Pendahuluan
Dalam dua minggu terakhir, ramai diperbincangkan mengenai salah satu ceramah pendakwah juga aktris Indonesia, Oki Setiana Dewi, mengenai kisah yang diceritakan dalam dakwahnya. Kisah tersebut berisi tentang suami istri yang bertengkar hingga sang suami memukul wajah istrinya sampai menangis. Namun ketika orang tua istri datang berkunjung dan menanyakan perihal istri menangis, ia menjawab bahwa sedang merindukan mereka berdua. Saat suami mendengar jawaban istri tersebut, ia menjadi terharu karena istrinya tidak mengadukan kekerasan yang telah dilakukannya, karena tidak menceritakan aib yang sudah diperbuatnya.
Oki berpesan bahwa tidak perlu melebih-lebihkan kekerasan yang terjadi, tidak perlu sampai mengumbar aib pasangannya. Namun pada kenyataannya, kekerasan yang sering terjadi banyak yang tidak seindah kisah tersebut, dimana pasangan sebagai pelaku kekerasan menjadi terharu dan luluh karena pasangannya tidak menceritakan kekerasan yang dilakukan sebelumnya.Â
Pelaku tidak semudah itu tersentuh hatinya. Siapapun yang melakukan tindak kekerasan, sadar atau terpaksa, dan dimaklumi oleh korbannya, pelaku tetap bisa mengulanginya kembali dalam kesempatan yang lain.
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1]Â
Â
Istilah KDRT yang tercantum pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), biasanya disebut dengan kekerasan domestik. Kekerasan domestik sebetulnya tidak hanya menjangkau hubungan antara suami dengan istri dalam rumah tangga, namun termasuk juga kekerasan yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam lingkup rumah tangga. Pihak lain tersebut adalah:
Â
Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
Â
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut.
Â
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.[2]
Â
Tidak ada definisi tunggal dan jelas mengenai jenis kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar, meliputi:
Â
Kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian.
Â
Kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak  berdaya.
Â
Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya
(mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.
Â
Kekerasan ekonomi, yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang (perempuan) untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga.[3]
Â
Faktor penyebab terjadinya KDRT sangat kompleks, dan secara garis besar dibagi menjadi empat, yaitu:
Â
Karakter pribadi pelaku KDRT yang bermoral rendah, seperti; pemabuk, penjudi, frustasi, kelainan jiwa, penjudi, dan terlibat narkoba.
Â
Kondisi korban yang memancing terjadinya KDRT, seperti suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri, istri tidak berpengertian kepada suami, istri yang sengaja berperilaku hingga suaminya marah.
Â
Keadaan rumah tangga yang sudah mencapai titik rentan sehingga kondusif untuk terjadinya KDRT, seperti; perselingkuhan, suami istri selalu bertengkar terus-menerus, sudah tidak ada kepercayaan, salah satu pasangan sudah tidak merasa aman.
Â
Faktor luar yang turut mendukung terjadinya KDRT, seperti; kebijakan pemerintah, budaya patriarkal yang didukung oleh struktur sosial masyarakat, kebiasaan masyarakat yang mendorong para istri agar bergantung kepada suami secara ekonomi dan kekeliruan dalam memahami ajaran agama.
Â
Â
Â
KDRT dalam Perspektif Islam
Â
Ajaran Islam secara tegas melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan banyak ayat dalam Al-Qur'an maupun hadits yang memerintahkan para suami untuk memperlakukan istrinya dengan pergaulan yang baik. Sebagaimana firman Allah menyatakan:
Â
Â
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telahkamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisa 4: 19).
Â
Â
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Rum 30: 21).
Â
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah untuk memperlakukan istri dengan baik. Di samping itu juga Rasulullah menekankan masalah kasih sayang dan perlindungan dan bahwa kasih sayang adalah bagian dari perlindungan dan perlindungan adalah bagian dari kasih sayang. Kasih sayang merupakan konsep lebih luas yang dapat meliputi berbagai nilai manusia yang awalnya adalah perlindungan.
Â
Sementara itu fakta menunjukkan bahwa agama Islam bisa ditafsirkan oleh pemeluknya sebagai agama yang penuh makna yang berujung menjadi faktor penyebab terjadinya KDRT. Realitas menunjukkan bahwa ada sejumlah teks dari Al-Qur'an dan hadits yang bisa diasumsikan sebagai dasar legitimasi tindakan KDRT. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain:
Â
Penafsiran Al-Qur'an dan hadits yang dilaksanakan secara parsial atau tidak utuh, sepotong-potong atau separo dari keseluruhan teks.
Â
Kekeliruan dalam menginterpretasikan bunyi teks Al-Qur'an dan hadits secara harfiah dengan mengenyampingkan asbabun nuzul dan asbabul wurud.
Â
Seringkali didasari dan dikuatkan oleh hadits-hadits lemah (dha'if) dan hadits palsu (maudhu') atau hadits isra'iliyat untuk mendukung kepentingan saat itu.[4]
Â
Ketiga kemungkinan di atas menjadikan posisi KDRT semakin kuat dan efektif. Apalagi didukung oleh tradisi dan kultur patriarkal yang hegemonik. Salah satu konsep ajaran Islam yang sering dipakai untuk melegitimasi atau membenarkan tindak KDRT adalah Nusyuz, dimana pernyataan tersebut tercantum dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 34.
Â
Â
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisa 4: 34).
Â
Â
Â
Nusyuz Menurut Hukum Islam
Â
Nusyuz secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata nasyaza yang berarti tanah yang tersembul tinggi ke atas. Sedangkan secara terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian di antaranya:
Â
Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan ketidaksenangan yang terjadi di antara suami-istri.
Â
Fuqaha Malikiyah memberi pengertian nusyuz sebagai permusuhan yang terjadi di antara suami istri.
Â
Ulama Syafi'iyyah, nusyuz adalah perselisihan yang terjadi di antara suami-istri
Â
Ulama Hambaliyah mendefinisikannya dengan ketidaksenangan dari pihak istri maupun suami disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.[5]
Â
Apabila ayat 34 pada surah An-Nisa tersebut dipahami, sebenarnya tidak mendorong untuk melakukan tindak kekerasan. Namun oleh masyarakat Islam yang berfikir linier sangat terbuka kemungkinan ditafsirkan sebagai legitimasi tindakan KDRT. Dapat disimpulkan bahwa diperbolehkan memukul istri jika melakukan nusyuz. Meskipun demikian, ayat di atas harus dipahami secara komprehensif. Bahwa bagi para perempuan yang dikhawatirkan berbuat nusyuz, maka terlebih dahulu nasehatilah mereka, kemudian dipisahkan ranjang mereka dan terakhir boleh dipukul.
Â
Kata  artinya "dan pukullah para wanita itu/ isteri-isteri itu". Kata ini sering dipahami sebagai dalil yang membolehkan suami memukul isteri apabila isteri nusyuz. Tetapi dalam beberapa kitab tafsir banyak yang menjelaskan bahwa makna kata tersebut adalah majas. Sehingga kata di atas diartikan mendidik atau memberi pelajaran.
Â
Meskipun sejumlah ulama mengartikan kata wadhribuhunna dengan memukul, namun mereka tetap menegaskan bahwa memukul itu hanya boleh dilakukan bagi suami dalam keadaan darurat, di mana tingkat kesalahan yang dilakukan isteri sudah melampaui batas. Itupun hanya dilakukan dalam rangka mendidik. Ada beberapa ketentuan yang digariskan ulama dan harus diperhatikan oleh suami, diantaranya sebagai berikut:
Â
Dilarang memukul dengan menggunakan benda tajam yang membahayakan.
Â
Dilarang memukul pada bagian wajah.
Â
Dilarang memukul pada tempat yang membahayakan.
Â
Pukulan tersebut tidak meyakiti.
Â
Walaupun demikian, ulama sepakat bahwa suami yang tidak memukul dan memberi maaf pada isteri, meskipun isterinya salah adalah tindakan yang terbaik.
Â
Â
Undang-Undang Penghapusan KDRT
Â
UU Penghapusan KDRT adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara khusus, sehingga memuat unsur-unsur lex special.[6] Unsur-unsur lex special terdiri dari:
Â
Unsur korektif terhadap pelaku.
Â
UU Penghapusan KDRT mengatur alternatif sanksi dari pada KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan terhadap pelaku. Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan tindak kekerasan.
Â
Unsur preventif terhadap masyarakat.
Â
Keberadaan UU Penghapusan KDRT ditujukan untuk mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga, karena selama ini masalah KDRT dianggap masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di intervensi.
Â
Unsur Protektif terhadap korban.
Â
UU Penghapusan KDRT memuat pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubungan-hubungan domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi (kelompok rentan).
Â
Â
Undang-Undang Perlindungan Korban
Â
Perlindungan kepentingan korban kejahatan, pada dasarnya juga merupakan bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia seperti yang dinyatakan oleh Zvonimir Paul Separovic dalam Barda Nawawi, "The right of the victim are a component part of the concept of human right ".[7] Oleh karena itulah sudah selayaknya kepentingan korban perlu mendapatkan perhatian, dan ketentuan ini tidak membedakan laki-laki dan perempuan, miskin dan kaya dan sebagainya, bahkan seharusnya kepentingan korban dari golongan yang lemah perlu mendapat perhatian lebih. Pada dasarnya korban mempunyai hak yang seharusnya mendapat perhatian dan diberikan kepada mereka terkait dengan apa yang dialami dan diderita oleh mereka, diantaranya adalah:
Â
Korban berhak mendapatkan ganti rugi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan pelaku dalam memberikan ganti rugi sesuai dengan keterlibatan/ peranan korban dalam terjadinya kejahatan.
Â
Berhak menolak ganti rugi/ restitusi demi keuntungan pelaku.
Â
Berhak mendapatkan restitusi/ kompensasi bagi ahli warisnya bila korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
Â
Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
Â
Berhak mendapat kembali hak miliknya.
Â
Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi.
Â
Berhak mendapat bantuan penasehat hukum.
Â
Berhak mempergunakan upaya hukum.
Â
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyatakan perlindungan hak-hak korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 10, korban berhak mendapatkan:
Â
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
Â
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Â
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
Â
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Â
Pelayanan bimbingan rohani.
Â
Â
Upaya Pencegahan KDRT
Â
Mengenai upaya pemerintah dalam pencegahan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 12 UU Penghapusan KDRT, yaitu:
Â
Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Â
Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Â
Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Â
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
Â
Â
Pemulihan Terhadap Korban KDRT
Â
Pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga perlu segera dilakukan mengingat kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbukan penderitaan secara fisik dan psikis. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat mengalami trauma akibat bentuk-bentuk perlakuan yang dialaminya dan akan mempengaruhi kelangsungan hidupnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 39. Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
Â
Tenaga kesehatan.
Â
Pekerja sosial.
Â
Relawan pendamping.
Â
Pembimbing rohani.
Â
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Â
Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis.
Â
Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
Â
Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Â
Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Â
Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawanpendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Â
Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemberdayaan perempuan.[8]
Â
Â
Â
Sanksi Pelaku KDRT
Â
Dalam UU Penghapusan KDRT ini diatur pula mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, sanksi ini berupa pidana penjara, pidana denda, dan pidana tambahan berupa:
Â
Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
Â
Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Â
Akan tetapi dalam UU Penghapusan KDRT ini dirumuskan system sanksi secara alternatif, pelaku KDRT dapat dikenakan pidana penjara atau pidana denda. Dengan demikian dalam pelaksanaannya akan memberikan ketidakadilan bagi korban KDRT itu sendiri, dengan adanya sanksi alternatif, pelaku KDRT dapat memilih untuk membayar denda daripada melaksanakan pidana penjara.
Â
Â
Â
Kesimpulan
Â
Islam adalah agama rahmatan lil'alamin yang menganut prinsip kesetaraan, kerjasama. Agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan keadilan  Oleh karena itu segala perbuatan yang menimbulkan akibat mafsadat yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan kepada perbuatan melawan hukum. Rumah tangga yang diwarnai kekerasan tidak diajarkan dalam Islam. Karena Islam mengajarkan supaya keluarga mampu membentuk tujuan perkawinan yaitu keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Â
Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga secara normatif telah terpenuhi dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tetapi perlu pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan tersebut baik berupa kebijakan maupun tindakan. Undang-undang ini diharapkan memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dan mengembalikan hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga.
Â
Â
Daftar Pustaka
Â
Al-Hanafi, Zainuddin Ibn Najm. al-Bahr al-Raiq. Jilid. 6. Pakistan: Karachi. t.th.
Â
Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Â
Aziz, Abdul. 2017. ISLAM DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Bogor: Jurnal KORDINAT Vol. XVI No. 1.
Â
Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Belajar dari Kehidupan Rasulullah). Jakarta: Lembaga Kajian Agama & Jender.
Â
Islamiyati. 2007. Kekerasan Suami Kepada Isteri Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam. Semarang: Jurnal Humanika.
Â
Luhulima, Achie ed. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja "Convention Wacth" Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia.
Â
Murniati. 2004. Getar Gender. Magelang: Yayasan Tera bekerja sama dengan Yayasan Adikarta IKAPI, The Asia Foundation.
Â
Pasal 5 UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Bentuk-Bentuk KDRT.
Â
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Â
Santoso, Agung Budi. 2019. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial. KOMUNITAS: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 10 No. 1.
Â
Subhan, Zaitunah. 2001. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: LKIS.
Â
Syawqi, Abdul Haq. 2015. HUKUM ISLAM DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Malang: De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 7 No. 1.
Â
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H