H.Th. Fischer menambahkan bahwa Animisme sering berkembang menjadi sebuah religi, karena adanya keterikatan emosional dan spiritual antara manusia dengan roh-roh tersebut. Manusia merasa perlu menghormati dan menyembah roh-roh ini untuk mendapatkan perlindungan, keberuntungan, atau bahkan menghindari bencana. Dengan demikian, animisme menjadi landasan dari bentuk-bentuk penghormatan religius yang kemudian berkembang menjadi praktik-praktik keagamaan lokal, seperti upacara untuk menghormati leluhur atau roh alam.
2. Dinamisme
Di sisi lain, adalah kepercayaan bahwa terdapat tenaga magis yang tersebar di seluruh alam—pada manusia, binatang, tumbuhan, bahkan benda mati. Tenaga magis ini bisa berbentuk kekuatan atau daya yang tidak terlihat, namun dipercaya bisa digunakan atau dimanipulasi oleh manusia untuk keuntungan pribadi. Misalnya, seseorang bisa menggunakan kekuatan dari benda-benda tertentu atau mantra-mantra khusus untuk mencapai tujuan, seperti mendapatkan kesuksesan atau melindungi diri dari bahaya.
Berbeda dengan animisme, dinamisme lebih condong menjadi magi, karena manusia percaya bahwa tenaga-tenaga magis ini dapat dikendalikan atau dimanfaatkan melalui tindakan-tindakan tertentu, seperti ritual, mantra, atau jimat. Magi ini tidak selalu berkaitan dengan penyembahan, melainkan lebih kepada upaya untuk memanipulasi kekuatan alam demi mencapai tujuan tertentu. Orang Jawa purba, misalnya, mungkin percaya bahwa dengan mengucapkan mantra tertentu atau memakai benda magis, mereka bisa membawa keberuntungan atau bahkan mencelakai orang lain.
Secara keseluruhan, baik animisme maupun dinamisme sangat memengaruhi pandangan hidup dan praktik budaya Jawa purba. Animisme berfokus pada penghormatan kepada roh-roh yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan berujung pada pembentukan praktik religius. Sedangkan dinamisme lebih berkaitan dengan upaya manusia untuk mengendalikan kekuatan magis di alam sekitarnya, sehingga berkembang menjadi bentuk-bentuk praktik magis. Kedua kepercayaan ini saling melengkapi dan menciptakan pandangan hidup yang sangat kaya dalam budaya Jawa, dengan fokus pada hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan gaib.
Menurut I. Djumhur, Animisme dan Dinamisme tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua konsep ini saling melengkapi dalam membentuk pandangan dunia masyarakat primitif. Tidak ada masyarakat primitif yang hanya mengandalkan salah satu kepercayaan tanpa mengakui yang lainnya. Kedua sistem kepercayaan ini hadir secara bersamaan dalam suatu masyarakat, termasuk di Jawa, dan menciptakan dasar-dasar kepercayaan orang Jawa pada zaman purba.
1. Dinamisme adalah kepercayaan pada tenaga magis yang dapat dimiliki oleh manusia, benda, atau elemen alam. Contoh pemahaman dinamisme dalam budaya Jawa adalah keyakinan bahwa seseorang yang memiliki ilmu tinggi atau kemampuan supranatural akan mengalami kesulitan saat meninggal dunia. Hal ini karena orang tersebut dipercaya menyimpan tenaga magis yang masih melekat di tubuhnya. Dalam situasi ini, tenaga tersebut dianggap kuat sehingga proses kematian menjadi sulit atau terhambat. Ini mencerminkan keyakinan bahwa tenaga magis dapat memengaruhi peristiwa fisik, bahkan setelah kehidupan.
2. Animisme, di sisi lain, berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh yang ada dalam setiap makhluk hidup, benda-benda mati, dan unsur-unsur alam. Sebagai contoh, ketika seseorang meninggal, ada kepercayaan di Jawa bahwa semua lubang di tubuh mayat harus ditutup agar roh yang ada di tubuh tersebut terlindungi dari pengaruh jahat. Hal ini menunjukkan keyakinan bahwa roh manusia tetap ada setelah kematian dan masih bisa dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Penutupan lubang ini adalah upaya untuk melindungi roh agar tidak terganggu atau diambil oleh kekuatan buruk dari luar.
Kombinasi kepercayaan animisme dan dinamisme inilah yang menjadi fondasi keyakinan spiritual orang Jawa purba. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu di alam, baik benda hidup maupun benda mati, memiliki roh atau tenaga magis yang perlu dihormati. Ketundukan terhadap kekuatan alam dan benda-benda alam ini diwujudkan melalui penyembahan dan pengakuan terhadap kekuatan gaib yang ada di balik setiap elemen alam.
Untuk menghormati dan menundukkan diri pada kekuatan-kekuatan ini, masyarakat Jawa purba mengembangkan bentuk-bentuk penyembahan yang melibatkan tata-cara dan simbol-simbol tertentu. Misalnya, mereka menyembah binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia yang dianggap kuat atau memiliki kekuatan, dan juga elemen alam seperti matahari, bulan, gunung, air, dan api. Semua benda dan fenomena ini dianggap sebagai Tuhan atau entitas yang memiliki kekuatan gaib.
Sebagai bentuk persembahan kepada kekuatan ini, orang Jawa purba juga mempersembahkan sesajian atau ritual khusus. Misalnya, untuk mencegah datangnya penyakit, bencana alam seperti banjir atau gempa bumi, atau serangan hama pada tanaman, mereka melakukan upacara persembahan kepada benda-benda atau roh-roh alam yang mereka anggap memiliki pengaruh besar. Sesajian ini bertujuan untuk meredakan atau mengendalikan kekuatan-kekuatan tersebut agar tidak mendatangkan malapetaka atau bencana pada kehidupan mereka.