Keduanya tak ada yang menjawab. Segera saja Matias memperkenalkan dirinya dengan sopan.
"Perkenalkan, yang mulia pangeran. Saya Matias Vander Lawrence. Putra pertama dari count Antonio Lawrence."
"Ah, jadi Anda yang bekerja di perkebunan anggur milik pemerintah?"
"Benar yang mulia."
Pangeran Edmund mengangguk-angguk dan melanjutkan kalimatnya. "Apakah kalian berteman?"
"Ah, itu tentu yang mulia pangeran. Saya dan Matias adalah adik dan kakak kelas saat di perguruan ketiga."
"Jadi begitu ya. Dan.... apakah kalian sepakat mengenakan busana dengan warna senada?"
"Oh? Apa?" Nivea membulatkan kedua matanya. Lalu melihat kepada gaunnya sendiri dan Matias di hadapannya. "Ah. Hahaha. Kami tidak sengaja yang mulia. Bahkan Saya baru menyadarinya karena yang mulia mengatakan hal itu. Benar kan, Matias?" Nivea melirik kepada Matias agar dirinya ikut menjawab.
"Ah, itu benar yang mulia. Kami sama sekali tidak berniat mengenakan busana dengan warna yang sama."
Pangeran Edmund bekerja keras menyembunyikan ketidaksukaannya melihat hal itu. Lagi-lagi hatinya terbakar. Namun kali ini yang membakarnya adalah api cemburu.
Terlihat seorang lelaki menghampiri pangeran Edmund, lelaki itu membisikkan sesuatu di telinga pangeran Edmund.