Dan dalam proses itulah Ben kembali terjebak. Seringkali tanpa disadari, Ben banyak menggunakan kata yang sama dengan Ci, baik diksi maupun warnanya. Atau seperti kejadian tadi saat secara spontan Ben ‘meminjam’ sifat polos Ci, hingga terjadilah kesalah pahaman dengan Sa tersebut.
Atau berapa banyak bagian diri Ben yang kemudian menjadi diri Ci, dan sebagainya-dan sebagainya yang semoga saja bukanlah menjadi sesuatu yang lebih buruk dari sebelumnya. Sebab memang dengan cara itulah kemudian segalanya tertransfer, yang lantas akan berkembang atau justru malah membusuk karena hanya disimpan sebagai pengalaman atau cuma kenangan.
Tapi bukannya menjawab pertanyaan Ci, Ben justru kembali menarik Ci, masih tanpa ba-bi-bu dan segala basa-basi yang itu-itu melulu. Dan agar tak memancing kontroversi kembali seperti di chapter yang ke-2, langsung saja mereka ber ‘Tuing...! Tuing...!’ berdua.
Zappp...!!!
Kembali setting berubah. Kali ini tampak kelompok kecil pepohonan karet terbelah jalan setapak berbahan dasar paving dan terakota.
“Ini UI, Ben...!” seru Ci tak dapat menyembunyikan girangnya.
“Ho-oh,” jawab Ben pendek. Sebab ini memang kampus kuning tersebut.
“Itu dia orangnya, Ci...!” seru Ben sembari menunjuk seorang remaja yang baru keluar dari musholla fakultas.
“Woiii...!” teriak Ben dengan gaya norak sambil melambaikan tangan dan kurang peduli lingkungan. Tapi Ben cuma melambaikan tangan kanannya, sebab jika tangan yang kiri ikut-ikutan juga, ben takut disangka cheerleader... :-D
“Ayo cepetan, Ci...! Aduuuwh... ribet banget sih, jalannya...!” ucap Ben tidak sabaran, yang membuat Ci geleng kepala sambil mati-matian tancap gas agar tak tertinggal jauh dari langkah Ben yang bongsor banget itu.
“Woi...! Once...! Pe kabar...?!” seru Ben semangat sambil merangkul pundak si gondrong itu.