“Benar itu kau ucapkan dari hatimu ?”tanya Kinasih meyakinkan ucapan Wijaya.
“Benar Putri.., tetapi sekali lagi hamba mohon maaf, hamba sudah bersifat deksura,”Wijaya masih tampak bimbang.
“Itu bukan deksura, tetapi itu kejujuran dari dasar hatimu, dan aku menghargai itu !”
Wijaya hanya terdiam dihadapan Kinasih.
“Sudahlah..!, kau tahu isi hatiku, begitu juga aku tahu isi hatimu, lalu apa buktinya kau mempedulikan keadaanku ?"Kinasih berkata, masih dengan nada tinggi.
Kinasih memang kadang-kadang dapat berkata tegas, karena didikan ayah kandungnya Tejaperbawa yang keras.
“Baiklah.., aku memang tidak pantas terlalu berharap padamu, atau dengan kata lain kau bukan siapa-siapa buatku,”suara Kinasih menurun.
Kembali Wijaya dibuat kebingungan menghadapi Kinasih, yang kadang bersifat tegas menghadapi suatu keadaan.
Wijaya berpikir keras, lalu menarik napas sambil mengatur kalimat yang akan diucapkan.
“Baiklah dalam satu atau dua bulan kedepan, tentu aku akan berkunjung kesini, jika dalam tugasku nanti aku diberikan bebas tugas, aku akan melanjutkan usahaku untuk kesembuhan ibunda Putri,”ujar Wijaya.
Mata Kinasih yang tadinya sembab kembali berbinar, secercah harapan meletup didalam hatinya, hatinya mengembang.