Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selametan: Jejak Tradisi, Warisan Leluhur yang Penuh Makna

18 Oktober 2024   14:20 Diperbarui: 18 Oktober 2024   14:22 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara keseluruhan, animisme dan dinamisme dalam budaya Jawa purba mencerminkan hubungan yang sangat erat antara manusia dengan alam. Mereka tidak hanya berinteraksi dengan alam secara fisik, tetapi juga secara spiritual, dengan meyakini bahwa alam memiliki kekuatan yang harus dihormati, ditakuti, dan dipengaruhi melalui berbagai bentuk ritual dan persembahan.

Pada sekitar tahun 400 M, orang-orang India datang ke Pulau Jawa untuk berdagang, membawa serta pengaruh budaya dan agama, yaitu Hindu dan Buddha. Kedua agama ini tidak hanya berkembang secara agama, tetapi juga mempengaruhi kebudayaan, politik, dan seni di Jawa. Keberadaan Hindu dan Buddha menciptakan perubahan besar dalam struktur masyarakat Jawa yang sebelumnya lebih mengandalkan kepercayaan animisme dan dinamisme.

Namun, yang menarik adalah bagaimana agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat Jawa, meskipun suatu kerajaan mungkin berstatus sebagai kerajaan Hindu atau Buddha secara resmi. Kedua agama tersebut tidak dianggap saling bertentangan, melainkan diterima secara fleksibel oleh masyarakat Jawa. Hal ini mencerminkan sifat inklusif dan adaptif dari kebudayaan Jawa, yang cenderung menyerap berbagai pengaruh luar dan mengintegrasikannya dengan kepercayaan serta adat-istiadat lokal.

Bahkan, ada fenomena yang lebih unik lagi, yaitu agama Siwa-Buddha, sebuah perpaduan antara kepercayaan Hindu dan Buddha. Nama "Siwa-Buddha" menggambarkan kombinasi dari dewa Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu, dengan ajaran Buddha. Dalam sistem kepercayaan ini, unsur-unsur Hindu dan Buddha tidak dilihat sebagai hal yang berseberangan, tetapi disatukan dalam satu sistem yang sinkretis. Perpaduan ini memungkinkan ajaran-ajaran dari kedua agama tersebut dipraktikkan bersamaan, dan menghasilkan keunikan dalam keagamaan dan spiritualitas masyarakat Jawa saat itu.

Penyatuan antara Hindu dan Buddha di Jawa juga terlihat dalam kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu atau Buddha, seperti Kerajaan Mataram Kuno, Sriwijaya, dan Majapahit. Meski kerajaan-kerajaan tersebut secara resmi menganut salah satu agama, kehidupan masyarakatnya tetap mengintegrasikan kedua ajaran secara harmoni. Misalnya, seorang raja bisa memuja dewa Siwa dalam ritual Hindu sekaligus menghormati ajaran Buddha dalam kehidupan spiritualnya. Ini juga tercermin dalam berbagai candi-candi yang dibangun pada masa itu, seperti Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu, dan Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha, tetapi seringkali dipandang sebagai simbol dari harmonisasi kedua ajaran.

Fenomena sinkretisme ini mencerminkan karakter toleransi yang kuat dalam budaya Jawa. Masyarakat Jawa pada masa itu lebih menekankan harmoni dan keseimbangan, baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Mereka tidak menganggap bahwa satu agama harus menggantikan yang lain, tetapi sebaliknya, mereka menemukan cara untuk menggabungkan ajaran-ajaran dari kedua agama ke dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, agama Siwa-Buddha adalah contoh dari bagaimana masyarakat Jawa berhasil mengintegrasikan ajaran dari luar dengan kebudayaan lokal. Ini menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa dan kemampuannya untuk menyerap dan mengadaptasi berbagai pengaruh keagamaan dalam cara yang unik dan damai, menciptakan warisan spiritual yang bertahan hingga sekarang.

Dalam masyarakat Jawa, terdapat perbedaan pengaruh agama dan kepercayaan antara dua golongan utama, yaitu priyayi dan wong cilik. Priyayi, menurut istilah yang digunakan oleh Clifford Geertz, merujuk kepada keluarga bangsawan, pejabat pemerintahan, dan keluarga istana yang berada di posisi sosial yang lebih tinggi. Sedangkan wong cilik adalah golongan rakyat biasa, terutama para petani yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

1. Pengaruh Agama Hindu-Buddha pada Golongan Priyayi

Kalangan priyayi sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu dan Buddha, karena mereka adalah bagian dari kelompok yang menegakkan dan mendukung kerajaan-kerajaan yang menganut kedua agama tersebut. Sebagai bagian dari elite penguasa, priyayi tidak hanya berperan dalam pemerintahan, tetapi juga dalam menjaga dan mempromosikan nilai-nilai keagamaan Hindu-Buddha yang mendasari legitimasi politik dan spiritual kerajaan. Oleh karena itu, kalangan priyayi lebih terhubung dengan ajaran-ajaran mistik dan filsafat Hindu-Buddha, yang meliputi konsep-konsep seperti reinkarnasi, karma, dan pembebasan dari siklus kehidupan (moksha atau nirvana). Mereka memiliki akses ke pendidikan, termasuk kitab-kitab keagamaan dan filsafat Hindu-Buddha yang memungkinkan mereka memahami dan mengadopsi ajaran-ajaran tersebut.

Namun, meskipun sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha, priyayi tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelumnya. Mereka tetap mempertahankan keyakinan terhadap roh-roh leluhur, kekuatan alam, serta praktik-praktik magis yang berasal dari tradisi lokal. Hal ini menciptakan perpaduan antara agama Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme-dinamisme yang kuat, di mana keduanya hidup berdampingan dalam keyakinan priyayi. Misalnya, meskipun mereka menghormati dewa-dewa Hindu atau ajaran Buddha, mereka masih melibatkan ritual-ritual lokal untuk menghormati roh leluhur atau kekuatan alam.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun