“Aku tidak punya waktu cukup banyak, marilah..!”sahut Wijaya.
Wijaya meraih tangan Kinasih, dan mengajaknya keluar dari rumah itu, dengan menerobos pagar bambu. Kinasih hanya mengikuti sambil setengah berlari.
Wijaya membawanya kebalik rumpun bambu yang terlindung, agar Ki Wijil yang mengusirnya dari rumah itu tak melihat.
Dirumah itu tinggal Raden Prajasena dan istrinya yang sedang sakit lumpuh, juga beberapa abdi dalem lainnya, dan Ki Wijil adalah orang kepercayaan dari Raden Prajasena, ayahanda dari Putri Kinasih.
Sementara itu Sudira yang sedang mengawasi halaman serambi itu, memperhatikan tingkah Wijaya keheranan.
Terengah-engah Kinasih berlari mengikuti Wijaya, lalu Wijaya melepaskan tangan Kinasih setelah sampai dibawah rumpun bambu yang membelakangi kediaman Raden Prajasena.
“Putri.., maafkan atas kelancangan hamba ini, hamba lakukan karena ada sesuatu yang ingin aku katakan dan sangat mendesak,”Wijaya berkata sambil menundukkan kepala.
“Ada apa sebenarnya Wijaya ?”Kinasih berkata lirih.
Wijaya mempersilahkan Putri Kinasih duduk diatas onggokkan batu, dibawah rumpun bambu tersebut.
Wijaya pun bersila dihadapannya dengan kepala tertunduk.
“Hei.., jangan seperti ini Wijaya !”