Berbeda dengan Wijaya yang masih bingung menempatkan hatinya, dan tak bisa mendustai hati kecilnya.
“Tolong sampaikan pula permohonan maafku kepada ibunda putri dan Ki Supa,”Wijaya menambahkan.
Kinasih mengangguk kecil, suasana menjadi hening sejenak, mereka berdua bermain dengan angan-angan mereka.
Andaru Wijaya yang masih bersila dihadapan Kinasih, menundukkan kepala kembali.
Tiba-tiba Sudira menyibak dari balik gerumbul disebelah rumpun bambu itu, suaranya membuyarkan lamunan mereka.
“Wijaya.., ada laki-laki berkepala botak dan membawa cemeti, datang kearah sini !”
“Ki Wijil..!”Wijaya dan Kinasih berkata bersamaan.
Belum sempat Wijaya dan Sudira bergegas pergi dari tempat itu, Ki Wijil sudah berada diantara rumpun bambu itu.
“Anak tengik..!”terdengar suara mengumpat.
“Rupanya kau belum jera juga,”Ki Wijil berkata sambil melangkah mendekat.
“Maaf Ki Wijil, tujuanku kesini hanyalah untuk berpamitan kepada Putri Kinasih, tidak ada maksud lain,”Wijaya berkata dengan nada dalam.