Mohon tunggu...
tri prabowo
tri prabowo Mohon Tunggu... Karyawan -

Engineer PLC, lagi belajar nulis, Hobi Cersil, sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Serial: Andaru Wijaya [20]

23 Agustus 2016   21:57 Diperbarui: 23 Agustus 2016   22:21 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Letak rumah Sudira tak seberapa jauh dari rumahnya, setelah melewati beberapa pategalan ia sudah berada dihalaman rumah Sudira.

Sudira yang melihat Wijaya masuk kehalaman rumahnya, langsung menyambutnya.

Ia lalu menjabat erat tangan sahabatnya itu.

“Selamat datang Andaru.., atau Wijaya aku memanggilmu ?”katanya dengan nada nyaring.

“Dengan namamu saja sudah membuat aku bingung, apalagi berurusan denganmu,”kata Sudira mengejek, sambil tertawa berkepanjangan.

Sudira berseloroh, membuat suasana mereka menjadi lebih akrab.

“Ah kau ini.., aku memakai nama Andaru karena di dusun Tawang namaku adalah Wijaya, aku tidak mau karena ulahku, pamanku jadi kena getahnya,”jawab Wijaya membela diri.

“Oh.., ternyata kau cerdik juga.., kapan kau ajari aku ilmu beladiri ?”

“Untuk apa ?”Wijaya bertanya terheran-heran.

“Agar aku bisa menghajar para penjudi itu, lalu merampas semua uang taruhannya..!”Sudira berkata sambil tertawa terbahak-bahak.

Wijaya hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

Sudira adalah sosok yang periang, dan suka bercanda.

“Mari masuk Wijaya,” Sudira mempersilahkan.

“Aku tinggal dulu ke pawon, tapi aku tidak akan memberimu makan, kecuali mengambilkan air kulah untukmu minum,”Sudira kembali tertawa, sambil berlalu menuju dapur.

Rumah Sudira tampak sepi, Wijaya memandang sekeliling ruang tamu itu, setelah Sudira meninggalkannya kedapur.

Rumah yang sederhana dengan pintu utama didepan, berdaun pintu dua, dinding rumah itu terbuat dari kayu papan, yang dibuat mengelilingi rumah itu, disetiap sisi terpasang jendela masing-masing dua buah, terdapat empat tiang penyangga dibagian tengah rumah itu , tepat ditengahnya terdapat meja dan risban dua buah, yaitu kursi yang memanjang.

“Rumah ini peninggalan orang tuaku Wijaya !”ujar Sudira.

Wijaya terkejut, tidak menyadari kehadiran Sudira, yang sudah menghidangkan minuman hangat dimeja.

“Oh..maaf Sudira, melihat rumahmu, aku jadi rindu akan suasana dirumahku.”

“Memang kau berasal dari mana ?”tanya Sudira, sambil menyodorkan minuman.

“Orang tuaku tinggal Matesih, tidak jauh dari sini, tidak sampai satu hari perjalanan jika kau berkuda.”

Sudira mengangguk-angguk.

“Bagaimana kabar adikmu Laksmi ?”Wijaya bertanya.

“Ia masih di Kembangan, beberapa hari yang lalu suaminya datang kesini dan marah-marah, lalu menanyakan, kenapa istrinya tidak ada dirumah ?”

“Tetapi aku sudah memberitahu kakang Rukmana, bahwa sementara Laksmi ingin tinggal bersama pamannya.”

“Sudira.., ada sesuatu yang harus aku sampaikan terkait adikmu Laksmi.”

Sudira mengerutkan dahinya, mendengar ucapan Wijaya.

“Adakah sesuatu yang penting menyangkut adikku Wijaya ?”

“Kalau kau mau bertemu dengannya, aku dapat mengantarmu menemuinya untuk menyampaikannya sendiri,”Sudira berkata.

“Aku tidak bisa ikut campur terlalu dalam dalam urusan rumah tangganya, tetapi karena kau adalah adiknya, aku hanya dapat menyampaikan apa yang aku lihat dan aku dengar saat pertunjukkan Tayub selesai didusun Ngentak.”

“Memangnya ada apa sebenarnya ?”sahut Sudira penasaran.

Setelah meneguk minuman hangat yang disediakan, Wijaya mulai dengan penjelasannya.

“Kejadian yang memalukan itu dapat saja terulang pada adikmu Sudira, kalian harus berhati-hati.”

“Nyi Ambarwangi istri tertua Rukmana mempunyai niat jahat terhadap adikmu, ia tega menjual kehormatan Laksmi kepada perwira Kumpeni itu.”

“Hanya demi beberapa keeping uang dan perhiasan,”ujar Wijaya

Sudira menggeram, ia mengepalkan tangannya, rasanya ingin melapiaskan kemarahannya, ia tidak menyangka Nyi Ambarwangi tegaberbuat demikian, padahal ia mendapatkan uang paling banyak jika pertunjukkan Tayub digelar.

“Wanita tidak tahu diri..!”Sudira berkata dengan nada tinggi.

“Kendalikan dirimu Sudira, sebaiknya hal ini cepat kau sampaikan pada Laksmi.”

“Apa tidak sebaiknya kita berdua ke dusun kembangan untuk menyampaikannya kepada Laksmi ?”tanya Sudira

“Baiklah Sudira, tetapi ketahuilah aku menemuimu dan Laksmi selain menyampaikan masalah ini, aku juga ingin berpamitan pada kalian berdua.”

“Kau akan kemana Wijaya,”sahut Sudira terperanjat.

“Aku akan bergabung dengan laskar di Deksa.”

Sudira sejenak tertegun sejenak, pandangannya menerawang menatap jendela rumahnya yang tembus sampai halaman samping.

“Aku juga sebenarnya mempunyai niat seperti itu Wijaya, tetapi karena adikku dan bekal ilmu beladiriku tidak cukup, niat itu aku urungkan.”

“Jangan berkecil hati Sudira, kau dapat bergabung kapan saja, bergabunglah jika keadaan adikmu sudah mapan.”

“Kita belum terlalu lama berteman Wijaya, tetapi rasanya aku seperti kehilangan tempat berbagi suka dan duka, setelah mendengar kau akan pergi ke Deksa.”

“Aku akan berkunjung kesini jika ada kesempatan, karena pamanku Ki Kerta juga menetap disini.”

Suasana hening sejenak, mereka merenung dengan angan-angan mereka masing-masing.

Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan suara Sudira.

“Masih ada waktu..!”ujar Sudira dengan nada nyaring.

“Ayolah Wijaya kita ke Kembangan, nanti saat melewati pasar Jatisarana aku akan mengajakmu makan, sebagai tanda perpisahan kita,”suara Sudira meninggi.

Wijaya yang terkejut dengan ajakkan Sudira, mengangguk setuju.

“Baiklah, tapi tidak seperti itu, kapan-kapan aku akan berkunjung kesini,”jawab Wijaya sambil menepuk bahu Sudira.

Kemudian mereka meninggalkan rumah Sudira dengan berjalan kaki menuju Dusun Kembangan.

Beberapa saat kemudian mereka memasuki dusun Pendawareja, tiba-tiba saja Wijaya menghentikan langkah kakinya.

“Ada apa Wijaya ?”

“Sudira ada sesuatu yang harus kusampaikan pada temanku, dapatkah kita berbelok ke jalan utama itu, sebelum kita meneruskan perjalanan ke Jatisarana ?”

“Oh tidak masalah.., karena ini adalah saat-saat terakhir kita bersama, sebelum kau pergi ke Deksa,”jawab Sudira sambil tersenyum.

Setelah berbelok dan melewati jalan utama, tampak balai desa, disebelahnya lagi tampak bangunan yang cukup mewah, jika dibandingkan dengan rumah kebanyakan.

Wijaya berjalan memutar keserambi samping rumah itu, diikuti Sudira.

Diserambi samping itu tampak sepi, hanya tampak seorang gadis berambut panjang, berpakaian kebaya sedang duduk termenung.

Gadis itu memandang hamparan bunga ditamannya yang bermekaran, wajahnya yang anggun dengan dagu lancip dan sepasang lesung pipit dipipi.

Wijaya berjalan mengendap-endap diantara tanaman pagar, bermaksud menerobos masuk rumah besar itu.

“Kau yakin ini rumah temanmu ?”

“Bukankah ini rumah Raden Prajasena majikanmu ?” tanya Sudira.

“Ya benar, aku hanya ingin berpamitan,”jawab Wijaya.

“Kenapa harus dengan cara seperti ini ?”

“Kenapa tidak lewat regol saja kita masuk ?”tanya Sudira keheranan.

“Aku sudah diberhentikan secara tidak hormat dirumah ini, sudahlah nanti kau juga akan tahu sebabnya.”

“Sekarang..,aku mohon kau dapat menunggu disini sejenak dan awasi keadaan disekitarnya.”

“Beritahu aku atau bersuitlah, jika ada orang yang datang,”pinta Wijaya.

Sudira hanya mengangguk keheranan melihat tingkah laku Wijaya.

Wijaya lalu mencoba mendekati pagar bambu yang ada disisi serambi rumah itu.

Ia melepas tiga batang bambu agar tubuhnya dapat masuk ke serambi rumah itu, ia melepas ikatan bambu itu perlahan.

Tak beberapa lama, ia sudah berada di halaman serambi itu.

Wijaya mendekati gadis itu lebih dekat sambil mengendap-endap diantara tanaman hias, kemudian ia menempelkan tubuhnya didinding rumah itu sambil melangkah berhati-hati, tak berapa lama dia sudah berada di sisi gadis itu.

“Putri.., Putri Kinasih..!”suara wijaya setengah berbisik.

“Kinasih hampir saja berteriak, tetapi dengan cepat Wijaya menutup mulutnya.

“Hamba Putri..,Wijaya..!”

Sesaat mata mereka beradu pandang, tetapi tangan Wijaya masih menempel dimulut Kinasih.

Kinasih yang napasnya terganggu, memberi isyarat agar Wijaya melepaskan dekapan tangan dimulutnya.

Kinasih membelalakkan matanya, sambil jari telunjukknya menunjuk pada mulutnya yang tertutup.

Sesaat kemudian, Wijaya baru sadar akan maksud kedatangannya, ia melepaskan tangannya dari mulut Kinasih.

“Hamba mohon maaf Putri...”

“Kau...,kau Wijaya..?”suara Kinasih terengah, setelah Wijaya melepaskan dekapan tangannya dimulut Kinasih.

“Hamba Putri..., ada sesuatu yang ingin kusampaikan,”jawab Wijaya sambil memperhatikan sekeliling.

“Tapi.., tapi bukan dengan cara seperti ini, kenapa kau tidak lewat regol...?”Kinasih berkata perlahan.

“Aku tidak punya waktu cukup banyak, marilah..!”sahut Wijaya.

Wijaya meraih tangan Kinasih, dan mengajaknya keluar dari rumah itu, dengan menerobos pagar bambu. Kinasih hanya mengikuti sambil setengah berlari.

Wijaya membawanya kebalik rumpun bambu yang terlindung, agar Ki Wijil yang mengusirnya dari rumah itu tak melihat.

Dirumah itu tinggal Raden Prajasena dan istrinya yang sedang sakit lumpuh, juga beberapa abdi dalem lainnya, dan Ki Wijil adalah orang kepercayaan dari Raden Prajasena, ayahanda dari Putri Kinasih.

Sementara itu Sudira yang sedang mengawasi halaman serambi itu, memperhatikan tingkah Wijaya keheranan.

Terengah-engah Kinasih berlari mengikuti Wijaya, lalu Wijaya melepaskan tangan Kinasih setelah sampai dibawah rumpun bambu yang membelakangi kediaman Raden Prajasena.

“Putri.., maafkan atas kelancangan hamba ini, hamba lakukan karena ada sesuatu yang ingin aku katakan dan sangat mendesak,”Wijaya berkata sambil menundukkan kepala.

“Ada apa sebenarnya Wijaya ?”Kinasih berkata lirih.

Wijaya mempersilahkan Putri Kinasih duduk diatas onggokkan batu, dibawah rumpun bambu tersebut.

Wijaya pun bersila dihadapannya dengan kepala tertunduk.

“Hei.., jangan seperti ini Wijaya !”

“Aku bukan raja yang harus kau sembah..!”Suara kinasih meninggi.

“Hamba menghormati putri, karena hamba sebelumnya adalah abdi dalem dirumah Putri, walaupun sekarang tidak lagi.”

“Apa maksudmu Wijaya ?”sahut Kinasih.

“Ketahuilah.., Ki Wijil memberhentikanku setelah aku membeberkan perihal sakit ibunda Putri,”ujar Wijaya.

“Kenapa Ki Wijil tidak memberitahukan aku, kalau kau diberhentikan ?”

“Dia itu terlalu lancang, kadang dia begitu berkuasa dirumahku !”suara Kinasih meninggi.

“Lalu apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan ?”tanya Kinasih.

Wijaya yang duduk bersila dihadapannya, beringsut mendekat dengan kepala yang masih menunduk.

Wijaya merenung sejenak, mengatur kalimat yang akan diucapkan.

Angin sepoi berhembus, menggerakkan batang-batang bambu yang rimbun bergerombol, membuat teduh siang hari yang terik itu.

“Putri.., tujuan hamba menemui putri sebenarnya adalah, hendak berpamitan pada putri.”

“Karena mungkin untuk sementara waktu aku akan meninggalkan Lereng Girimulya ini,”nada bicara Wijaya menurun.

Putri Kinasih terkejut dan tak mengerti alasan Wijaya ingin pergi meninggalkan Girimulya.

“Kau..kau akan kemana Wijaya...?”suara kinasih tersendat.

“Aku akan pergi ke Deksa,”jawabnya pendek.

“Kau tega meninggalkan aku, sebelum keadaan ibundaku sembuh ?”

Mata Kinasih berkaca-kaca menatap Wijaya yang masih tertunduk, baginya Wijaya adalah harapan bagi kesembuhan ibundanya.

“Setelah ibunda dan Ki Supa hanya kau yang kupercayai, berarti aku akan sendiri menghadapi masalah ibundaku.”

“Aku juga berat meninggalkan Putri, aku tidak sampai hati meninggalkan Putri sebelum semua keadaan menjadi jelas,”Wijaya berkata.

“Jadi..,kau tetap akan meninggalkan aku, jika semua persoalannya telah selesai ?”

Kinasih berkata dengan nada tinggi, sementara tak terasa air matanya menetes pipinya.

Kinasih merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya mendengar pernyataan Wijaya.

Andaru Wijaya pun bingung menghadapi Kinasih, bagaimana sebaiknya ia menyampaikan maksud kepergiannya ke Deksa ?

Sesungguhnya mereka berdua belum sadar akan kedalaman hati mereka masing-masing dalam hubungan insan remaja.

Hati mereka seperti terikat, walau tak terucap.

Disatu sisi Kinasih adalah seorang gadis terhormat, disisi lain Wijaya merasa hanya anak padesan, yang menggantungkan mimpinya dilangit.

“Putri bukan maksudku membuat putri semakin bersedih, tetapi ini adalah panggilan jiwaku, karena tujuanku ke Deksa untuk bergabung dengan laskar rakyat yang berjuang demi tegaknya paugeran di Mataram.”

“Kau mementingkan dirimu sendiri..!”suara Kinasih meninggi.

“Tidak putri.., aku juga tidak akan bisa melupakan putri...,”lagi-lagi ucapan Wijaya terlontar begitu saja.

Wijaya tampak gugup, setelah kalimat itu terucap.

Ia menyesal mengatakan hal yang kurang pantas pada Putri Kinasih, dalam arti hubungan anak bangsawan dengan anak padesan sepertinya.

“Maaf..maaf putri.., lagi-lagi penyakitku kambuh, tidak seharusnya aku mengatakan demikian,”Wijaya berkata, tetapi wajahnya tidak lagi tertunduk, karena ingin meyakinkan Kinasih.

Kinasih menatap tajam mata Wijaya, seolah-olah menebus sampai dasar hatinya.

“Benar itu kau ucapkan dari hatimu ?”tanya Kinasih meyakinkan ucapan Wijaya.

“Benar Putri.., tetapi sekali lagi hamba mohon maaf, hamba sudah bersifat deksura,”Wijaya masih tampak bimbang.

“Itu bukan deksura, tetapi itu kejujuran dari dasar hatimu, dan aku menghargai itu !”

Wijaya hanya terdiam dihadapan Kinasih.

“Sudahlah..!, kau tahu isi hatiku, begitu juga aku tahu isi hatimu, lalu apa buktinya kau mempedulikan keadaanku ?"Kinasih berkata, masih dengan nada tinggi.

Kinasih memang kadang-kadang dapat berkata tegas, karena didikan ayah kandungnya Tejaperbawa yang keras.

“Baiklah.., aku memang tidak pantas terlalu berharap padamu, atau dengan kata lain kau bukan siapa-siapa buatku,”suara Kinasih menurun.

Kembali Wijaya dibuat kebingungan menghadapi Kinasih, yang kadang bersifat tegas menghadapi suatu keadaan.

Wijaya berpikir keras, lalu menarik napas sambil mengatur kalimat yang akan diucapkan.

“Baiklah dalam satu atau dua bulan kedepan, tentu aku akan berkunjung kesini, jika dalam tugasku nanti aku diberikan bebas tugas, aku akan melanjutkan usahaku untuk kesembuhan ibunda Putri,”ujar Wijaya.

Mata Kinasih yang tadinya sembab kembali berbinar, secercah harapan meletup didalam hatinya, hatinya mengembang.

Berbeda dengan Wijaya yang masih bingung menempatkan hatinya, dan tak bisa mendustai hati kecilnya.

“Tolong sampaikan pula permohonan maafku kepada ibunda putri dan Ki Supa,”Wijaya menambahkan.

Kinasih mengangguk kecil, suasana menjadi hening sejenak, mereka berdua bermain dengan angan-angan mereka.

Andaru Wijaya yang masih bersila dihadapan Kinasih, menundukkan kepala kembali.

Tiba-tiba Sudira menyibak dari balik gerumbul disebelah rumpun bambu itu, suaranya membuyarkan lamunan mereka.

“Wijaya.., ada laki-laki berkepala botak dan membawa cemeti, datang kearah sini !”

“Ki Wijil..!”Wijaya dan Kinasih berkata bersamaan.

Belum sempat Wijaya dan Sudira bergegas pergi dari tempat itu, Ki Wijil sudah berada diantara rumpun bambu itu.

“Anak tengik..!”terdengar suara mengumpat.

“Rupanya kau belum jera juga,”Ki Wijil berkata sambil melangkah mendekat.

“Maaf Ki Wijil, tujuanku kesini hanyalah untuk berpamitan kepada Putri Kinasih, tidak ada maksud lain,”Wijaya berkata dengan nada dalam.

Ki Wijil terpaku memandang Wijaya, terbayang dipikirannya kegagalan orang upahannya yaitu Suliwa untuk membunuhnya.

Kalau ia berbicara terlalu banyak, tentu Wijaya akan membeberkan perbuatannya pada Putri Kinasih.

“Apapun alasanmu aku tidak peduli..!”Ki Wijil berkata, mengusir pikiran yang yang mengganggunya

“Sekarang pergilah dari tempat ini, atau kau merasakan lecutan cambukku !”ujar Ki Wijil, sambil mengurai cambuknya.

“Cukup Ki Wijil..!”Kinasih memotong pembicaraan.

“Kembalilah ke pendapa, aku akan menyusul !”Kinasih berkata sambil menatap tajam Ki Wijil.

Ki Wijil menggeram menahan gejolak di dadanya, tetapi ia menuruti perintah Kinasih, ia hanya mengawasi dari kejauhan.

“Pergilah Wijaya, berhati-hatilah.., doaku selalu menyertaimu,”Kinasih berkata.

Pelupuk mata Kinasih terasa panas, tak terasa air mata menetes tak terbendung.

Terasa ada yang hilang dalam diri Kinasih, dan tentu hari-harinya akan menjadi sepi, tanpa seseorang untuk diajak berbagi.

Terkecuali Ki Supa, abdi dalem yang selalu setia dan selalu memberi petuah bijak padanya.

Tapi tentu keadaannya berbeda, karena lebih nyaman berbagi suka dan duka dengan teman sebayanya seperti Wijaya.

Kemudian Kinasih meraih tangan Wijaya, dan memberikan kantong kecil kedalam genggaman tangan Wijaya.

“Ini adalah pemberian ayahanda Tejaperbawa, semoga bisa mengingatkanmu akan diriku.”

Wijaya menerima kantung kecil pemberian Kinasih dan memasukkan ke saku bajunya.

“Aku mohon diri putri,”Wijaya berkata sambil memandang wajah Kinasih.

Kinasih mengangguk dan berlari meninggalkan rumpun bambu tempat Wijaya berdiri, Ki Wijil hanya memperhatikan Kinasih dari jauh, tidak mengerti apa yang dibicarakan.

Ki Wijil mengikuti Kinasih yang berjalan cepat dan sedikit memutar untuk masuk kedalam rumahnya.

Sementara Wijaya mengajak Sudira meninggalkan tempat itu, tidak ada yang diperbincangkan diantara mereka berdua, Sudira sengaja membiarkan Wijaya memgendapkan perasaannya.

Setelah melewati beberapa pategalan dan kemudian sawah yang membentang, barulah Sudira mengajaknya berbicara.

“Kau bilang gadis itu temanmu Wijaya ?”

“Ya, aku memang lancang sudah menganggapnya demikian.”

“Sebenarnya maksudku bukanlah teman dalam arti sebenarnya, karena dia adalah mantan majikanku.”

“Aku menganggapnya demikian, karena usianya tidak terpaut jauh dariku,”Wijaya berkata sambil memandang hamparan sawah dihadapannya.

“Tetapi ia menganggapmu lebih dari itu Wijaya,”sahut Sudira.

“Maksudmu ?”

“Ya ampun Wijaya..,”suara Sudira meninggi.

“Apakah kau tidak bisa menarik kesimpulan dari sikap dan cara bicaranya tadi ?”

“Jujur aku memang mengagguminya, hatinya yang tabah menghadapi persoalan ibundanya, serta kadang bersikap aneh atau tegas seperti prajurit saat menghadapi suatu persoalan.”

“Gadis itu tegas Wijaya, jangan bersikap ragu-ragu menghadapinya atau kau akan menyesal kelak,”Sudira menasehatinya.

“Seperti yang gadis itu bilang, kalian sudah tahu isi hati masing-masing, tetapi mengapa kalian tidak berterus terang mengutarakannya.”

Wijaya terdiam sambil menatap pasar Jatisarana yang sudah nampak didepan mereka.

“Entalah sudira, hal yang paling penting dan mendesak bagiku adalah menyembuhkan penyakit Raden Ayu Prajasena, ibundanya.”

“Dan sungguh tidak pantas, aku adalah pidak pedarakan, anak padesan sepertiku, sungguh deksura jika ingin mendapat priyayi seperti keluarga Raden Prajasena,”ujar Wijaya, sambil menghela napas.

“Benar Wijaya tapi hati tak bisa dipungkiri, seperti pangeran yang mendapat istri dari pidak pedarakan.”

“Walaupun menjadi garwa ampeyan atau selir, tapi mereka tetap membentuk keluarga yang bahagia.’

“Memang tidak seperti garwa padmi, yang selalu dihormati dikalangan bangsawan,”Sudira mengakhiri sesorahnya sambil tersenyum.

“Itulah yang berkembang dimasyarakat, tetapi keyakinanku jelas, bahwa manusia derajatnya disisi Yang Maha Pencipta sama, yang membedakan adalah ketaqwaannya terhadap pemilik jagad raya ini.”

“Ceritamu pun berbanding lurus dengan Kanjeng Sultan ayahanda Pangeran Diponegoro yang memperistri Raden Ayu Mangkarawati dari Pacitan.”

“Dua hal yang berbeda di masyarakat, tetapi keyakinan yang menyatukan mereka.”

Sudira mengangguk-angguk, sambil terus berjalan menuju sebuah kedai di sudut pasar Jatisarana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun