Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selametan: Jejak Tradisi, Warisan Leluhur yang Penuh Makna

18 Oktober 2024   14:20 Diperbarui: 18 Oktober 2024   14:22 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut para ahli antropologi, penduduk pertama yang mendiami Indonesia adalah suku bangsa Wedda, yang dikenal berbadan kecil dan berkulit cokelat. Namun, sekitar tahun 3000 SM, gelombang pertama orang-orang Melayu mulai datang ke Indonesia, dan sebagian dari mereka menetap di Pulau Jawa. Keberadaan mereka di Pulau Jawa mempengaruhi kehidupan dan budaya mereka, karena interaksi dengan lingkungan alam Jawa yang unik.

Lingkungan alam Jawa terdiri dari gunung-gunung, sungai-sungai, udara yang khas, flora, dan fauna seperti suara burung-burung. Alam yang kaya ini menjadi faktor yang membentuk pola hidup orang-orang Melayu yang tinggal di sana. Mereka beradaptasi dengan lingkungan, mengolah sumber daya alam, dan mengembangkan cara-cara bertahan hidup yang khas. Dalam proses ini, budaya mereka berubah dan berkembang, menciptakan kebudayaan Jawa yang merupakan hasil dari interaksi erat antara manusia pendatang dan alam sekitarnya.

Budaya Jawa tidak muncul secara instan, tetapi merupakan perpaduan kompleks dari kebiasaan, nilai-nilai, dan cara hidup yang dibawa oleh orang-orang Melayu dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di Jawa. Oleh karena itu, orang-orang Melayu yang datang kemudian dianggap sebagai nenek moyang orang Jawa, karena mereka meletakkan dasar-dasar budaya yang khas dan bertahan hingga hari ini. Kebudayaan Jawa yang kaya akan tradisi, kepercayaan, dan adat istiadat merupakan warisan dari proses panjang ini.

Pada zaman purba, suku Jawa, seperti kelompok masyarakat lainnya di berbagai belahan dunia, sangat bergantung pada alam untuk kelangsungan hidup mereka. Kehidupan sehari-hari mereka terkait erat dengan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka, seperti air, tanah, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Ketergantungan ini menumbuhkan kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan yang tidak terlihat namun sangat mempengaruhi hidup mereka, termasuk kekuatan yang mereka kaitkan dengan roh nenek moyang dan kekuatan gaib dari alam sekitar.

Kepercayaan terhadap kekuatan alam dan roh orang yang meninggal, atau animisme, menjadi bagian penting dalam sistem kepercayaan mereka. Mereka meyakini bahwa segala sesuatu di alam, seperti gunung, sungai, pohon, dan hewan, memiliki roh atau kekuatan spiritual yang harus dihormati atau bahkan dipuja. Selain itu, mereka percaya bahwa roh leluhur yang telah meninggal tetap memiliki peran dalam kehidupan mereka dan bisa mempengaruhi kejadian-kejadian alam, seperti bencana atau keberuntungan.

Bersamaan dengan kepercayaan ini, berkembang pula ekspresi seni yang memiliki latar belakang magis, terutama dalam bentuk seni lukis pada dinding-dinding gua. Seni ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi estetika, tetapi juga memiliki tujuan spiritual atau religius. Lukisan pada dinding gua sering kali menggambarkan simbol-simbol yang terkait dengan kekuatan alam, binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis, atau representasi roh leluhur. Seni lukis ini menjadi cara bagi mereka untuk berkomunikasi dengan kekuatan gaib dan menjaga hubungan dengan dunia roh.

Lukisan-lukisan di dinding gua tersebut bisa dianggap sebagai media ritual, di mana suku Jawa purba berharap bisa mendapatkan perlindungan, keberuntungan, atau bahkan berkat dari kekuatan alam dan roh leluhur. Proses menciptakan lukisan itu sendiri mungkin dianggap sebagai tindakan sakral yang memiliki makna spiritual yang mendalam, menggambarkan betapa pentingnya kepercayaan terhadap alam dan roh dalam kehidupan mereka.

Secara keseluruhan, kepercayaan terhadap kekuatan alam dan roh leluhur, yang kemudian diekspresikan melalui seni lukis yang bersifat magis, menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas dalam budaya suku Jawa purba.

Dalam buku "Simbolisme dalam Budaya Jawa" karya Budiono Herusatoto, suku bangsa Jawa pada zaman purba memiliki dua pandangan hidup utama, yaitu Animisme dan Dinamisme, yang sangat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.

1. Animisme

Adalah kepercayaan bahwa semua benda, baik itu benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun manusia, memiliki roh atau jiwa. Dalam pandangan ini, orang Jawa purba meyakini bahwa setiap elemen alam memiliki kehidupan spiritual tersendiri. Contohnya, mereka percaya bahwa pohon besar mungkin dihuni oleh roh, atau sungai tertentu memiliki kekuatan gaib yang harus dihormati. Kepercayaan ini mengarahkan masyarakat untuk hidup harmonis dengan alam, karena segala sesuatu dianggap memiliki makna spiritual yang mendalam. Bahkan, manusia pun diyakini memiliki roh yang dapat terus hidup setelah kematian.

H.Th. Fischer menambahkan bahwa Animisme sering berkembang menjadi sebuah religi, karena adanya keterikatan emosional dan spiritual antara manusia dengan roh-roh tersebut. Manusia merasa perlu menghormati dan menyembah roh-roh ini untuk mendapatkan perlindungan, keberuntungan, atau bahkan menghindari bencana. Dengan demikian, animisme menjadi landasan dari bentuk-bentuk penghormatan religius yang kemudian berkembang menjadi praktik-praktik keagamaan lokal, seperti upacara untuk menghormati leluhur atau roh alam.

2. Dinamisme

Di sisi lain, adalah kepercayaan bahwa terdapat tenaga magis yang tersebar di seluruh alam—pada manusia, binatang, tumbuhan, bahkan benda mati. Tenaga magis ini bisa berbentuk kekuatan atau daya yang tidak terlihat, namun dipercaya bisa digunakan atau dimanipulasi oleh manusia untuk keuntungan pribadi. Misalnya, seseorang bisa menggunakan kekuatan dari benda-benda tertentu atau mantra-mantra khusus untuk mencapai tujuan, seperti mendapatkan kesuksesan atau melindungi diri dari bahaya.

Berbeda dengan animisme, dinamisme lebih condong menjadi magi, karena manusia percaya bahwa tenaga-tenaga magis ini dapat dikendalikan atau dimanfaatkan melalui tindakan-tindakan tertentu, seperti ritual, mantra, atau jimat. Magi ini tidak selalu berkaitan dengan penyembahan, melainkan lebih kepada upaya untuk memanipulasi kekuatan alam demi mencapai tujuan tertentu. Orang Jawa purba, misalnya, mungkin percaya bahwa dengan mengucapkan mantra tertentu atau memakai benda magis, mereka bisa membawa keberuntungan atau bahkan mencelakai orang lain.

Secara keseluruhan, baik animisme maupun dinamisme sangat memengaruhi pandangan hidup dan praktik budaya Jawa purba. Animisme berfokus pada penghormatan kepada roh-roh yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan berujung pada pembentukan praktik religius. Sedangkan dinamisme lebih berkaitan dengan upaya manusia untuk mengendalikan kekuatan magis di alam sekitarnya, sehingga berkembang menjadi bentuk-bentuk praktik magis. Kedua kepercayaan ini saling melengkapi dan menciptakan pandangan hidup yang sangat kaya dalam budaya Jawa, dengan fokus pada hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan gaib.

Menurut I. Djumhur, Animisme dan Dinamisme tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua konsep ini saling melengkapi dalam membentuk pandangan dunia masyarakat primitif. Tidak ada masyarakat primitif yang hanya mengandalkan salah satu kepercayaan tanpa mengakui yang lainnya. Kedua sistem kepercayaan ini hadir secara bersamaan dalam suatu masyarakat, termasuk di Jawa, dan menciptakan dasar-dasar kepercayaan orang Jawa pada zaman purba.

1. Dinamisme adalah kepercayaan pada tenaga magis yang dapat dimiliki oleh manusia, benda, atau elemen alam. Contoh pemahaman dinamisme dalam budaya Jawa adalah keyakinan bahwa seseorang yang memiliki ilmu tinggi atau kemampuan supranatural akan mengalami kesulitan saat meninggal dunia. Hal ini karena orang tersebut dipercaya menyimpan tenaga magis yang masih melekat di tubuhnya. Dalam situasi ini, tenaga tersebut dianggap kuat sehingga proses kematian menjadi sulit atau terhambat. Ini mencerminkan keyakinan bahwa tenaga magis dapat memengaruhi peristiwa fisik, bahkan setelah kehidupan.

2. Animisme, di sisi lain, berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh yang ada dalam setiap makhluk hidup, benda-benda mati, dan unsur-unsur alam. Sebagai contoh, ketika seseorang meninggal, ada kepercayaan di Jawa bahwa semua lubang di tubuh mayat harus ditutup agar roh yang ada di tubuh tersebut terlindungi dari pengaruh jahat. Hal ini menunjukkan keyakinan bahwa roh manusia tetap ada setelah kematian dan masih bisa dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Penutupan lubang ini adalah upaya untuk melindungi roh agar tidak terganggu atau diambil oleh kekuatan buruk dari luar.

Kombinasi kepercayaan animisme dan dinamisme inilah yang menjadi fondasi keyakinan spiritual orang Jawa purba. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu di alam, baik benda hidup maupun benda mati, memiliki roh atau tenaga magis yang perlu dihormati. Ketundukan terhadap kekuatan alam dan benda-benda alam ini diwujudkan melalui penyembahan dan pengakuan terhadap kekuatan gaib yang ada di balik setiap elemen alam.

Untuk menghormati dan menundukkan diri pada kekuatan-kekuatan ini, masyarakat Jawa purba mengembangkan bentuk-bentuk penyembahan yang melibatkan tata-cara dan simbol-simbol tertentu. Misalnya, mereka menyembah binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia yang dianggap kuat atau memiliki kekuatan, dan juga elemen alam seperti matahari, bulan, gunung, air, dan api. Semua benda dan fenomena ini dianggap sebagai Tuhan atau entitas yang memiliki kekuatan gaib.

Sebagai bentuk persembahan kepada kekuatan ini, orang Jawa purba juga mempersembahkan sesajian atau ritual khusus. Misalnya, untuk mencegah datangnya penyakit, bencana alam seperti banjir atau gempa bumi, atau serangan hama pada tanaman, mereka melakukan upacara persembahan kepada benda-benda atau roh-roh alam yang mereka anggap memiliki pengaruh besar. Sesajian ini bertujuan untuk meredakan atau mengendalikan kekuatan-kekuatan tersebut agar tidak mendatangkan malapetaka atau bencana pada kehidupan mereka.

Secara keseluruhan, animisme dan dinamisme dalam budaya Jawa purba mencerminkan hubungan yang sangat erat antara manusia dengan alam. Mereka tidak hanya berinteraksi dengan alam secara fisik, tetapi juga secara spiritual, dengan meyakini bahwa alam memiliki kekuatan yang harus dihormati, ditakuti, dan dipengaruhi melalui berbagai bentuk ritual dan persembahan.

Pada sekitar tahun 400 M, orang-orang India datang ke Pulau Jawa untuk berdagang, membawa serta pengaruh budaya dan agama, yaitu Hindu dan Buddha. Kedua agama ini tidak hanya berkembang secara agama, tetapi juga mempengaruhi kebudayaan, politik, dan seni di Jawa. Keberadaan Hindu dan Buddha menciptakan perubahan besar dalam struktur masyarakat Jawa yang sebelumnya lebih mengandalkan kepercayaan animisme dan dinamisme.

Namun, yang menarik adalah bagaimana agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat Jawa, meskipun suatu kerajaan mungkin berstatus sebagai kerajaan Hindu atau Buddha secara resmi. Kedua agama tersebut tidak dianggap saling bertentangan, melainkan diterima secara fleksibel oleh masyarakat Jawa. Hal ini mencerminkan sifat inklusif dan adaptif dari kebudayaan Jawa, yang cenderung menyerap berbagai pengaruh luar dan mengintegrasikannya dengan kepercayaan serta adat-istiadat lokal.

Bahkan, ada fenomena yang lebih unik lagi, yaitu agama Siwa-Buddha, sebuah perpaduan antara kepercayaan Hindu dan Buddha. Nama "Siwa-Buddha" menggambarkan kombinasi dari dewa Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu, dengan ajaran Buddha. Dalam sistem kepercayaan ini, unsur-unsur Hindu dan Buddha tidak dilihat sebagai hal yang berseberangan, tetapi disatukan dalam satu sistem yang sinkretis. Perpaduan ini memungkinkan ajaran-ajaran dari kedua agama tersebut dipraktikkan bersamaan, dan menghasilkan keunikan dalam keagamaan dan spiritualitas masyarakat Jawa saat itu.

Penyatuan antara Hindu dan Buddha di Jawa juga terlihat dalam kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu atau Buddha, seperti Kerajaan Mataram Kuno, Sriwijaya, dan Majapahit. Meski kerajaan-kerajaan tersebut secara resmi menganut salah satu agama, kehidupan masyarakatnya tetap mengintegrasikan kedua ajaran secara harmoni. Misalnya, seorang raja bisa memuja dewa Siwa dalam ritual Hindu sekaligus menghormati ajaran Buddha dalam kehidupan spiritualnya. Ini juga tercermin dalam berbagai candi-candi yang dibangun pada masa itu, seperti Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu, dan Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha, tetapi seringkali dipandang sebagai simbol dari harmonisasi kedua ajaran.

Fenomena sinkretisme ini mencerminkan karakter toleransi yang kuat dalam budaya Jawa. Masyarakat Jawa pada masa itu lebih menekankan harmoni dan keseimbangan, baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Mereka tidak menganggap bahwa satu agama harus menggantikan yang lain, tetapi sebaliknya, mereka menemukan cara untuk menggabungkan ajaran-ajaran dari kedua agama ke dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, agama Siwa-Buddha adalah contoh dari bagaimana masyarakat Jawa berhasil mengintegrasikan ajaran dari luar dengan kebudayaan lokal. Ini menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa dan kemampuannya untuk menyerap dan mengadaptasi berbagai pengaruh keagamaan dalam cara yang unik dan damai, menciptakan warisan spiritual yang bertahan hingga sekarang.

Dalam masyarakat Jawa, terdapat perbedaan pengaruh agama dan kepercayaan antara dua golongan utama, yaitu priyayi dan wong cilik. Priyayi, menurut istilah yang digunakan oleh Clifford Geertz, merujuk kepada keluarga bangsawan, pejabat pemerintahan, dan keluarga istana yang berada di posisi sosial yang lebih tinggi. Sedangkan wong cilik adalah golongan rakyat biasa, terutama para petani yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

1. Pengaruh Agama Hindu-Buddha pada Golongan Priyayi

Kalangan priyayi sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu dan Buddha, karena mereka adalah bagian dari kelompok yang menegakkan dan mendukung kerajaan-kerajaan yang menganut kedua agama tersebut. Sebagai bagian dari elite penguasa, priyayi tidak hanya berperan dalam pemerintahan, tetapi juga dalam menjaga dan mempromosikan nilai-nilai keagamaan Hindu-Buddha yang mendasari legitimasi politik dan spiritual kerajaan. Oleh karena itu, kalangan priyayi lebih terhubung dengan ajaran-ajaran mistik dan filsafat Hindu-Buddha, yang meliputi konsep-konsep seperti reinkarnasi, karma, dan pembebasan dari siklus kehidupan (moksha atau nirvana). Mereka memiliki akses ke pendidikan, termasuk kitab-kitab keagamaan dan filsafat Hindu-Buddha yang memungkinkan mereka memahami dan mengadopsi ajaran-ajaran tersebut.

Namun, meskipun sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha, priyayi tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelumnya. Mereka tetap mempertahankan keyakinan terhadap roh-roh leluhur, kekuatan alam, serta praktik-praktik magis yang berasal dari tradisi lokal. Hal ini menciptakan perpaduan antara agama Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme-dinamisme yang kuat, di mana keduanya hidup berdampingan dalam keyakinan priyayi. Misalnya, meskipun mereka menghormati dewa-dewa Hindu atau ajaran Buddha, mereka masih melibatkan ritual-ritual lokal untuk menghormati roh leluhur atau kekuatan alam.

2. Kepercayaan Wong Cilik

Sebaliknya, golongan wong cilik atau rakyat kecil, terutama petani, tidak terlalu terpengaruh oleh mistik Hindu-Buddha seperti kalangan priyayi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, wong cilik lebih sibuk dengan kebutuhan sehari-hari seperti bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka tidak memiliki waktu atau akses yang cukup untuk mendalami ajaran-ajaran Hindu-Buddha yang lebih bersifat mistis dan filosofis. Keterbatasan dalam pendidikan dan literasi juga menghambat mereka dalam memahami dan mengadopsi filsafat Hindu-Buddha yang kompleks.

Oleh karena itu, kepercayaan wong cilik tetap berakar pada animisme dan dinamisme, di mana mereka percaya pada keberadaan roh-roh dalam benda-benda alam, tumbuhan, dan hewan, serta kekuatan magis yang tersebar di alam semesta. Ritual-ritual dan kepercayaan tradisional mereka masih berfokus pada penghormatan kepada roh leluhur, persembahan kepada kekuatan alam, dan penggunaan magi untuk melindungi atau meningkatkan kesejahteraan. Meskipun unsur-unsur Hindu-Buddha mungkin mempengaruhi mereka dalam bentuk ritual atau simbol tertentu, pengaruhnya tidak sekuat di kalangan priyayi. Bagi wong cilik, mistik Hindu-Buddha hanyalah tambahan yang tidak mendominasi sistem kepercayaan mereka.

3. Sinkretisme Kepercayaan

Meski terdapat perbedaan dalam tingkat pengaruh Hindu-Buddha antara priyayi dan wong cilik, sinkretisme atau perpaduan antara animisme, dinamisme, dan mistik Hindu-Buddha tetap terjadi. Wong cilik, misalnya, mungkin memperkenalkan elemen-elemen Hindu-Buddha dalam ritual lokal mereka, tetapi ajaran-ajaran mendalam mengenai filsafat Hindu atau Buddha jarang menjadi bagian utama dalam praktik keagamaan mereka.

Secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa kepercayaan animisme dan dinamisme tetap kuat di kalangan masyarakat Jawa, baik di tingkat priyayi maupun wong cilik, meskipun pengaruh Hindu-Buddha lebih terasa di kalangan elite. Adaptasi terhadap ajaran baru dilakukan dengan cara menyerap elemen-elemen yang sesuai, sambil mempertahankan sistem kepercayaan tradisional yang telah lama berakar.

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, kebudayaan Hindu-Buddha memberikan pengaruh yang mendalam terhadap masyarakat Jawa, terutama dalam aspek-aspek keagamaan dan religius. Salah satu bentuk pengaruh yang jelas adalah perubahan dalam cara orang Jawa menghormati kekuatan-kekuatan alam dan roh-roh yang sebelumnya menjadi dasar kepercayaan animisme dan dinamisme.

Sebelum kedatangan Hindu-Buddha, masyarakat Jawa mempercayai bahwa benda-benda alam seperti bulan, matahari, dan air memiliki roh dan kekuatan magis. Ini adalah bagian dari kepercayaan animisme (kepercayaan bahwa setiap benda memiliki roh) dan dinamisme (kepercayaan bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan magis). Setelah agama Hindu dan Buddha masuk ke Jawa, kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan ajaran baru.

1. Asimilasi Animisme-Dinamisme dengan Hindu-Buddha

Pengaruh agama Hindu mengakibatkan adanya penambahan elemen dewa-dewa dalam kepercayaan lokal. Misalnya:

  • Kepercayaan bahwa bulan memiliki kekuatan magis dalam dinamisme digantikan oleh keyakinan bahwa Dewa Candra adalah penguasa bulan. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi hanya memuja bulan sebagai benda suci, tetapi juga menghormati Dewa Candra sebagai entitas yang berkuasa atas bulan.
  • Hal yang sama terjadi pada matahari. Matahari, yang sebelumnya dianggap memiliki kekuatan magis, kemudian diasosiasikan dengan Dewa Surya, yang dianggap sebagai dewa yang menguasai matahari. Masyarakat tidak lagi hanya memuja matahari secara langsung, tetapi juga dewa yang dianggap menjaga dan menguasai kekuatan matahari tersebut.

Ini menunjukkan bagaimana kepercayaan lokal mengalami sinkretisme(penyatuan kepercayaan), di mana konsep-konsep Hindu diintegrasikan dengan kepercayaan lama. Animisme dan dinamisme tidak sepenuhnya dihilangkan, melainkan diperluas dengan konsep dewa-dewi Hindu yang memperkuat dan melengkapi kepercayaan tersebut.

2. Kepercayaan terhadap Dewi Sri

Salah satu hasil asimilasi lainnya adalah munculnya Dewi Sri sebagai tokoh pelindung para petani dan padi mereka. Dalam masyarakat agraris Jawa, Dewi Sri adalah sosok yang sangat dihormati, dianggap sebagai pelindung tanaman padi dan pengusir hama tanaman. Dewi Sri melambangkan kesuburan dan kelimpahan. Dalam konteks ini, roh-roh jahat yang dianggap bisa merusak tanaman digantikan oleh kepercayaan bahwa Dewi Sri memiliki kekuatan untuk menjaga hasil panen dari gangguan tersebut. Peran Dewi Sri dalam melindungi pertanian menunjukkan bagaimana kepercayaan lama terhadap roh-roh alamiah diubah menjadi penghormatan terhadap dewa-dewi yang memiliki tugas tertentu, sesuai dengan ajaran Hindu.

3. Kepercayaan terhadap Bathara Kala

Selain itu, dalam ajaran Hindu-Buddha di Jawa, dikenal pula tokoh Bethara Kala, yang merupakan simbol malapetaka. Bethara Kala dianggap sebagai dewa yang bertugas membawa celaka bagi orang-orang yang memiliki ciri-ciri tertentu atau yang melakukan tindakan-tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bethara Guru, yaitu raja segala dewa. Bethara Kala diyakini bertanggung jawab atas bencana atau musibah yang menimpa seseorang, terutama jika mereka tidak mematuhi norma-norma tertentu. Untuk melindungi diri dari ancaman Bethara Kala, masyarakat melakukan ritual ruwatan, yaitu upacara spiritual untuk membebaskan diri dari bahaya atau nasib buruk yang ditimbulkan oleh Bethara Kala.

4. Ritual Ruwatan dan Wayang Murwakala

Salah satu bentuk upacara selamatan yang dilakukan untuk menghindari malapetaka dari Bethara Kala adalah ruwatan. Ruwatan merupakan ritual untuk membebaskan seseorang dari incaran atau ancaman Bethara Kala. Dalam ritual ini, sering diadakan pagelaran wayang kulit dengan mengambil lakon (cerita) Murwakala, yang menggambarkan kisah bagaimana Bathara Kala mencoba memangsa korban dan cara untuk menghindarinya. Lakon Murwakala merupakan bagian dari tradisi spiritual yang bertujuan untuk meruwat atau membebaskan seseorang dari nasib buruk.

Dengan demikian, kepercayaan pada Bathara Kala adalah contoh lain dari asimilasi kepercayaan Hindu dengan kepercayaan lokal, di mana tokoh-tokoh mistis Hindu seperti Bethara Kala diperkenalkan dan diserap ke dalam kepercayaan tradisional Jawa.

Masa Jawa-Hindu atau masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha memberikan dampak besar terhadap kepercayaan dan praktik relijius masyarakat Jawa. Melalui proses asimilasi dan akulturasi, ajaran-ajaran Hindu dan Buddha menyatu dengan kepercayaan animisme-dinamisme yang sudah ada sebelumnya. Kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda alam beralih menjadi penghormatan terhadap dewa-dewi yang menjaga dan menguasai benda-benda tersebut, seperti Dewa Candra dan Dewa Surya. Selain itu, muncul tokoh-tokoh baru seperti Dewi Sri dan Bethara Kala, yang memperkuat keyakinan dan praktik masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Upacara ruwatan dan pagelaran wayang menjadi sarana penting dalam menjaga hubungan antara manusia dan kekuatan gaib, sekaligus menunjukkan betapa dalamnya pengaruh agama Hindu-Buddha pada masyarakat Jawa masa itu.

Pada abad ke-7 hingga ke-13 M, Islam mulai masuk ke Indonesia, dibawa oleh para pedagang dan ulama dari Persia dan Gujarat. Penyebaran Islam di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh interaksi perdagangan, tetapi juga melalui pendekatan spiritual yang dikenal sebagai tasawuf (mistisisme Islam). Islam yang sampai ke Indonesia ini sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur mistik yang berkembang di Persia, dan ketika singgah di Gujarat, India, unsur tersebut bersentuhan dengan mistisisme Hindu. Hal ini menyebabkan penyebaran Islam di Indonesia dilakukan oleh para ahli tasawuf, dan dalam beberapa kasus, juga oleh para penganut Syiah.

1. Pengaruh Tasawuf dalam Penyebaran Islam

Tasawuf adalah ajaran mistik dalam Islam yang menekankan aspek spiritual dan kedekatan pribadi dengan Tuhan melalui jalan penyucian jiwa, meditasi, dan pengendalian diri. Ajaran tasawuf ini sejalan dengan sifat mistis dalam masyarakat Nusantara yang sebelumnya telah terpapar dengan unsur animisme, dinamisme, dan mistisisme Hindu-Buddha. Oleh karena itu, tasawuf menjadi media yang efektif dalam penyebaran Islam, karena ajarannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan kepercayaan mistik.

Tasawuf menekankan perenungan batin, zikir, dan kesederhanaan hidup, yang dapat disesuaikan dengan tradisi spiritual lokal. Selain itu, pendekatan tasawuf yang tidak konfrontatif membuat masyarakat lebih mudah menerima Islam, karena tidak ada paksaan untuk meninggalkan seluruh kepercayaan sebelumnya secara tiba-tiba. Ajaran tasawuf juga tidak memerlukan pengetahuan mendalam tentang syariat Islam yang formal, tetapi lebih menekankan pada praktik-praktik spiritual dan moralitas, yang lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal yang beragam.

2. Para Ulama Sufi di Nusantara

Beberapa ulama besar yang berpengaruh dalam penyebaran Islam berbasis tasawuf di Nusantara antara lain:

a. Hamzah Fansuri, seorang ulama sufi besar dari Aceh, yang menulis banyak karya dalam bahasa Melayu dan dikenal karena pandangannya yang mendalam tentang tasawuf. Karya-karyanya berfokus pada hubungan mistis antara manusia dan Tuhan serta jalan menuju pencerahan spiritual.

b. Syamsuddin Pasai, ulama sufi dari Kesultanan Samudera Pasai, yang merupakan salah satu pusat penyebaran Islam pertama di Nusantara. Pengaruh tasawuf di daerah ini terlihat dari keberadaan zikir dan ritual-ritual sufi lainnya yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

c. Abdur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dari Aceh yang belajar tasawuf di Mekkah dan membawa ajaran tersebut kembali ke Indonesia. Dia menulis banyak risalah tentang tasawuf dan mengajarkan metode spiritual yang menekankan hubungan langsung dengan Tuhan.

d. Nuruddin Ar-Raniri, seorang ulama sufi asal Gujarat yang kemudian menetap di Aceh. Ia dikenal karena perannya dalam menyebarkan ajaran tasawuf di kalangan masyarakat Aceh dan sekitarnya. Karyanya, seperti "Bustan al-Salatin," menekankan kebijaksanaan spiritual dan etika Islam yang tinggi.

Keempat ulama ini menunjukkan bahwa tasawuf memainkan peran besar dalam membentuk karakter Islam di Nusantara. Mereka adalah contoh nyata dari para ahli tasawuf yang membantu menyebarkan Islam dengan cara yang sesuai dengan kultur dan spiritualitas masyarakat setempat.

3. Pengaruh Syiah

Meskipun Syiah juga ikut serta dalam penyebaran Islam di Nusantara, pengaruhnya tidak sebesar tasawuf. Beberapa elemen Syiah dapat ditemukan dalam sejarah penyebaran Islam, tetapi secara umum, ajaran tasawuf lebih diterima dan menyebar lebih luas. Ini karena tasawuf lebih mudah berbaur dengan tradisi lokal dan lebih cocok dengan cara hidup masyarakat di Nusantara yang memiliki kecenderungan mistik dan spiritual.

Syiah mungkin meninggalkan jejak dalam bentuk tradisi-tradisi seperti perayaan Asyura, tetapi pengaruhnya tetap terbatas dibandingkan tasawuf. Tasawuf, dengan pendekatan yang lebih bersahabat dan spiritual, berhasil menanamkan akar Islam yang dalam di kalangan masyarakat Nusantara.

Islam yang datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan dibawa oleh para pedagang serta ulama dari Persia dan Gujarat bukan hanya berupa Islam formal yang menekankan hukum-hukum syariat, tetapi juga dipenuhi dengan unsur-unsur mistik melalui tasawuf. Pengaruh tasawuf ini sangat kuat dan berperan besar dalam menyebarkan Islam di Nusantara, terutama di Sumatera, tempat di mana banyak ulama sufi berpengaruh dilahirkan, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdur Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri.

Pendekatan tasawuf yang lebih inklusif dan menekankan pada spiritualitas membuatnya lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal yang sebelumnya dipengaruhi oleh kepercayaan mistik Hindu-Buddha. Di sisi lain, pengaruh Syiah meski ada, tidak sebesar tasawuf dalam membentuk karakter keagamaan masyarakat Nusantara.

Dalam bukunya yang berjudul “The Spread of Islam in Indonesia,” Mukti Ali mengemukakan bahwa keberhasilan penyebaran Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran ahli-ahli mistik. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa poin yang diangkat oleh Mukti Ali:

1. Peran Ahli Mistik

Mukti Ali menekankan bahwa para penyebar Islam di Indonesia adalah para ahli mistik, atau yang dikenal sebagai sufi. Dalam konteks ini, sufi adalah para spiritualis yang menekankan pengalaman langsung dan hubungan pribadi dengan Tuhan melalui praktik-praktik mistik. Hal ini menciptakan daya tarik yang kuat bagi orang-orang Indonesia, yang sebelumnya telah terpengaruh oleh unsur-unsur mistik dari kepercayaan lokal, seperti animisme dan dinamisme.

2. Ketertarikan terhadap Ilmu Mistik

Setelah kedatangan Islam, masyarakat Indonesia menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap ilmu tasawwuf (mistisisme Islam) dan praktik-praktik spiritual yang terkait. Ketertarikan ini menggeser fokus dari studi teologi dan hukum Islam yang lebih formal. Dalam hal ini, ilmu mistik lebih resonan dengan pengalaman spiritual yang sudah dikenal dalam budaya lokal, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat.

3. Tokoh-tokoh Sufi yang Berpengaruh

Mukti Ali menyebut beberapa tokoh sufi terkenal dari abad ke-16 M di Sumatera, seperti:

  • Hamzah Fansuri: Seorang penyair dan ulama sufi yang dikenal karena karya-karyanya dalam bahasa Melayu yang mengeksplorasi tema mistik dan spiritualitas. Ia berkontribusi besar terhadap pengembangan pemikiran tasawuf di Nusantara.
  • Syamsuddin Pasai: Tokoh penting dalam penyebaran Islam di wilayah Aceh, ia juga dikenal sebagai penulis karya-karya sufi.
  • Nuruddin Ar Raniri: Ulama sufi dari Gujarat yang berpengaruh di Aceh dan menulis tentang tasawuf serta etika Islam.
  • Abdur Rauf Singkel: Seorang tokoh sufi yang berpengaruh, ia belajar di Mekkah dan menyebarkan ajaran tasawuf di Indonesia.

Di Jawa, tokoh-tokoh wali juga merupakan sufi yang berperan dalam penyebaran Islam, seperti Wali Songo (sembilan wali), yang dikenal karena pendekatan spiritual dan sosial mereka dalam menyebarkan Islam.

4. Pengaruh Tokoh Mistik

Menurut Mukti Ali, tokoh-tokoh sufi ini lebih dikenal di kalangan masyarakat dibandingkan para ahli teologi (mutakallimun) atau para ahli hukum (fuqaha). Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh para sufi, yang lebih menekankan pada pengalaman spiritual dan hubungan emosional dengan Tuhan, lebih menarik perhatian masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga praktik yang dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

5. Praktik dan Pembauran Budaya

Sufi sering kali menggunakan metode pembauran budaya yang cerdas, mengadaptasi ajaran Islam dengan elemen-elemen budaya lokal. Mereka mengadakan upacara yang menggabungkan elemen spiritual dari Islam dengan praktik lokal, yang membuat Islam lebih akrab dan diterima oleh masyarakat.

Mukti Ali menegaskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia berhasil berkat pendekatan para ahli mistik yang menjadikan Islam relevan dan menarik bagi masyarakat. Melalui tokoh-tokoh sufi yang terkenal, ajaran tasawuf menjadi jembatan yang menghubungkan spiritualitas lokal dengan ajaran Islam, sehingga memudahkan integrasi dan penerimaan Islam di tengah keragaman budaya Indonesia. Ini menunjukkan pentingnya konteks budaya dan spiritual dalam memahami proses penyebaran agama di suatu wilayah.

Kemajuan Majapahit sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara memiliki dampak signifikan terhadap interaksi antara orang-orang Jawa dan pelaut serta pedagang Islam yang berdagang di Malaka, yang saat itu merupakan pusat penyiaran Islam di kawasan tersebut. Berikut adalah penjelasan tentang hubungan ini:

1. Peran Malaka sebagai Pusat Penyiaran Islam

Malaka, yang terletak di jalur perdagangan strategis, menjadi titik pertemuan berbagai budaya dan agama, termasuk Islam. Para pedagang Islam dari Persia dan Gujarat menjadikan Malaka sebagai basis untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh Asia Tenggara, termasuk pulau-pulau di Indonesia, khususnya Jawa. Sebagai pusat perdagangan, Malaka juga menarik banyak pelaut dan pedagang dari berbagai daerah, termasuk Jawa.

2. Interaksi antara Pedagang Jawa dan Pedagang Islam

Seiring meningkatnya aktivitas perdagangan di Malaka, semakin banyak pelaut dan pedagang Jawa yang berinteraksi dengan pedagang Islam. Dalam proses ini, mereka tidak hanya bertukar barang dagangan, tetapi juga ide, termasuk ajaran agama. Pedagang Jawa yang melakukan perjalanan ke Malaka atau berhubungan dengan pelaut Islam akan terpapar pada ajaran Islam melalui interaksi sosial, ekonomi, dan budaya.

3. Proses Penyebaran Islam di Pelabuhan Jawa

Pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa, seperti Cirebon, Semarang, dan Surabaya, mulai berkembang menjadi pusat penyiaran Islam. Seiring bertambahnya jumlah pedagang Muslim yang berlayar ke pelabuhan-pelabuhan ini, mereka membawa ajaran Islam dan berusaha untuk mengislamkan para pedagang dan masyarakat setempat. Ini sering dilakukan melalui metode yang akomodatif, di mana ajaran Islam diintegrasikan dengan budaya lokal, menjadikannya lebih mudah diterima oleh masyarakat.

4. Pengaruh terhadap Masyarakat Jawa

Proses penyebaran Islam ini tidak hanya memengaruhi kalangan pedagang, tetapi juga masyarakat luas. Ketika pedagang Jawa mulai mengadopsi Islam, pengaruh tersebut merembet ke komunitas yang lebih luas, termasuk kalangan petani dan masyarakat non-pedagang. Hubungan sosial antara pedagang Muslim dan penduduk lokal mempercepat proses asimilasi dan adopsi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

5. Usaha Para Saudagar Muslim

Para saudagar Muslim yang berusaha mengislamkan saudagar Jawa yang belum masuk Islam melakukan pendekatan persuasif dan mendidik. Mereka menjelaskan nilai-nilai Islam dan manfaat yang bisa diperoleh dari mengadopsi ajaran tersebut. Selain itu, mereka juga sering kali memanfaatkan jalinan hubungan bisnis untuk memperluas pengaruh dan penerimaan Islam, menjadikannya bagian dari kehidupan komersial di pelabuhan-pelabuhan tersebut.

Interaksi antara pelaut dan pedagang Jawa dengan pedagang Muslim di Malaka memberikan kontribusi besar terhadap penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Dengan memanfaatkan jalur perdagangan dan pelabuhan sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam, proses ini berjalan lancar dan menciptakan basis yang kuat bagi perkembangan Islam di Indonesia. Akibatnya, pelabuhan-pelabuhan tersebut bukan hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga pusat penyiaran dan pengembangan Islam yang mempengaruhi budaya dan masyarakat Jawa secara keseluruhan.

Dalam konteks penyebaran Islam di pulau Jawa, interaksi antara saudagar-saudagar Muslim dan kalangan bangsawan Majapahit memainkan peran penting. Berikut adalah penjelasan tentang dinamika sosial dan politik yang memengaruhi proses ini:

1. Persepsi Bangsawan Terhadap Pernikahan dengan Saudagar Muslim

Bangsawan Majapahit sering kali menganggap pernikahan antara gadis-gadis mereka dengan saudagar-saudagar asing, terutama yang beragama Islam, sebagai simbol status dan kehormatan. Hal ini mencerminkan perubahan dalam nilai-nilai sosial di kalangan elit, di mana pernikahan semacam ini dapat memperluas jaringan perdagangan dan meningkatkan kekuasaan politik. Dengan menikahi saudagar Muslim, bangsawan tidak hanya mendapatkan hubungan sosial yang lebih luas, tetapi juga akses ke keuntungan ekonomi yang lebih besar melalui aliansi dagang.

2. Motivasi Ekonomi dan Politik untuk Memeluk Islam

Banyak bangsawan dan elit Majapahit yang masuk Islam tidak hanya karena pengaruh sosial, tetapi juga didorong oleh kepentingan ekonomi dan politik. Dalam situasi di mana Majapahit mulai mengalami kemunduran, mengadopsi Islam memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan lebih baik dengan para pedagang yang menguasai perekonomian di daerah pesisir. Keputusan untuk masuk Islam sering kali didasari oleh pemahaman bahwa agama baru ini dapat menawarkan stabilitas dan kekuatan dalam konteks ekonomi yang berubah.

3. Peningkatan Kekuatan Islam di Pantai Utara Jawa

Dengan semakin banyaknya bangsawan yang memeluk Islam, daerah-daerah pelabuhan di pantai utara Jawa, seperti Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya, mulai memperlihatkan peningkatan kekuatan Islam yang signifikan. Pengaruh saudagar Muslim di pelabuhan-pelabuhan ini tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, tetapi juga mengubah pola-pola sosial dan budaya setempat. Masyarakat yang bergantung pada perdagangan akan lebih mudah menerima ajaran Islam ketika melihat bahwa para pemimpin lokal mereka telah beralih agama.

4. Pengaruh Pedagang Terhadap Masyarakat Umum

Ketika para bangsawan masuk Islam, mereka menjadi panutan bagi masyarakat. Banyak rakyat yang mengikuti jejak bangsawan mereka dengan memeluk Islam. Pengaruh para pedagang Muslim dalam menggerakkan ekonomi di pelabuhan-pelabuhan ini juga memberikan dampak sosial yang kuat, di mana banyak orang merasa terdorong untuk beradaptasi dengan norma dan nilai-nilai Islam yang diperkenalkan oleh para pedagang.

5. Kondisi Majapahit yang Melemah

Saat Majapahit mulai melemah, para bangsawan merasa tidak memiliki pilihan lain selain beralih ke Islam untuk mempertahankan posisi mereka dalam struktur sosial dan politik yang baru. Masuknya mereka ke dalam agama baru ini tidak hanya berfungsi sebagai langkah praktis untuk kelangsungan hidup politik, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga pengaruh dan status mereka di tengah perubahan zaman.

Proses masuknya Islam di Jawa tidak hanya terjadi secara individual tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks. Dengan pernikahan antar-bangsawan dan saudagar Muslim serta perubahan kondisi sosial akibat melemahnya Majapahit, banyak orang, terutama di daerah pesisir, yang memeluk Islam. Pengaruh para saudagar dalam ekonomi dan kehidupan sehari-hari menjadikan Islam semakin diterima di masyarakat Jawa, memperkuat posisi agama ini di tanah Jawa dan mengubah struktur sosial secara menyeluruh.

Perkembangan Islam di Jawa pasca masuknya ajaran ini ke dalam masyarakat yang sebelumnya sudah dipengaruhi oleh Animisme-Dinamisme dan Hindu-Buddha menghasilkan pembentukan dua golongan kepercayaan yang cukup signifikan: Golongan Putihan dan Golongan Abangan. Berikut adalah penjelasan mengenai kedua golongan ini:

1. Golongan Putihan (Kelompok Santri)

Golongan Putihan, yang sering disebut sebagai kelompok santri, terdiri dari individu-individu yang secara taat mengikuti ajaran Islam. Mereka mengedepankan praktik-praktik ibadah yang esensial dalam Islam, seperti:

  • Salat Lima Waktu: Mereka melaksanakan salat secara rutin dan menganggapnya sebagai kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
  • Puasa di Bulan Ramadan: Ketaatan dalam menjalankan puasa selama bulan Ramadan adalah bagian penting dari identitas mereka sebagai Muslim.

Karakteristik dan tantangan, meskipun mereka mengidentifikasi diri sebagai Muslim yang taat, golongan ini tidak sepenuhnya dapat menghilangkan pengaruh kepercayaan pra-Islam yang ada. Beberapa karakteristik yang membedakan mereka adalah:

  • Pengaruh Kepercayaan Lama: Kepercayaan kepada roh dan kekuatan alam yang berasal dari tradisi Animisme-Dinamisme dan Hindu-Buddha masih tetap ada dalam praktik mereka.
  • Pendekatan Toleran dari Para Wali: Para wali yang memperkenalkan Islam di Jawa umumnya memiliki pendekatan yang lebih lunak, mengakomodasi beberapa unsur budaya dan kepercayaan lama. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dalam tasawwuf dan memahami bahwa periode transisi ini memerlukan adaptasi.

2. Golongan Abangan (Islam Kejawen)

Golongan Abangan, atau Islam Kejawen, merupakan kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim, tetapi tidak begitu berkomitmen dalam menjalankan ajaran Islam secara formal. Mereka memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Praktik Agama yang Longgar: Meskipun mengaku sebagai penganut Islam, mereka seringkali tidak melaksanakan ibadah wajib seperti salat Jumat dan puasa, atau melakukannya dengan sangat minimal.

b. Keberagaman dalam Golongan Abangan: Golongan ini terbagi menjadi dua sub-golongan, yaitu:

  • Golongan Wong Cilik: Merupakan kelompok masyarakat biasa yang mungkin terpengaruh oleh ajaran Islam namun lebih terikat pada tradisi dan budaya lokal.
  • Golongan Priyayi: Kelompok bangsawan atau elit yang mungkin beragama Islam tetapi tetap mempertahankan kepercayaan dan praktik-praktik lokal yang lebih dekat dengan warisan budaya mereka.

3. Dinamika Antara Golongan

Perbedaan antara Golongan Putihan dan Golongan Abangan menciptakan dinamika sosial yang unik di masyarakat Jawa. Sementara Golongan Putihan berusaha untuk menegakkan praktik Islam yang lebih ketat dan sesuai dengan ajaran, Golongan Abangan menunjukkan bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan tidak selalu terikat pada struktur formal. Ini mencerminkan kompleksitas identitas religius di Jawa, di mana tradisi lokal berinteraksi dengan ajaran agama baru.

Kehadiran dua golongan ini menunjukkan bahwa proses islamisasi di Jawa tidak hanya melibatkan penerimaan ajaran Islam, tetapi juga proses akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Golongan Putihan dan Golongan Abangan menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa beradaptasi dengan kehadiran Islam, menjaga sebagian dari identitas budaya mereka sambil juga mengintegrasikan unsur-unsur baru dari agama Islam. Proses ini menciptakan keragaman dalam praktik keagamaan di Jawa, yang tetap relevan hingga saat ini.

Setelah masuknya Islam ke dalam masyarakat Jawa, terjadi proses adaptasi yang kompleks antara ajaran baru dan kepercayaan lama yang telah ada sebelumnya. Proses ini menciptakan suatu bentuk sinkretisme, di mana unsur-unsur dari berbagai tradisi keagamaan bercampur dan saling mempengaruhi. Berikut adalah penjelasan mengenai dinamika ini:

1. Penerimaan Islam dan Keberlanjutan Kepercayaan Lama

Masyarakat Jawa yang menerima ajaran Islam tidak langsung melenyapkan kepercayaan-kepercayaan pra-Islam yang telah ada, seperti Animisme-Dinamisme dan Hindu-Buddha. Mereka menafsirkan dan memahami ajaran Islam, termasuk Al-Quran, dengan cara yang sangat fleksibel, atau yang disebut sebagai “eclectic.” Ini berarti mereka:

  • Mengadaptasi Ajaran: Mereka dapat mengambil elemen-elemen dari Islam dan memadukannya dengan kepercayaan lama, menciptakan suatu sistem keyakinan yang inklusif.
  • Menjaga Tradisi: Meskipun telah mengucapkan syahadat dan menganggap diri sebagai Muslim, kepercayaan kepada dewa-dewa seperti Bethara Guru, Bethara Wisnu, dan Dewi Sri masih tetap hidup dan kuat dalam praktik keagamaan mereka.

2. Sinkretisme dalam Praktik Keagamaan

Sinkretisme ini terlihat jelas dalam praktik-praktik keagamaan masyarakat Jawa, di mana berbagai unsur dari ajaran yang berbeda digabungkan menjadi satu kesatuan. Misalnya:

  • Upacara Selamatan: Sebelum kedatangan Islam, upacara selamatan diadakan untuk menghormati roh dan kekuatan alam sesuai dengan kepercayaan Animisme-Dinamisme. Namun, setelah menerima Islam, upacara ini diubah dan diperkaya dengan unsur-unsur Islam, seperti pembacaan doa dan pengucapan syahadat.
  • Penggabungan Ritual: Upacara selamatan kini menjadi sarana untuk merayakan momen-momen penting dalam hidup, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, dengan memadukan unsur tradisi lokal dan ajaran Islam.
  • Komunitas dan Solidaritas: Kegiatan selamatan sering kali juga berfungsi sebagai ajang untuk memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.

3. Dinamika Sosial dan Kultural

Proses sinkretisme ini mencerminkan dinamika sosial dan kultural yang kompleks di dalam masyarakat Jawa. Beberapa aspek penting dari dinamika ini meliputi:

  • Penerimaan yang Selektif: Masyarakat Jawa cenderung memilih dan menyesuaikan ajaran baru dengan kepercayaan yang sudah ada. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya menjadi pengikut Islam secara pasif, tetapi juga aktif dalam membentuk praktik keagamaan yang sesuai dengan identitas dan tradisi mereka.
  • Konservasi Identitas: Dengan mempertahankan elemen-elemen dari kepercayaan lama, masyarakat Jawa dapat melestarikan identitas budaya mereka sambil beradaptasi dengan ajaran baru.
  • Harmonisasi: Kecenderungan untuk menciptakan harmoni antara berbagai kepercayaan mencerminkan sikap toleransi dan keterbukaan masyarakat Jawa terhadap perubahan.

Dengan demikian, kedatangan Islam di Jawa tidak hanya mengubah struktur keagamaan masyarakat, tetapi juga menambah dimensi baru dalam keyakinan mereka. Sinkretisme yang muncul menciptakan kombinasi unik antara Animisme-Dinamisme, Hindu-Buddha, dan Islam, yang kemudian tercermin dalam praktik-praktik keagamaan seperti upacara selamatan. Proses ini menunjukkan bahwa keagamaan masyarakat Jawa bersifat dinamis, di mana unsur-unsur dari berbagai tradisi dapat hidup berdampingan dan saling memperkaya, menciptakan suatu bentuk identitas religius yang khas.

Hildred Geertz menggambarkan upacara slametan sebagai ritual penting dalam masyarakat Jawa, mencerminkan bagaimana tradisi keagamaan dan budaya lokal berinteraksi dengan elemen-elemen dari berbagai kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Berikut adalah penjelasan mengenai aspek-aspek penting dari upacara slametan berdasarkan gambaran Geertz:

1. Esensi Upacara Slametan

  • Ritual Sentral: Slametan merupakan ritual pokok bagi orang Jawa, berfungsi sebagai cara untuk meminta perlindungan, restu, dan dukungan dari berbagai entitas spiritual, baik yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha maupun Islam.
  • Mengundang Tetangga: Upacara ini biasanya diadakan dengan mengundang tetangga terdekat, yang menunjukkan pentingnya komunitas dalam tradisi ini. Partisipasi sosial dalam ritual ini memperkuat ikatan antarwarga dan menciptakan rasa solidaritas.

2. Penggunaan Doa dan Penyebutan Entitas Spiritual

  • Doa dalam Bahasa Arab: Pembacaan doa dalam bahasa Arab oleh orang-orang yang ahli menunjukkan pengaruh Islam yang kuat dalam praktik ini. Ini mencerminkan upaya untuk mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam kerangka kepercayaan yang sudah ada, di mana doa-doa menjadi elemen inti dalam slametan.
  • Penyebutan Berbagai Dewa dan Arwah: Dalam upacara, ada penyebutan berbagai dewa Hindu-Buddha, serta Allah, Muhammad, Fatimah, dan arwah baureksa desa. Ini menunjukkan: Sinkretisme, Masyarakat Jawa menciptakan harmoni antara berbagai kepercayaan, di mana unsur-unsur dari Hindu-Buddha dan Islam dapat hidup berdampingan. Penghormatan kepada Roh dan Dewa, Penyebutan arwah dan dewa yang tidak bernama menunjukkan rasa hormat dan ketergantungan masyarakat pada kekuatan spiritual, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal.

3. Unsur-Upacara dan Simbolisme

Perbuatan Upacara Tertentu: Slametan disertai dengan berbagai tindakan ritual, seperti membakar kemenyan dan memberikan sesaji. Tindakan ini memiliki makna simbolis yang dalam: 

  • Membakar Kemenyan: Merupakan simbol pengharapan untuk mempertemukan dunia manusia dengan dunia spiritual, mengundang kehadiran roh baik dan memohon perlindungan.
  • Memberikan Sesaji: Sesaji, atau persembahan makanan, merupakan cara untuk menunjukkan rasa syukur dan penghormatan kepada para roh dan dewa, serta sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi mereka dalam kehidupan sehari-hari.

4. Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari

  • Kepercayaan Kaum Tani: Slametan memiliki peran penting dalam kehidupan kaum tani, di mana mereka berusaha menciptakan hubungan yang harmonis dengan alam dan kekuatan spiritual. Hal ini menandakan:
  • Ketergantungan pada Alam: Masyarakat Jawa yang agraris sangat menghargai perlindungan dari roh dan dewa dalam usaha pertanian mereka.
  • Pentingnya Upacara dalam Tradisi Agraris: Upacara ini menjadi bagian integral dari siklus hidup masyarakat, seperti perayaan panen, kelahiran, dan kematian, yang memperkuat struktur sosial dan budaya.

Slametan, sebagaimana digambarkan oleh Hildred Geertz, adalah upacara yang mencerminkan sintesis antara kepercayaan Islam dan elemen-elemen tradisional dari Hindu-Buddha serta praktik Animisme-Dinamisme. Melalui slametan, masyarakat Jawa menunjukkan cara mereka mengintegrasikan dan menghormati warisan kepercayaan yang beragam sambil tetap menjalani praktik keagamaan yang baru. Ini adalah contoh nyata dari bagaimana budaya dan agama dapat berinteraksi, menghasilkan suatu bentuk religiositas yang unik dan komprehensif.

Praktik upacara selamatan yang diungkapkan oleh Hildred Geertz menggambarkan dua kelompok dalam masyarakat Jawa yang mengadopsi Islam dengan cara yang berbeda: Islam Abangan dan Islam Putihan (santri). Berikut adalah penjelasan mengenai perbedaan pandangan dan praktik antara kedua golongan ini dalam konteks upacara selamatan:

1. Islam Abangan

a. Karakteristik Praktik

Kelompok Islam Abangan cenderung mengintegrasikan unsur-unsur kepercayaan tradisional ke dalam praktik keagamaan mereka. Upacara slametan mereka melibatkan doa-doa yang mencakup penyebutan dewa-dewa Hindu-Buddha, roh-roh, dan pengharapan akan perlindungan dari berbagai entitas spiritual.

b. Sinkretisme

Anggota kelompok ini menunjukkan sikap sinkretis, di mana mereka mempertahankan kepercayaan lama bersamaan dengan ajaran Islam. Hal ini membuat praktik selamatan mereka berwarna dan mencerminkan berbagai lapisan kepercayaan yang ada dalam budaya Jawa.

c. Makna Sosial

Selamatan bagi kelompok Abangan juga merupakan kesempatan untuk memperkuat hubungan sosial dengan komunitas, di mana ritual tersebut dihadiri oleh tetangga dan anggota keluarga, yang menciptakan solidaritas sosial.

2. Islam Putihan (Santri)

a. Penolakan Terhadap Unsur Syirik

Kelompok Islam Putihan, yang terdiri dari para santri, lebih ketat dalam praktik keagamaannya. Mereka berusaha menghindari unsur-unsur yang dianggap syirik, seperti penyebutan dewa-dewa dan roh-roh yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

b. Praktik Doa Bersama

Upacara selamatan dalam konteks ini lebih sederhana, difokuskan pada doa bersama yang dipimpin oleh seorang modin atau pemimpin agama. Praktik ini bertujuan untuk meminta keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang Maha Kuasa.

c. Makan Bersama

Setelah doa, biasanya diadakan makan bersama yang bersifat sederhana, menekankan pada aspek kebersamaan dan syukur, tanpa melibatkan unsur-unsur yang bersifat ritualistik yang mencolok atau tradisional.

3. Perbedaan Pandangan

a. Pendekatan terhadap Tradisi

Kaum santri lebih memilih pendekatan yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam yang resmi, sedangkan kaum Abangan lebih fleksibel dan terbuka terhadap integrasi tradisi lokal ke dalam praktik keagamaan mereka.

b. Kepatuhan Terhadap Ajaran Islam

 Kelompok Putihan lebih mementingkan kepatuhan pada hukum dan ajaran Islam, sementara kelompok Abangan lebih menerima kombinasi antara kepercayaan lama dan ajaran baru.

4. Implikasi Budaya

a. Identitas dan Komunitas

Perbedaan dalam praktik selamatan ini menciptakan identitas yang berbeda di antara kedua kelompok, di mana masing-masing memiliki cara unik dalam mengekspresikan kepercayaan mereka.

b. Ketahanan Budaya

Kelompok Abangan menjaga tradisi lokal yang kaya, sementara kelompok Putihan berusaha mempertahankan kesucian ajaran Islam. Keduanya berkontribusi pada keragaman budaya dan religiositas dalam masyarakat Jawa.

Praktik upacara selamatan di kalangan kaum Islam Abangan dan Putihan menunjukkan bagaimana dua golongan ini menginterpretasikan dan menjalankan ajaran Islam dengan cara yang berbeda, mencerminkan kompleksitas hubungan antara tradisi lokal dan ajaran agama. Hal ini menciptakan dinamika yang kaya dalam kebudayaan Jawa, di mana kepercayaan dan praktik agama berinteraksi dan saling mempengaruhi.

Unsur-Unsur Animisme-Dinamisme dalam Selamatan

Upacara selamatan dalam tradisi masyarakat Jawa merupakan sebuah praktik yang melibatkan berbagai aspek kepercayaan, baik yang berkaitan dengan agama Islam maupun unsur-unsur Animisme-Dinamisme. Berikut adalah penjelasan tentang elemen-elemen yang terlibat dalam upacara selamatan ini, terutama dalam konteks undangan kepada roh-roh leluhur dan tokoh-tokoh agama:

1. Peserta Upacara Selamatan

a. Roh-roh Leluhur

Dalam upacara selamatan, orang-orang yang sudah mati, yang disebut sebagai roh-roh leluhur, diundang untuk hadir. Roh-roh ini meliputi nenek moyang dan pendahulu yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat, seperti:

  • Danyang Desa: Roh yang dianggap sebagai pendiri atau pelindung suatu desa.
  • Pendiri Kerajaan: Orang-orang yang mendirikan kerajaan dan berkontribusi dalam kemakmuran.
  • Wali Sanga: Tokoh-tokoh sufi yang dianggap berjasa dalam penyebaran Islam di Jawa.
  • Nabi Muhammad: Sebagai sosok sentral dalam agama Islam yang juga dihormati.

b. Roh Penghuni Tempat

Selain roh-roh leluhur, upacara ini juga mengundang roh-roh yang mendiami lingkungan sekitar, seperti roh penghuni rumah, jembatan, perempatan, sumur, dan kuburan. Ini mencerminkan kepercayaan bahwa roh-roh tersebut dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari, baik dengan cara positif maupun negatif.

2. Unsur Animisme

a. Praktik dan Tujuan

Meskipun upacara selamatan melibatkan elemen-elemen Islam, seperti doa kepada Allah dan Nabi Muhammad, tujuan utama dari upacara ini adalah untuk memberikan persembahan kepada roh-roh yang diundang. Ini menunjukkan pengaruh yang kuat dari kepercayaan animistik yang masih ada dalam masyarakat.

b. Pencarian Restu dan Perlindungan

Dengan mengundang berbagai roh, masyarakat berharap mendapatkan restu, perlindungan, dan agar roh-roh tersebut tidak mengganggu kehidupan mereka. Ini menunjukkan rasa hormat dan penghargaan kepada leluhur dan roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan.

3. Doa dan Komposisi Selamatan

a. Komposisi Doa

Dalam upacara selamatan, doa yang dibaca biasanya mencakup penyebutan berbagai tokoh, baik dari tradisi Islam (seperti Allah, Nabi Muhammad, Fatimah) maupun tokoh-tokoh leluhur dan roh lainnya. Doa ini menjadi sarana untuk meminta berkah dan perlindungan.

b. Unsur Sinkretisme

 Penyebutan tokoh-tokoh Islam bersamaan dengan roh-roh leluhur menunjukkan adanya sinkretisme antara kepercayaan animistik dan agama Islam. Masyarakat Jawa menafsirkan dan memadukan kepercayaan lama dengan ajaran baru, menciptakan bentuk praktik keagamaan yang unik.

4. Penjelasan Clifford Geertz

Menurut Clifford Geertz, upacara selamatan merupakan refleksi dari kepercayaan masyarakat Jawa yang kompleks, di mana interaksi antara yang hidup dan yang mati, antara yang suci dan yang profan, menciptakan sebuah jalinan budaya yang khas. Upacara ini tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga mencerminkan identitas dan nilai-nilai komunitas.

Upacara selamatan di masyarakat Jawa mencerminkan kompleksitas kepercayaan yang ada, dengan melibatkan berbagai roh, baik yang baik maupun jahat, serta tokoh-tokoh dari agama Islam. Praktik ini adalah contoh nyata dari bagaimana masyarakat dapat mengintegrasikan tradisi lama dengan ajaran baru, menjaga hubungan dengan leluhur dan roh, sambil tetap mempertahankan identitas keagamaan mereka. Sinkretisme ini memberikan gambaran yang kaya tentang bagaimana budaya dan kepercayaan saling berinteraksi dalam konteks masyarakat Jawa.

Upacara selamatan tingkepan di masyarakat Jawa adalah sebuah tradisi yang kaya dengan makna dan simbolisme, mencerminkan berbagai elemen kepercayaan, termasuk Dinamisme dan Animisme. Berikut adalah penjelasan mengenai elemen-elemen tersebut yang terkait dengan penyelenggaraan dan sajian dalam upacara selamatan:

1. Hari Penyelenggaraan

Selamatan tingkepan biasanya dilaksanakan pada hari Rabu atau Sabtu dan pada tanggal-tanggal ganjil. Keberadaan aturan ini menunjukkan pengaruh Dinamisme, yang meyakini bahwa ada hari-hari tertentu yang dianggap lebih baik atau memiliki kekuatan tertentu untuk melaksanakan upacara. Ketakutan akan kesalahan dalam memilih hari dapat menciptakan perasaan cemas dan menganggap hal tersebut dapat membawa malapetaka.

2. Sajian-Sajian dalam Upacara

a. Takir

Dalam selamatan, setiap tamu biasanya disediakan takir yang terdiri dari nasi putih di atas dan nasi kuning di bawah. Takir ini terbuat dari daun pisang yang direkatkan dengan jarum baja atau emas, dengan harapan agar anak yang akan lahir kelak menjadi kuat dan cerdas. Penggunaan warna nasi ini serta penyediaan takir adalah simbol dari harapan dan doa untuk anak yang dilahirkan.

b. Bubur

Tiga jenis bubur yang disajikan, yaitu bubur putih, merah, dan bubur campuran (bubur sengkala), berfungsi sebagai upaya untuk mencegah gangguan dari makhluk halus. Keyakinan bahwa bubur sengkala memiliki kekuatan magis mencerminkan elemen Dinamisme, di mana setiap sajian dianggap memiliki sifat dan energi tertentu yang dapat mempengaruhi keadaan.

3. Unsur Animisme

a. Ketakutan terhadap Roh Halus

Rasa takut terhadap roh-roh halus yang dianggap dapat mengganggu acara menjadi salah satu pendorong dalam penyediaan sajian tertentu. Bubur sengkala disajikan sebagai cara untuk mencegah gangguan dari makhluk halus, mencerminkan kepercayaan pada kekuatan supranatural yang perlu dihadapi dengan tindakan preventif.

b. Hormat kepada Roh Leluhur

Dalam upacara ini, terdapat penghormatan yang tinggi terhadap roh-roh leluhur yang diundang untuk memberikan restu. Sajian tertentu disiapkan untuk menghormati roh-roh ini, seperti:

  • Nasi Tumpeng: Disediakan untuk danyang desa sebagai simbol penghormatan kepada pelindung desa.
  • Nasi untuk Wali Sanga: Sembilan nasi putih yang dibentuk dengan tangan, menunjukkan penghormatan kepada para wali yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa.
  • Sajian untuk Nabi Muhammad dan Fatimah: Nasi yang dicampur dengan kelapa parutan dan ayam isian, merupakan bentuk penghormatan kepada tokoh sentral dalam Islam.

Upacara selamatan tingkepan menggabungkan elemen-elemen kepercayaan yang kompleks, di mana Dinamisme dan Animisme saling berinteraksi. Hari yang dipilih dan sajian yang disediakan tidak hanya memiliki makna simbolis tetapi juga merupakan refleksi dari harapan masyarakat Jawa terhadap perlindungan dan restu dari roh-roh yang mereka anggap berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, upacara ini tidak hanya menjadi sarana untuk merayakan sebuah peristiwa, tetapi juga sebagai medium untuk menjaga hubungan dengan leluhur dan kekuatan supranatural yang ada di sekitar mereka.

Unsur-Unsur Hindu-Budha dalam upacara selamatan

Pengaruh Hindu-Budha terhadap praktik selamatan dalam masyarakat Jawa sangat mencolok, terutama dalam aspek penghormatan dan pemujaan terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Berikut adalah penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut:

1. Pujaan kepada Dewa-Dewi

a. Jumlah Dewa

Dalam tradisi Hindu, terdapat sekitar 30 juta dewa-dewi yang dipuja, yang mencerminkan keragaman dan kompleksitas kepercayaan dalam masyarakat Hindu. Jumlah yang sangat besar ini menunjukkan pentingnya pemujaan dalam kebudayaan Hindu, di mana setiap dewa bisa mewakili aspek tertentu dari kehidupan atau alam.

b. Pergeseran Pemujaan

Sebelum kedatangan agama Hindu-Budha, masyarakat Jawa menganut Animisme-Dinamisme, di mana pemujaan ditujukan kepada kekuatan benda dan roh-roh, seperti roh penjaga desa (danyang desa). Dengan pengaruh Hindu-Budha, pemujaan ini beralih kepada dewa-dewi yang dianggap menguasai kekuatan-kekuatan tersebut. Misalnya, penjaga desa yang sebelumnya dianggap sebagai roh danyang, kini dipandang sebagai dewa penjaga desa.

2. Pengaruh terhadap Alam Pikiran

a. Alam Pikiran Orang Jawa

Kedatangan Hindu-Budha telah memengaruhi cara berpikir orang Jawa dalam memandang kekuatan yang ada di sekitar mereka. Alih-alih memuja roh-roh yang tidak berwujud, mereka mulai mengidentifikasi kekuatan tersebut dengan dewa-dewi yang lebih konkret, yang memiliki karakter dan atribut tertentu.

b. Pemujaan yang Lebih Terstruktur

 Dalam praktik keagamaan, pemujaan menjadi lebih terstruktur dan formal. Masyarakat mulai menyusun doa-doa yang mempersembahkan penghormatan kepada dewa-dewi, serta memadukan elemen-elemen lokal dengan elemen-elemen Hindu. Ini menciptakan sintesis budaya yang memperkaya tradisi keagamaan masyarakat Jawa.

3. Doa dalam Upacara Selamatan

a. Penyampaian Doa

Dalam upacara selamatan, doa-doa yang diucapkan mencakup ungkapan dalam bahasa Arab yang berisi permohonan perlindungan dan restu dari Allah, serta penyebutan dewa-dewi dari tradisi Hindu-Budha. Hal ini menunjukkan keberadaan elemen sinkretisme, di mana kepercayaan yang berbeda dapat bersatu dalam praktik keagamaan.

b. Penghormatan kepada Dewa-Dewi

Dalam setiap selamatan, penyebutan dewa-dewi dengan cermat dalam doa menandakan penghormatan kepada mereka. Proses ini menjadi bentuk pemujaan yang mewakili harapan masyarakat akan perlindungan dan bimbingan dari kekuatan yang lebih tinggi.

Secara keseluruhan, integrasi unsur-unsur Hindu-Budha dalam praktik selamatan di Jawa menandai transformasi penting dalam cara orang Jawa memahami dan menghormati kekuatan spiritual. Mereka tidak hanya memuja kekuatan alam dan roh, tetapi juga memperluas pengertian tersebut dengan merujuk kepada dewa-dewi, yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan harapan dan permohonan mereka dalam konteks yang lebih kaya dan kompleks. Transformasi ini juga menunjukkan bagaimana budaya dan agama dapat saling mempengaruhi, menciptakan tradisi baru yang berakar pada nilai-nilai dan keyakinan yang ada.

Unsur Hindu-Budha dalam sajian selamatan, terutama dalam upacara tingkepan, terlihat jelas melalui simbolisme yang terdapat pada hidangan dan makna yang mendasarinya. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang unsur-unsur tersebut:

1. Sajian dalam Selamatan Tingkepan

a. Hidangan Pisang

Dalam praktik selamatan, dua buah pisang disajikan sebagai simbol dan persembahan. Dalam konteks ini, pisang tidak hanya berfungsi sebagai makanan, tetapi juga memiliki makna ritual yang mendalam. Pisang sering dianggap sebagai buah yang membawa keberuntungan dan kesuburan dalam berbagai tradisi, termasuk Hindu.

b. Persembahan untuk Dewi Pertimah

Hidangan pisang tersebut khususnya dipersembahkan untuk Dewi Pertimah, yang merupakan penggabungan antara konsep Dewi Fatimah dari Islam dan aspek-aspek keagamaan Hindu. Dalam konteks ini, Dewi Pertimah menjadi simbol integrasi antara tradisi Islam dan Hindu, di mana Fatimah dianggap sebagai sosok yang suci dan berharga dalam tradisi Islam, sementara gelar Hindu memberikan nuansa tambahan dalam penghormatan kepada figur tersebut.

2. Penggabungan Unsur Budaya

a. Sinkretisme Budaya

Penyebutan Dewi Pertimah yang merujuk pada Fatimah menunjukkan adanya elemen sinkretisme antara Islam dan Hindu. Dalam hal ini, masyarakat Jawa tidak hanya mematuhi ajaran Islam secara ortodoks, tetapi juga mengadaptasi dan mengintegrasikan unsur-unsur dari kepercayaan Hindu ke dalam praktik keagamaan mereka. Hal ini memperlihatkan bagaimana agama dan budaya dapat saling melengkapi dan beradaptasi.

b. Penghormatan terhadap Figur Suci

Dengan menjadikan Dewi Pertimah sebagai objek persembahan, masyarakat Jawa menunjukkan penghormatan terhadap sosok yang dianggap membawa keberkahan. Ini menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan rasa syukur dan pengharapan kepada figur suci yang melambangkan kebaikan, perlindungan, dan kesuburan.

3. Komposisi Hidangan Lainnya

Hidangan utama dalam upacara ini biasanya terdiri dari nasi yang dicampur dengan kelapa parutan dan ayam isian. Nasi memiliki makna sebagai makanan pokok yang menyatukan semua peserta dalam perjamuan. Kelapa dan ayam juga membawa simbolisme yang berkaitan dengan keberkahan dan kemakmuran. Dengan menggabungkan semua elemen ini, masyarakat menciptakan hidangan yang tidak hanya lezat tetapi juga sarat makna.

Dalam keseluruhan praktik selamatan tingkepan, sajian yang dihidangkan tidak hanya mencerminkan kebutuhan fisik tetapi juga kebutuhan spiritual. Penggunaan dua pisang sebagai persembahan untuk Dewi Pertimah menunjukkan pengaruh tradisi Hindu-Budha yang terus hidup dalam masyarakat Jawa, di mana nilai-nilai keagamaan yang berbeda dapat bersatu dalam praktik yang sama. Ini menegaskan bahwa budaya Jawa adalah hasil dari interaksi kompleks antara berbagai kepercayaan dan tradisi, menciptakan harmoni dalam keanekaragaman spiritual.

Unsur Hindu-Budha yang terdapat dalam praktik keagamaan dan upacara selamatan di masyarakat Jawa mencerminkan pengaruh budaya yang mendalam dan kompleks. Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa unsur tersebut:

1. Permohonan kepada Dewi dan Dewa

a. Dewi Nawangwulan

Dalam konteks upacara selamatan midodareni, Dewi Nawangwulan dimohon bantuannya untuk mempercantik gadis-gadis yang hendak menikah. Dewi ini sering diasosiasikan dengan keberuntungan dan keindahan, sehingga pengaruhnya menjadi signifikan dalam praktik budaya pernikahan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih mengaitkan keberhasilan dalam urusan duniawi dengan intervensi dewa atau dewi yang memiliki kekuatan khusus.

b. Dewi Sri

Dewi Sri merupakan dewi padi dalam tradisi Hindu yang dihormati oleh para petani. Permohonan kepada Dewi Sri menjelang panen mencerminkan hubungan yang erat antara pertanian dan spiritualitas. Ini menunjukkan betapa pentingnya keberkahan dalam pertanian bagi kehidupan masyarakat, serta pengakuan akan kekuatan supernatural yang dianggap dapat mempengaruhi hasil pertanian.

c. Dewa Kala (Bethara Kala)

Dewa Kala, yang diminta agar tidak membawa malapetaka pada manusia, menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap ancaman dari kekuatan jahat atau bencana. Permohonan kepada Dewa Kala pada upacara ruwatan menjadi bentuk tindakan preventif untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Upacara Selamatan Kematian

a. Proses Roh Setelah Kematian

Dalam budaya Jawa yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha, terdapat keyakinan bahwa roh orang yang telah meninggal akan berkeliaran di sekitar rumah selama tiga hari pertama. Keyakinan ini berakar pada pandangan bahwa roh memiliki keterikatan terhadap dunia fisik dan memerlukan proses transisi sebelum sepenuhnya beranjak. Ini sejalan dengan ajaran Hindu mengenai siklus kehidupan dan kematian.

b. Kamaloka dan Proses Pembersihan Roh

 Setelah tiga hari, roh akan memasuki Kamaloka, tempat di mana roh mendiami hingga hari keempat puluh. Keyakinan ini mencerminkan pemahaman tentang proses pembersihan spiritual yang diperlukan sebelum roh dapat memasuki surga. Ini juga menunjukkan pengaruh ajaran Hindu mengenai purgatori dan proses karma, di mana roh harus menghadapi konsekuensi dari perbuatan di dunia sebelumnya.

3. Jangka Waktu Menuju Surga

Keyakinan bahwa roh akan terus berproses selama seribu hari hingga mencapai surga ketujuh dan moksa menunjukkan pemahaman tentang siklus reinkarnasi dan perjalanan spiritual yang panjang. Hal ini sejalan dengan ajaran Hindu tentang moksa, yang berarti pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian. Proses ini melibatkan evolusi spiritual dan peningkatan kesadaran yang berlanjut hingga mencapai tingkat tertinggi dari eksistensi.

Unsur-unsur Hindu-Budha yang terdapat dalam praktik selamatan dan kepercayaan masyarakat Jawa menunjukkan bagaimana tradisi agama dapat saling berinteraksi dan beradaptasi. Masyarakat Jawa berhasil mengintegrasikan unsur-unsur kepercayaan lama dengan nilai-nilai Islam yang baru masuk, menciptakan suatu sistem kepercayaan yang kaya dan kompleks. Praktik ini tidak hanya melayani kebutuhan spiritual tetapi juga berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya dalam komunitas.

Unsur-Unsur Islam dalam upacara selamatan

Unsur Islam dalam praktik upacara selamatan kematian, khususnya dalam konteks tahlilan, dapat dilihat dari beberapa aspek penting berikut:

1. Bacaan Do'a dan Dhikr

a. Penggunaan Surat Al-Fatihah

 Dalam setiap upacara selamatan, Al-Fatihah menjadi bacaan yang paling umum dan penting. Surat ini dikenal sebagai pembuka Al-Qur'an dan memiliki makna yang mendalam dalam konteks permohonan kepada Allah. Penyebutan dan pembacaan Al-Fatihah menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar Islam dan pengakuan akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk kematian.

b. Do'a Keselamatan

Do'a yang diucapkan dalam upacara selamatan mencerminkan permohonan kepada Allah untuk berbagai aspek kehidupan, mulai dari keselamatan dalam agama hingga ampunan setelah mati. Bacaan do'a tersebut meliputi harapan untuk:

  • Keselamatan dalam agama (salamatan fi al-din)
  • Kesehatan fisik (afiyatan fi al-jasad)
  • Peningkatan pengetahuan (ziyadatan fi al-‘ilm)
  • Berkah dalam rezeki (barakatan fi al-rizq)
  • Taubat sebelum mati (tawbatan qabla al-mawt)
  • Rahmat dan ampunan saat dan setelah mati (rahmatan ‘inda al-mawt, maghfiratan ba’da al-mawt)
  • Perlindungan dari neraka dan keadilan saat hisab (wannajata min al-nar wa al-‘afwa ‘inda al-hisab)

Bacaan do'a ini memberikan nuansa spiritual yang kuat dan mencerminkan ajaran Islam mengenai pentingnya meminta perlindungan dan bimbingan dari Allah, terutama pada saat-saat yang kritis seperti kematian.

2. Tahlil sebagai Bacaan Khas

a. Pengertian Tahlil

Tahlil merujuk pada bacaan yang melibatkan pengucapan kalimat "La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah) dan kalimat-kalimat dzikir lainnya. Tahlil biasanya dilakukan secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang yang ahli atau modin, dan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh peserta.

b. Peran Tahlil dalam Upacara

Tahlil menjadi salah satu elemen penting dalam upacara selamatan kematian, di mana peserta berkumpul untuk mendoakan arwah yang telah meninggal. Ini menciptakan suasana kebersamaan dan solidaritas di antara anggota komunitas, serta memperkuat ikatan sosial melalui praktik religius yang kolektif.

3. Keterkaitan dengan Identitas Santri

Tahlilan, yang merupakan istilah populer untuk upacara selamatan kematian, sangat kuat pengaruhnya di kalangan kaum santri. Mereka, yang cenderung mengikuti praktik-praktik yang lebih konservatif dan sesuai dengan ajaran Islam, sering mengadakan tahlilan sebagai bentuk penghormatan kepada arwah dan sebagai upaya untuk mendapatkan rahmat Allah.

Unsur-unsur Islam dalam upacara selamatan kematian di Jawa, seperti penggunaan doa-doa dalam bahasa Arab dan praktik tahlil, mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi budaya mereka. Melalui praktik-praktik ini, mereka tidak hanya menghormati orang yang telah meninggal tetapi juga memperkuat komunitas dan kepercayaan kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada pengaruh budaya lain, ajaran Islam tetap menjadi inti dari praktik keagamaan dan spiritualitas mereka.

Unsur Islam yang terkandung dalam sajian-sajian yang disajikan pada upacara selamatan di Jawa mencerminkan integrasi antara praktik keagamaan dan budaya lokal. Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa hidangan dan penganan yang disebutkan, serta maknanya dalam konteks Islam:

1. Hidangan Rasulan

a. Nasi Wudu

Nasi yang disajikan dalam upacara ini memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan kesucian. Istilah "wudu" merujuk pada ritual pembersihan dalam Islam sebelum melakukan salat. Penyajian nasi wudu menunjukkan kesadaran akan pentingnya bersih dan suci dalam ibadah serta penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.

b. Ingkung Ayam

 Ingkung ayam, yang berarti ayam yang dimasak dengan cara tertentu, biasanya disajikan utuh sebagai simbol kesyukuran. Menyajikan ingkung ayam menunjukkan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, di mana makanan ini dianggap sebagai bentuk "ngaturi dhahar" atau memberikan hidangan kepada Nabi, sekaligus memperlihatkan rasa syukur kepada Allah.

c. Becek Kambing (Gule)

Hidangan ini adalah bentuk masakan berbahan dasar daging kambing, yang umumnya dianggap sebagai hidangan yang istimewa. Dalam konteks Islam, daging kambing juga memiliki signifikansi dalam tradisi pengorbanan, seperti saat Idul Adha.

d. Penganan Lain

Hidangan seperti apem, rujak wuni, wedang, dan penganan lainnya melengkapi upacara selamatan. Setiap hidangan ini tidak hanya untuk mengenyangkan tetapi juga sarat dengan makna dan simbolisme yang berkaitan dengan penghormatan dan pengharapan akan keberkahan.

2. Bubur Sura

a. Bubur Sura

Terdiri dari berbagai bahan, bubur sura merupakan sajian yang dipersembahkan untuk menghormati cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husen. Ini mencerminkan nilai penghormatan dalam tradisi Islam, serta mengenang tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam.

b. Kambing Kenyah

Kambing yang disajikan bersama bubur sura juga memperlihatkan tradisi menyajikan hidangan yang spesial sebagai bentuk penghormatan. Hal ini sejalan dengan praktik dalam masyarakat Islam untuk menyediakan hidangan terbaik saat mengadakan upacara penting.

3. Sembilan Bola Nasi Putih (Sega Golong)

Nasi yang dibentuk menjadi bola-bola kecil ini disajikan pada acara selamatan tingkepan. Jumlah sembilan menunjukkan penghormatan kepada Wali Sanga, sembilan tokoh penyebar Islam di Jawa. Dengan menyajikan hidangan ini, masyarakat menunjukkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada para wali yang telah membawa Islam ke tanah Jawa.

4. Nama Penganan

a. Apem

Penganan ini berasal dari kata Arab ‘afwun', yang berarti "mohon ampun". Penyajian apem dalam upacara selamatan menunjukkan keinginan untuk memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukan.

b. Kolek

Berasal dari kata Khaliq, yang berarti "Tuhan Pencipta". Penganan ini melambangkan pengakuan atas keberadaan dan kekuasaan Tuhan.

c. Ketan

Dari kata khata-an, yang berarti "kesalahan" atau "dosa". Penyajian ketan dalam upacara selamatan mencerminkan kesadaran akan kesalahan dan kebutuhan untuk bertobat.

5. Makna Keseluruhan

Ketiga penganan tersebut—apem, kolek, dan ketan—jika dirangkai menjadi satu, mencerminkan permohonan ampun kepada Allah atas segala kesalahan. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa mengintegrasikan konsep-konsep Islam ke dalam budaya lokal mereka. Penganan ini bukan hanya hidangan fisik, tetapi juga mengandung makna spiritual yang mendalam, mencerminkan permohonan keselamatan, pengakuan akan kesalahan, dan pengharapan akan rahmat Tuhan.

Melalui sajian-sajian ini, upacara selamatan tidak hanya menjadi perayaan sosial, tetapi juga menjadi momen refleksi spiritual, memperkuat ikatan komunitas, dan melestarikan warisan budaya yang kaya.

Unsur Islam yang terlihat pada acara-acara selamatan yang diadakan bersamaan dengan hari-hari besar Islam mencerminkan bagaimana tradisi lokal dan praktik keagamaan saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa acara selamatan yang dikaitkan dengan hari-hari besar Islam:

1. Muludan

a. Pengertian

Muludan adalah perayaan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah.

b. Unsur Islam

Acara Muludan biasanya ditandai dengan kegiatan seperti pengajian, pembacaan sholawat, dan penyajian hidangan untuk merayakan kelahiran Nabi. Melalui perayaan ini, masyarakat menunjukkan kecintaan dan penghormatan mereka kepada Nabi Muhammad, serta memperkuat identitas keagamaan mereka. Kegiatan ini menekankan pentingnya mengenang ajaran dan teladan Nabi dalam kehidupan sehari-hari.

2. Suranan

a. Pengertian

 Suranan merupakan perayaan yang diadakan pada tanggal 10 Muharram, yang dikenal sebagai Hari Asyura. Pada hari ini, umat Islam biasanya dianjurkan untuk berpuasa, baik sebagai ungkapan syukur maupun untuk mengenang berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, termasuk penyelamatan Nabi Musa dan Bani Israel dari penindasan Fir'aun.

b. Unsur Islam

Dalam konteks selamatan, Suranan sering kali diadakan dengan mengundang kerabat dan tetangga, serta menyajikan hidangan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Dengan mengaitkan acara selamatan dengan peringatan hari penting dalam Islam, masyarakat menunjukkan kesadaran akan nilai-nilai agama dan pentingnya berbagi dengan sesama.

3. Megengan

a. Pengertian

Megengan adalah tradisi yang dilakukan sehari sebelum bulan puasa Ramadan. Acara ini merupakan bentuk persiapan spiritual untuk memasuki bulan suci.

b. Unsur Islam

Dalam acara Megengan, masyarakat biasanya mengadakan doa bersama dan penyajian makanan sebagai bentuk syukur dan harapan akan keberkahan selama bulan puasa. Dengan mengaitkan acara ini dengan bulan Ramadan, masyarakat memperkuat komitmen mereka untuk menjalani ibadah puasa dengan semangat yang tinggi. Ini juga menunjukkan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam menjalani praktik ibadah.

4. Makna Keseluruhan

Acara-acara selamatan yang dilakukan pada hari-hari besar Islam menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi lokal. Penentuan waktu berdasarkan kalender Hijriah dan hari-hari besar Islam menggarisbawahi pentingnya aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dengan merayakan momen-momen penting dalam agama, masyarakat tidak hanya menunjukkan komitmen mereka terhadap ajaran Islam, tetapi juga menciptakan ruang untuk memperkuat solidaritas sosial dan budaya.

5. Sinkretisme dalam Praktik

Meskipun acara-acara ini memiliki akar dalam tradisi Islam, mereka juga sering menyerap elemen-elemen dari kepercayaan lokal dan budaya Jawa. Ini menciptakan bentuk sinkretisme yang khas, di mana elemen-elemen Islam dan tradisi lokal saling berinteraksi dan berintegrasi. Misalnya, meskipun acara-acara tersebut berlandaskan pada nilai-nilai Islam, pelaksanaannya seringkali melibatkan ritual-ritual lokal yang menambah dimensi kultural.

Secara keseluruhan, acara-acara selamatan yang diadakan bersamaan dengan hari-hari besar Islam tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperingati momen penting dalam agama, tetapi juga sebagai bentuk perwujudan dari komitmen masyarakat untuk menjalani nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, dengan tetap mempertahankan identitas budaya mereka.

Kesimpulan

Kesimpulan mengenai unsur-unsur Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam dalam upacara selamatan di kalangan masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:

1. Pola Sinkretisme Agama

Upacara selamatan merupakan contoh nyata dari sinkretisme agama, di mana unsur-unsur dari Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam saling berinteraksi dan berintegrasi. Masyarakat Jawa mampu mengadaptasi dan mengkombinasikan berbagai tradisi dan kepercayaan, menciptakan praktik yang unik dan kaya makna.

2. Penghormatan terhadap Roh dan Leluhur

Dalam praktik selamatan, terdapat penghormatan yang tinggi terhadap roh-roh leluhur dan entitas spiritual lainnya. Pengundangan roh-roh ini mencerminkan unsur Animisme, yang tetap dipertahankan meskipun agama baru seperti Islam masuk ke dalam kehidupan mereka.

3. Peran Agama dalam Budaya

Dengan masuknya unsur Hindu-Budha, terjadi pergeseran dalam objek pemujaan dari roh-roh menjadi dewa-dewi, yang menunjukkan pengaruh budaya yang kuat. Selain itu, pengaruh Islam terlihat dari penambahan elemen-elemen seperti bacaan doa dan ritual yang berlandaskan pada ajaran Islam.

4. Motivasi dan Keterlibatan Komunitas

Kegiatan selamatan tidak hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga berfungsi sebagai momen untuk memperkuat ikatan sosial dan komunitas. Keterlibatan masyarakat dalam upacara ini menunjukkan antusiasme dan komitmen mereka terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan.

5. Warisan Budaya yang Berkelanjutan

Upacara selamatan yang kaya akan unsur-unsur keagamaan dan budaya ini terus dilestarikan dan dilakukan hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memiliki cara yang unik untuk menyikapi perkembangan agama dan budaya, tetap mempertahankan identitas mereka sebagai bangsa yang beragama.

Secara keseluruhan, upacara selamatan di kalangan masyarakat Jawa merupakan refleksi dari perjalanan panjang dan kompleks dalam sejarah keagamaan mereka. Integrasi berbagai unsur kepercayaan menciptakan praktik yang tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga aspek sosial dan budaya yang mendalam.

Pesan

Marilah kita bersama-sama merenungkan dan menghargai kekayaan tradisi dan kepercayaan yang telah membentuk identitas kita sebagai masyarakat Jawa. Upacara selamatan yang kita laksanakan bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan manifestasi dari perjalanan panjang kita dalam mengintegrasikan berbagai unsur kepercayaan—Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam.

Melalui upacara ini, kita tidak hanya menghormati leluhur dan roh-roh yang telah berjasa, tetapi juga memperkuat tali persaudaraan di antara kita. Mari kita lestarikan warisan budaya ini dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab, agar generasi mendatang dapat terus mengenal dan menghargai akar budaya kita yang kaya.

Semoga setiap langkah kita dalam melaksanakan upacara selamatan ini dipenuhi dengan makna dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Terima kasih atas partisipasi dan dukungan kalian.

Referensi

Al-Banna, Hasan. Allah Fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya. Solo:

Ramadhani, 1981.

Djumhur, I. Pengantar ke Antropologi Budaya. Bandung: Dirgantara. 1977 .

Fischer, H.Th. Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas

Makruf. Jakarta: Pustaka Sardjana, 1953.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj.

Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.

Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. terj.Grafiti Pers .Jakarta: Grafiti Pers, 1985.

Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Jogjakarta: PT.

Hanindita, 1984.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

MZ,H Fatchurrahman. Surat Yaasiin dan Tahlil. Surabaya: Amanah,tt.

M, Sufa’at. Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan. Yogjakarta: Kota

Kembang, 1985.

Mulyono, Sri. Sombolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Sebuah Tinjauan

Filosofis. Jakarta: Gunung Agung, 1979.

Rasyidi, HM. Empat Kuliah Agama Pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan

Bintang, 1977.

Rosihan Anwar, Demi Da’wah. Bandung: Al-Ma’arif, 1976.

Soejono, R.P. Ed. Sejarah Nasional Indonesia, Vol.I .Jakarta: PN. Balai Pustaka,

1984.

Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Vol. II. Jakarta:

Yayasan Kanisius, 1973.

Sihombing, ODP. India, Sejarah dan Kebudayaannya. Bandung: Sumur, 1962.

Tjakraningrat, Kanjeng Pangeran Harja. Kitab Primbon Betal Jemur Adammakna

Yogjakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 1980

Tanojo, R. Primbon Djawa Pandita Sabda Nata.Solo: Toko Buku Pelajar,tt. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun