Muhammad Hatta memiliki nama lahir Muhammad Attar. Diberi nama Muhammad attar karena merujuk pada nama Nabi atau Rasul Terakhir pada agama islam yaitu Muhammad dan attar berasal dari bahasa arab yang artinya harum. Muhammad attar merupakan anak kedua dri pasangan siti salehadan Muhammad Jamil. Kakak dari bung hatta bernama Rafi’ah yang lahir pada tahun 1900. Waktu kecil setalah bung hatta mulai dapat berbicara ia tidak dapat menyebut namanya “attar” sehingga “attar” berganti menjadi “hatta”. Saat bung hatta berusia 7 bulan ada bendera kuning berkibar didepan rumahnya ramai orang berbaju hitam berdatangan suasana pun sangat berbeda dari biasanya isak tangis kesedihan terpancar dari wajah para keluarga. hari itu ayahnya yang bernama Muhammad Jamil meninggal dunia.
Beberapa tahun kemudian ibunya yang bernama siti saleha menikah lagi dengan seorang pria yang bernama Agus Haji Ning, Seorang pedagang asal Palembang. Pernikahan Siti Saleha dengan Mas Agus Haji Ning dikaruniani 4 orang anak perempuan. Meskipun berstatus anak tiri, Hatta dan Rafi’ah juga tetap mendapat kasih sayang yang sama seperti ayah kandung Mas Agus Haji Ning lainya. Sehingga Hatta kecil pun sempat mengira bahwa Mas Agus Ninglah ayah kandungnya.
Hari berganti hari, Bulan berganti Bulan dan Tahun berganti Tahun, sudah berapa kali purnama yang sudah terlewati seiring berjalanya waktu tak terasa bung hatta sudah beranjak besar, selama bersekolah selain menyerap segala ilmu pengetahuan di pendidikan formal bung hatta juga memelajari ilmu - ilmu agama, berhubung keluarganya merupakan keluarga yang taat beragama. Syekh Arsyad, paman bung hatta dari pihak ayahnya, mengingingkan bung hatta untuk dapat menjadi ulama dikemudia hari. Namun pihak ibunya tidak setuju, mereka ingin bung hatta belajar disekolah umum. Kakek dari pihak ibu dan kakek dari pihak ayah akhirnya mencapai kesepakatan. Rencananya, bung hatta akan dimasukan ke sekolah rakyat lebih dahulu, setelah tamat sekolah ia akan dibawa ke mekkah untuk belajar agama dan meneruskan ke Kairo.
Paman Arsyad selalu mengenakan sorban dan pakaian jubbah, ia memang tampak sangat alim. Paman Arsyad juga seorang guru agama disekolahnya maupun dirumahnya selain itu kesibukan paman Arsyad juga adalah menyambut dan menerima tamu yang rata rata datang dari pelosok negeri nan jauh disana yang memang sengaja datang jauh jauh untuk belajar dan meminta petunjuk tentang agama Islam dan permasalahan permasalahanya. Bung Hatta sangat mengagumi kepribadian dari Paman Arsyad, ia terpesona melihat koleksi buku paman Arsyad yang sangat banyak diatas tumpukan lemari berjejer sangat rapih bagaikan semut yang sedang berbaris, semua buku itu ditulis dengan bahasa arab Bung Hatta pun akhirnya berkeinginan untuk menjadi ulama karena termotivasi dari paman Arsyad.
Ketika berusia lima tahun, Bung Hatta direncanakan masuk ke Sekolah Rakyat. Namun ternyata usianya dianggap belum memenuhi syarat. Saat itu, minimal usia 6 tahun yang dapat bersekolah di Sekolah Rakyat. Bung Hatta tidak dapat menyentuh telinga kirinya menggunakan tangan kanan melingkar di atas kepalanya, dari situ dapat diketahui bahwa usia Bung Hatta masih di bawah 6 tahun. Akhirnya Pak Ilyas, kakek Hatta dari pihak ibu, memasukkan Bung Hatta ke Sekolah Swasta milik kenalannya, bekas anggota tentara Belanda, namanya Mr. Lederboer. Sekolah Swasta yang dimaksud adalah sekolah yang dikelola per-orangan. Di sana, Bung Hatta belajar bahasa Belanda. Sore harinya, ia belajar menulis dan membaca dari pamannya yang merupakan adik ibunya, Paman Saleh. Selepas maghrib, Bung Hatta pergi mengaji ke Surau Inyik Jambek. Teman mengaji Bung Hatta rata-rata tidak bersekolah di pagi harinya. Mereka kebanyakan membantu orang tuanya di sawah atau menggembala kerbau. Di Surau, anak-anak diajari mengaji dengan berlagu. Bung Hatta cepat belajar mengenal huruf Arab, cepat pula pandai membaca Juz Amma, tetapi dalam berlagu ia tidak pandai.
Hanya enam bulan Bung Hatta belajar di sekolah swasta. Engku Guru Thalib mengabari Pak Ilyas bahwa di kelas satu Sekolah Rakyat banyak kursi yang tersedia disana. Karena usia Bung Hatta sudah genap enam tahun, Bung Hatta pun segera masuk kelas satu Sekolah Rakyat. Bung Hatta menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Paripat, Bukittinggi. Di kelas, Bung Hatta terbelakang dalam pelajaran berhitung. Kakaknya Rafi’ah, dengan tekun membantu Bung Hatta belajar berhitung. Karena Bung Hatta sudah mampu membaca dan menulis dengan lancar. Setelah empat bulan sekolah ia dinaikkan ke kelas dua sehingga dapat satu kelas dengan kakaknya, Rafi’ah. Sore harinya, ia masih melanjutkan belajar Bahasa Belanda. Kali ini ia diajar oleh seorang guru berkebangsaan Belanda bernama Mr.Jansen.
Dua tahun bersekolah di Sekolah Rakyat, Bung Hatta dipindahkan ke Sekolah Belanda, ELS (Europese Lagere School). Awalnya ia menolak karena sudah merasa cocok dengan teman-temannya di Sekolah Rakyat. Atas bujukan Mr.Jansen dan Paman Saleh, akhirnya Bung Hatta mau juga pindah ke ELS. Tidak banyak anak Indonesia yang belajar di ELS. Di ELS, hanya anak pegawai pemerintah dan orang kaya saja yang diterima. Di ELS, Bung Hatta diterima di kelas dua. Pagi hari Hatta belajar di ELS, sorenya belajar bahasa Belanda, sesudah maghrib belajar mengaji di Surau. Bung Hatta dapat mengatur waktu dengan baik karena dukungan keluarganya. Ketika Pak Ilyas akan menunaikan ibadah haji ke Mekah, ia bermaksud membawa Bung Hatta. Namun ternyata Paman Idris (pamannya dari pihak ibu) dan Ibu Bung Hatta tidak setuju, dengan alasan Bung Hatta masih terlalu kecil dan Bung Hatta pun belum menamatkan Al-Qur’an. Bung Hatta menamatkan pendidikan di ELS pada tahun 1916 di Kota Padang. Kemudian Bung Hatta ingin melanjutkan pendidikan ke HBS (Hogere Burger School), namun Hogere Burger School tidak ada di Sumatera Barat, melainkan adanya di Jakarta. Ibunya tidak mengizinkan ia pergi ke Jakarta karena masih belum bisa jauh dari anak anaknya jadi ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO, di Kota Padang.
Mulanya Bung Hatta tidak mau masuk MULO. Ia betul-betul ingin melanjutkan sekolah di Hogere Burger School di Jakarta. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk memilih bekerja saja ketimbang sekolah. Tapi pamannya membujuk agar Hatta menuruti ibunya untuk melanjutkan sekolah ke MULO, ia pun menurut. Maksud ibunya melarang bukan tanpa alasan, ibunya takut jika Bung Hatta ke Jakarta, Bung Hatta akan terpengaruh dengan pergaulan kota besar dan lupa dengan agamanya. Di MULO, Hatta mendapat pelajaran sejarah, yang mampu menumbuhkan pemahamannya terhadap nilai-nilai kebangsaan. Ditambah lagi, pada tahun 1918 datang Nazir Datuk Pamontjak dari Jakarta ke Padang. Ia merupakan salah seorang dari beberapa orang Indonesia yang telah lulus Hogere Burger School di Jakarta. Dengan bantuan Marah Sutan (sekretaris persatuan sosial di Padang yang bernama “Sarekat Usaha”), Nazir Datuk Pamontjak dapat menyelenggarakan rapat dengan para pelajar sekolah-sekolah menengah di Padang dan Bukittinggi. Hatta hadir pada rapat tersebut. Pada rapat itu, Nazir Datuk Pamontjak menyadarkan pelajar Sumatera pentingnya wadah pemersatu bagi pemuda Sumatera Barat.
Setelah lima tahun tidak lagi belajar agama, Bung Hatta dan kawan-kawan mulai lagi belajar agama pada Haji Abdullah Ahmad. Haji Abdullah Ahmad merupakan guru agama di sekolah yang didirikan oleh Sarekat Usaha. Dari situlah Bung Hatta mengenal Sarekat Usaha dan mengenal Engku Thaher Marah Sutan (sekretaris Sarekat Usaha). Melalui Thaher Marah Sutan, Bung Hatta mulai mengenal surat kabar “Utusan Hindia” yang dipimpin oleh Abdul Muis. Sejak itulah Bung Hatta mulai mengenal dan tertarik pada dunia politik. Ia mulai sering menghadiri pertemuan-pertemuan para tokoh dan pemuka Sarekat Usaha yang seringkali membicarakan kehidupan politik. Pandangan sosial Bung Hatta semakin luas lagi dengan datangnya Abdul Muis (tokoh Sjarikat Islam) ke Padang. Abdul Muis menyampaikan beberapa pidato di beberapa kesempatan mengenai “rodi”. Menurut Bung Hatta, Haji Abdul Muis merupakan seorang ahli pidato yang hebat. Haji Abdul Muis mampu menyadarkan Bung Hatta bahwa rodi merupakan suatu sistem yang buruk, yang pada awalnya Bung Hatta mengira rodi merupakan bagian dari lembaga adat semata.
Bung Hatta sangat bangga sekali mendapat kepercayaan itu. Ia berjanji akan menjalankan tugasnya dengan baik. Bung Hatta sudah berpengalaman menjadi bendahara di perkumpulan sepak bola Swallow. Tetapi kali ini tugansya mungkin lebih berat. Perkumpulan ini didirikan untuk memajukan bangsa, maka Bung Hatta harus ikut serta di dalam setiap perjuanganya. Bung Hatta mendapat tugas memperkuat keuangan perkumpulan. Bung Hatta harus mengumpulkan dana bagi perkumpulanya. Dana itu diperileh dari sumbangan, iuaran anggora, dan bantuan masyarakat.
Belum lama Bung Hatta menjadi pengurus Jong Sumatranen Bond, tugas berat sudah menanti. Pengurus besar di Betawi sudah memberitahukan bahwa kongres I JSB akan diselenggarakan di Sumatera Barat. Untuk itu diperlukan dana yang tidak sedikit dan menjadi tugas serta tanggung jawab Bung Hatta untuk menyediakan dana bagi penyelenggaraan kongres tersebut.