Andaru Wijaya pun bingung menghadapi Kinasih, bagaimana sebaiknya ia menyampaikan maksud kepergiannya ke Deksa ?
Sesungguhnya mereka berdua belum sadar akan kedalaman hati mereka masing-masing dalam hubungan insan remaja.
Hati mereka seperti terikat, walau tak terucap.
Disatu sisi Kinasih adalah seorang gadis terhormat, disisi lain Wijaya merasa hanya anak padesan, yang menggantungkan mimpinya dilangit.
“Putri bukan maksudku membuat putri semakin bersedih, tetapi ini adalah panggilan jiwaku, karena tujuanku ke Deksa untuk bergabung dengan laskar rakyat yang berjuang demi tegaknya paugeran di Mataram.”
“Kau mementingkan dirimu sendiri..!”suara Kinasih meninggi.
“Tidak putri.., aku juga tidak akan bisa melupakan putri...,”lagi-lagi ucapan Wijaya terlontar begitu saja.
Wijaya tampak gugup, setelah kalimat itu terucap.
Ia menyesal mengatakan hal yang kurang pantas pada Putri Kinasih, dalam arti hubungan anak bangsawan dengan anak padesan sepertinya.
“Maaf..maaf putri.., lagi-lagi penyakitku kambuh, tidak seharusnya aku mengatakan demikian,”Wijaya berkata, tetapi wajahnya tidak lagi tertunduk, karena ingin meyakinkan Kinasih.
Kinasih menatap tajam mata Wijaya, seolah-olah menebus sampai dasar hatinya.