Terlihat sepasang demi sepasang maju ke arena dansa di depan sana. Begitupun Matias dan Nivea yang tak mau ketinggalan dalam momen ini. Putri Nicole yang memandang tak suka, memilih duduk berdiam diri di dekat pintu ruang tengah. Seraya bersedekap dada, dia mengamati sepasang demi sepasang para pasangan yang sedang berdansa ceria disana.
Sedangkan pangeran Edmund, dirinya telah lenyap sejak kedatangan seorang lelaki yang membisikkan sesuatu di telinganya.
Tiga jam telah terlewati, kini area istana telah kembali pada keheningan. Dalam senyap sepinya malam, sayup terdengar tangisan seorang tuan putri. Namun, hanya dirinya sendiri yang mendengar tangisan pilunya.
Putri Nicole terlungkup di atas ranjangnya. Gadis itu menutupi kepalanya dengan bantal. Di dalam sana, dia menelan sendiri rasa sakit dan cemburu yang memenuhi rongga dadanya. Ternyata, jatuh cinta tak seindah yang dikatakan oleh banyak orang.
Ingin rasanya dia menyudahi perasaannya kepada Matias saat ini juga. Mengakhiri rasa sakitnya. Tapi dirinya tak kuasa, melenyapkan perasaan itu secepatnya hanya dalam sekejap.
Putri Nicole mulai bergerak bangkit dari posisinya. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran dipan ranjangnya yang mewah. Dengan kedua tangan mengusap sisa air mata di kedua belah pipinya.
Dia menghela nafas kemudian perlahan bergerak menuruni ranjangnya. Langkah itupun membawa dirinya keluar dari kamar. Telinganya menangkap sayup suara sang ayah di ruang kerjanya. Putri Nicole yang belum mengganti gaun pestanya dengan gaun tidur, melangkah kian mendekat kepada sumber suara disana.
"Harusnya kau bisa menahan dirimu sebentar, Edmund! Kau pergi di sela-sela acara perjamuan dan tak kembali hingga acara itu berakhir."
"Harus berapa kali aku mengatakannya, Ayah? Ada sesuatu yang harus ku urus diluar sana."
"Apa sesuatu yang kau maksud itu, Edmund? Apa yang lebih penting dari acara perjamuan tadi?"
"Aku... tak bisa mengatakannya."