah, tanpa ragu Farah langsung mempromosikan dagangannya. Jam masuk masih lima belas menit lagi, tapi sebagian besar murid sudah datang. 

"Ayo sini, aku jualan cilok enak, nih. Ayo pada beli dong!" Promosi Farah dengan suaranya yang lengking.   

Tak lama, teman-temannya segera mengitari. 

"Dijual berapa segini, Farah?" seorang anak laki-laki mengambil sebungkus cilok dari keranjang. 

"Lima ribu." 

"Yaah ... kok lebih mahal dari pada ciloknya Mang Ucup di depan sekolah?" 

"Eh, jangan salah ... cilok bikinan bundaku ini lebih enak. Bumbunya lebih terasa. Coba deh kalau gak percaya." 

Farah membuka satu bungkus, lalu membagikannya sebagai tester. 

"Hmm, iya, enak banget nih!" seru anak laki-laki tadi. 

"Iyaaa ... enak. Lebih gede-gede juga." timpal anak perempuan di sebelahnya..." 

Dagangan Farah pun sudah terjual banyak sampai bel masuk berbunyi. Hanya tersisa beberapa bungkus. Ketika jam istirahat, cilok yang tersisa itu pun habis terjual. 

"Yaaah .... habis ya, Farah? Padahal aku mau beli lagi untuk dibawa pulang." ujar seorang teman Farah yang telah memegang selembar lima ribuan. 

"Iya, habis nih. Besok lagi, ya." sahut Farah dengan raut puas. 

"Besok bawa yang banyak ya." 

"Siip ... nanti aku bilang Bunda bikin yang banyak." 

Farah segera mengemasi keranjang dagangannya. Seluruh uang hasil jualan ia susun dan lipat rapi lalu menyimpannya dalam saku tas. 

Bocah itu berlari-lari kecil dengan riang. Tak sabar ingin segera tiba di rumah dan melaporkan kesuksesannya berjualan hari pertama. 

***** 

Di sekolahnya, Firza menjalankan strategi yang berbeda. 

Ia tiba di sekolah juga lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. 

Setelah menaruh tas, ia segera menuju ruang guru sembari menenteng loyang-loyang berisi brownies. 

Setibanya di ambang pintu ruang guru, tanpa ragu bocah itu langsung beraksi. 

"Assalammualaikum, Bapak Ibu Guru ... Bapak Ibu Guru sudah pada sarapan? Firza ada kue, nih!" seru Firza dengan wajah lugu. 

Para guru serempak menoleh, lalu saling pandang. 

"Firza kelas berapa?" tanya seorang guru yang duduk paling dekat dari posisi Firza berdiri. 

"Kelas satu, Bu." 

"Kue apa tuh yang Firza bawa?" 

"Brownies, Bu. Bikinan Bunda Firza. Enak banget, loh, Bu. Firza jamin," ujar Firza sambil nyengir lebar, memperlihatkan gusinya yang ompong karena dua gigi seri atasnya yang sudah tanggal. 

"Maksudnya, ini Firza jualan kue? Membantu mama?" tanya guru lain masih dengan wajah bingung. 

"Mmm ... bukan, Bu ... Eh ... maksud Firza, iya. Memang kue ini Firza jual. Tapi ini karena ikut lomba." 

"Lomba?" 

"Iya, Bunda Firza ngajak Firza dan kakak ikut permainan. Namanya permainan wira usaha. Caranya dengan jualan. Nanti yang dapat uang paling banyak yang menang dan dapat hadiah istimewa dari bunda." 

Para guru kembali saling pandang. Tapi kali ini mereka sudah paham situasi. Beberapa guru tampak menghela napas panjang. Terharu melihat bocah kecil yang lugu ini. 

"Firza tinggal aja kuenya, ya. Sekarang Firza silakan kembali ke kelas." Seorang guru senior menghampiri Firza. Ia ambil loyang-loyang berisi brownies dari tangan Firza sembari mengusap kepala bocah itu. 

"Baik, Bu. Assalammualaikum." Firza balik badan lalu berlari kembali ke kelas. 

Usai jam sekolah, Firza kembali ke ruang guru. Ia kaget sekaligus girang luar biasa mendapati semua loyang sudah kosong dan di dalamnya ada tumpukan uang. Ada uang seratus ribu, beberapa lembar pecahan limapuluh ribu dan dua puluh ribu. 

***** 

"Masha Allah ... luar biasa .... Hari pertama ini kalian menghasilkan uang Alhamdulillaah sangat banyak." Aisyah ciumi rambut ketiga anaknya bergantian. 

Ia gembira, dagangan anak-anaknya laku. Jumlah uang yang diperoleh juga jauh lebih besar dari pada yang ia perkirakan. Aisyah takjub. Entah bagaimana cara anak-anaknya berjualan. 

Aisyah juga merasa lega karena ketiga buah hatinya itu terlihat tetap gembira. Tidak terlihat ada tanda-tanda mereka mengalami pengalaman yang tidak enak selama berjualan. 

Fatih yang cenderung pendiam pun tadi terlihat sangat ceria ketika menyerahkan uang hasil berjualan. 

Hari ini, Fatih yang paling banyak menghasilkan uang. Tapi anehnya dagangannya tidak terjual habis. Entah kenapa bisa begitu. Aisyah cukup dibuat bingung olehnya. 

Farah yang optimis bakal menang malah yang paling sedikit memperoleh uang. 

"Besok Farah harus dapat lebih banyak lagi," tekatnya. 

***** 

Sudah dua minggu lomba berjalan. Tiap hari dagangan ketiga bocah itu hampir selalu habis. Aisyah pun berhasil mengumpulkan uang lumayan banyak. 

Sewa rumah bisa ia lunasi. Biaya hidup sehari-hari terpenuhi lebih dari cukup. Aisyah pun semakin bersemangat menyiapkan dagangan. 

Tak sulit baginya. Sambil memasak, ia tetap bisa mengurus si bungsu Fariz. Bahan-bahan ia pesan online. Semua di antar ke rumah. Aisyah benar-benar bersyukur ekonomi keluarganya jauh membaik. 

***** 

Hingga memasuki minggu ketiga. 

"Bunda ... lombanya kapan selesai? Kapan pengumuman pemenangnya? Trus, hadiahnya apa? Kami sudah gak sabar nih ingin tahu siapa pemenangnya dan apa hadiahnya. Kan Bunda janji hadiahnya pasti istimewa." 

Aisyah yang sedang meracik bumbu cilok tersentak mendengar pertanyaan Farah itu. 

Ia segera tersadar bahwa sudah dua minggu ini membohongi anak-anak. Sudah dua minggu pula ia memperalat mereka untuk menjadi pencari nafkah keluarga. Sesuatu yang sebenarnya sangat dilarang mendiang suaminya. 

Tiba-tiba Aisyah merasa bersalah. Merasa tak amanah. Gagal meneruskan prinsip-prinsip Almarhum dalam membesarkan anak. Ia merasa menjadi seorang Ibu yang sangat lemah, yang hidup dari keringat anak-anaknya. Dengan cara berbohong pula. 

Aisyah bebalik, lalu tersenyum lembut. 

"Permainan sudah selesai ... Besok kalian tak perlu berjualan lagi. Besok juga akan Bunda umumkan pemenang lomba. Dan Insha Allah akan Bunda kasih tau apa hadiahnya." 

Dada Aisyah gemuruh. Pelupuk matanya memberat karena menahan cairan bening yang telah menggenang sejak tadi. Segera ia peluk ketiga malaikat kecilnya itu supaya mereka tak melihatnya meneteskan air mata. 

***** 

Selepas tahajut, Aisyah larut dalam doa berurai air mata. Ia pasrahkan semua pada Sang Khalik. 

Ia putuskan tak akan lagi membebani anak-anak berjualan. Ia sudahi kebohongan. 

Ia tak tahu akan bagaimana mencari nafkah selepas ini. 

Ia bingung akan memberi hadiah istimewa apa untuk anak-anak besok sebagaimana yang telah ia janjikan. Ia tak punya apa-apa. 

Aisyah benar-benar pasrah pada kehendak Sang Maha Pengatur.

Karena letih lahir batin, perempuan itu tertidur di atas sajadah. 

Dering pesan WA masuk membangunkannya beberapa menit menjelang azan Subuh. 

Ia raih hp. 

"Hmm... pesan dari Bang Fahri." 

Segera ia buka pesan dari kakak iparnya itu. 

[Aisyah, kami sudah membuat kesepakatan mengenai warisan Almarhum Bapak. Jatah Almarhum suamimu dan sedikit hibah dari kami untuk anak-anakmu total berjumlah 600 juta rupiah. Kau kirim lah nomor rekening. Segera kutransfer uangnya] 

"Allahu Akbar! Allahu Akbar." Aisyah bersujud sambil menangis sesegukan. 

***** 

"Pemenang lomba adalah .... juara 3 Abang Fatih ... juara 2 Kak Farah ... dan juara 1 nya adalaaah.... Firzaaa!" Mimik Aisyah terlihat jenaka dan ceria. 

Firza langsung melonjak-lonjak kegirangan. Sementara Farah dan Fatih bertepuk tangan sambil tertawa-tawa. 

"Nah, sekarang sampai pada pengumuman hadiah. Kalian pasti sudah tidak sabar, kan? Hadiah yang akan Bunda kasih adalah sesuai dengan keinginan kalian. Apa pun itu, akan Bunda kasih." 

"Yang benar, Bunda? Kami minta apa pun akan dikasih?" 

"Iya ... apa pun, silakan sebutkan. Nah, dimulai dari Bang Fatih. Fatih mau apa?" 

"Abang mau laptop, Bunda." 

"Baik, besok kita beli." 

"Farah?" 

"Mmm ... Farah mau sepeda." 

"Siap, besok kita beli." 

"Nah, sekarang sang juara ... mau hadiah apa?" 

"Firza mau Bunda punya motor, supaya bisa cepat kemana-mana." 

"Baik, Nak. Besok kita beli motor. Nah, kalau semua sudah, Bunda akan tambahkan hadiah untuk kita semua." 

"Hadiah apa lagi, Bunda?" 

"Kita akan beli rumah baru. Meski sederhana, tapi jauh lebih besar, dan kita tak perlu lagi bayar sewa tiap bulan. Gimana, kalian pasti senang, kan?" 

"Yeeeeyyy!!!" 

Ketiga bocah itu menghambur memeluk bunda mereka. Berangkulan dan bertangis-tangisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun