“Tapi kau tak menjalankan syari’at –Nya secara utuh...!” ucap Ben kali ini seraya menyitir “Wa laa taqrabuz zina...” serta ”Udhulu fis silmi kaaffatan...”
“Ah, siapa pula diantara kita yang benar-benar bukan orang fasik, Ben...?” ucap Ajo sambil menyebutkan nama Si Anu dari DPRa C***fiiifff...***k yang tetap saja ngotot memakan riba, atau berapa banyak pemuka agama yang justru berdiri paling depan saat memakan yang bukan hak. Juga dari komunitas lain yang sama hijaunya yang justru betah menjadi penyabung ayam, atau mengiyakan suap berjamaah dan ‘penipuan’ rumah gratis dalam partai yang dulu pernah menjadi paling bersih, atau Si Dia yang berpenampilan hijau total namun tak mampu (atau tak mau) melakukan gawdhul bashar, tanpa perlu lagi direcoki segala macam kambing hitam ghazwul fikri sebagai penyebab, dan lainnya yang meskipun selalu kita lindungi dengan alasan ‘itu kan cuma oknum’, namun tetap bertambah banyak waktu ke waktu.
Atau fasik yang lebih kecil lagi seperti betapa seringnya kita menunda shalat tepat waktu dengan alasan jam kantor, kuliah, sekolah, tanggung ini-itu atau jutaan alasan lainnya yang kita sulap menjadi amat udzur dan syar’i... Atau betapa sering kita menahan diri hingga hanya benar-benar sekedar melakukan zakat yang paling mininal, atau puasa yang murni cuma wajib doang, atau mematikan hati terhadap sesama sambil terus berkeras mengharap bau surga...?
“Siapa diantara kita yang benar-benar bukan orang fasik, Ben...?” tanya Ajo lagi dengan suara perlahan yang justru terasa amat menampar.
“Ajo… yang sabar, yah… Istighfar…” tahu-tahu suara lembut Ci terdengar, menyadarkan Ajo bahwa bukan hanya Ben yang ada di situ.
Dengan wajah amat jengah karena malu Ajo berkata, “Maafkan Ajo, Ci... Ajo terbawa emosi hingga banyak ucapan tak pantas yang sempat Ci dengar...”
Seperti biasa, Ci menjawab tanpa jawaban, hanya tersenyum tipis dan agak samar.
“Ajo tak pernah ingin apa-apa, Ci... Ada yang bilang bahwa cinta yang hanya berdasarkan perasaan, hanya akan berakhir dengan kesedihan. Benarkah, Ci...?”
“Barangkali Ajo memang sering menyesali ketidak bersamaannya... Namun Ajo TIDAK PERNAH BERSEDIH dengan cinta dan perasaan YANG PERNAH TERJADI pada kami berdua...”
“Ajo tak pernah ingin apa-apa, Ci…” ucap Ajo lagi dengan suara yang kian perlahan.
“Pertanyaanmu terlalu tajam, Ben…” bisik Ci dengan suara yang serupa dengung nyamuk.