Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

The Duke's Daughter (Bagian 16 - 20)

31 Desember 2023   06:13 Diperbarui: 31 Desember 2023   06:13 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

16. Kedatangan Pangeran Edmund 

Dengan suasana hati yang baik, kini Nivea telah berada dalam perjalanan menuju ke kediamannya. Sebelumnya dia telah mengeringkan tubuhnya dan mengganti gaunnya yang basah dengan gaun yang selalu disimpannya dalam lemari pakaian di lantai dua toko rotinya.

Tampaknya Nivea sudah beberapa kali tersenyum sendiri dan Seri menyadarinya.

"Apakah bermain dengan hujan dapat membuat seseorang jadi sebahagia itu, nona?"

"Hmm. Apa? Apakah aku terlihat sebahagia itu, Seri?"

"Saya rasa... itu cukup terlihat, nona."

"Bagaimana kau bisa melihatnya?"

"Anda sudah beberapa kali tersenyum sendiri sejak tadi. Dan itu... membuat Saya berpikir bahwa Anda sedang bahagia."

"Hahaha. Tidak seperti itu Seri. Kau cukup berlebihan menilaiku."

"Lalu, jika Anda tersenyum bukan karena hujan. Lantas.. apa jangan-jangan di dalam hati Anda, Anda sedang menertawakan Saya, nona? Karena ada yang aneh dengan penampilan Saya?"

"Kenapa kau berprasangka buruk padaku, Seri?"

"Baiklah. Saya salah menduga kalau begitu."

"Aku hanya merasa.. Ternyata.. air hujan itu cukup dapat membuatku.. merasa tenang."

"Benarkah? Sudah sangat lama sejak terakhir kali Saya kehujanan di jalan. Kalau begitu, lain kali saat hujan datang, Saya akan mencoba bermain-main di bawah hujan."

"Tentu Seri! Kau bisa mencobanya."

"Tapi, apakah Anda yakin bahwa tidak ada alasan lain selain karena hujan?"

"Hmm. Maksudmu?"

"Anda dapat merasa tenang bukan hanya karena hujan. Tapi karena hari ini tuan...."

"Cukup Seri! Aku mohon, jangan bicara lagi."

Di sisa perjalanan itu, yang ada adalah keheningan antara dua orang gadis yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan sesekali Seri hanya melirik kepada Nivea. Yang terdengar hanyalah suara dari roda kereta kuda mereka, yang berputar bergesekan dengan jalan yang basah.

Sampai akhirnya ketika mereka tiba di kediaman keluarga Del Castano, keduanya terkejut mendapati dua buah kereta kuda milik keluarga kerajaan berada di halaman sana.

"Siapa yang datang, tuan?" Nivea menghentikan langkahnya sesaat dan bertanya pada seorang penjaga di depan pintu kediamannya.

Dengan sedikit membungkuk, lelaki yang ditanyai itu menjawab, "Yang mulia pangeran Edmund, nona."

Nivea membelalak, begitu juga Seri di balik tubuhnya tak kalah terkejut.

"Aku tak suka dia berada di rumahku, Seri."

"Sstt.. Anda bicara apa, nona? Orang lain bisa mendengar ucapan Anda."

"Aku tidak peduli, Seri! Lebih baik kepalaku dipenggal daripada harus berhubungan dengan orang itu."

Seri menunduk ketakutan mendengar kalimat itu. Gadis itu benar-benar khawatir akan keselamatan nonanya, jika ada seseorang yang mendengar lantas mengadukan ucapan nonanya kepada pihak kerajaan.

"Ah, kau sudah tiba, Nak."

"Tentu Ayah."

"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia pangeran." lanjutnya mengarah kepada pangeran Edmund.

"Selamat malam nona Nivea."

"Selamat malam pangeran." seraya duduk di sofa yang menghadap kepada duke Eduardo dan pangeran. Sementara Seri telah berjalan lurus menuju ke sisi paling dalam kediaman itu.

"Saya datang kemari untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan keluarga Del Castano."

"Ah, jadi begitu."

"Apakah hujan membuat Anda terlambat sampai di rumah?"

"Tentu. Aku harus menunggu hingga hujannya benar-benar mereda. Aku tidak akan membiarkan tuan Willy mengendarai keretanya dengan sulit."

"Ah, baiklah Nivea. Aku akan ke dalam agar kalian dapat berbincang lebih leluasa." ucap duke Eduardo yang berancang-ancang untuk bangkit dari sofanya."

"Tidak Ayah! Aku lelah. Tetaplah disini berbincang dengan pangeran. Dan aku, akan beristirahat." Nivea bergerak bangkit pada kalimatnya yang terakhir.

Kemudian dirinya membungkuk dengan anggun ke hadapan pangeran Edmund, "Saya mohon diri, pangeran."

Nivea pun beranjak pergi dari tengah-tengah mereka. Menyisakan ayahnya dan pangeran Edmund yang sama-sama tertegun di tempatnya.

"Nivea anakku!"

"Ah, kau Ibu." langkahnya terhenti menanggapi seruan duchess Elvira.

"Bukankah... seharusnya kau berada di depan bersama ayah dan pangeran?"

Nivea menggeleng, "Aku lelah, Ibu."

"Tidak sopan jika kau tidak menemani tamu mu, Nivea."

"Dia juga tamu ayah, Bu.. Lagi pula aku sudah memberi salam padanya."

"Tunggu, apa.. kau mengganti gaunmu, Nak? Apakah aku yang sudah jadi pelupa? Aku rasa... tadi pagi kau pergi ke toko dengan gaun berwarna ungu."

"Hmm. Ibu.. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi, aku harap kau jangan membocorkannya pada ayah."

"Baiklah! Apa itu Nak?" seraya tersenyum teduh dan sebelah tangannya mengusap lembut pipi Nivea.

"Aku harus mengganti gaun ungu ku yang basah karena aku.... bermain hujan."

"Apa? Bagaimana bisa kau bermain hujan?"

"Apa kau tahu putra dari tuan.... maksudku count Antonio?"

"Ah, apa dia yang bekerja di perkebunan anggur milik pemerintah?"

Nivea mengangguk pasti, "Benar Ibu! Dia adalah kakak kelasku di perguruan ketiga. Dia sering berkunjung ke toko rotiku di sela waktu senggangnya. Dan hari ini, dia datang dengan dirinya yang basah karena kehujanan."

"Lalu? Kau meminjamkan sebuah handuk bersih untuknya?"

"Benar sekali, Ibu. Tapi lalu, kami berbincang tentang hujan. Dan aku sangat penasaran bagaimana rasanya bermain di bawah guyuran hujan. Jadi, aku memintanya untuk menemani ku bermain hujan."

"Dan dia bersedia menemani mu bermain?"

"Tentu Ibu. Sekarang aku sudah tahu bagaimana rasanya bermain dengan hujan."

"Jadi menurutmu, seperti apa rasanya?"

"Bahagia." jawabnya singkat. "Ya, aku merasa bahagia." lanjutnya dibarengi dengan anggukan.

"Maafkan aku, Nivea. Bahkan kau baru dapat merasakan rasanya bermain hujan di usiamu yang sudah delapan belas tahun ini. Sejak kau kecil, ayahmu tak pernah mengizinkan ku untuk membiarkanmu berkeliaran di bawah hujan. Aku harus berterima kasih pada pemuda itu. Siapa namanya? Putra count Antonio itu."

"Namanya ......"

"Nivea!"

"Ayah! Kau mengagetkan kami."

"Kau mengatakan akan pergi beristirahat. Kenapa kau masih berada disini?"

"Aku yang memanggilnya tadi."

"Aku bertanya padanya, Elvira!"

"Ibu tidak bermaksud membelaku, Ayah. Ibu memang memanggilku untuk sedikit bertanya."

"Tentang apa? Apa yang kalian bicarakan? Apa aku tidak boleh mengetahuinya?"

"Ah, tentu tidak Ayah. Itu adalah sebuah rahasia kecil milik perempuan. Seorang lelaki tidak boleh mengetahuinya." Nivea menjawab dengan nada yang ramah.

Dan hal itu sukses membuat duke Eduardo menjadi tidak ingat akan niat awalnya tadi menghampiri Nivea. Padahal beliau berniat memberi nasehat panjang lebar perihal sikap Nivea yang kurang sopan dalam menerima tamu mereka beberapa menit yang lalu. Apalagi tamu tersebut bukanlah tamu sembarangan. Seorang putra dari baginda raja datang bertamu dan dengan sikapnya, Nivea telah cukup menunjukkan bahwa dirinya tidak suka didatangi tamu tersebut.

Namun, kalimat terakhir yang diucapkan Nivea tadi telah membuyarkan konsentrasi sang ayah, sehingga tak ada satupun kata yang terucap darinya ketika Nivea berlalu pergi menuju kamarnya.

Untuk malam ini, tak ada cerita perdebatan kembali antara anak gadis dan ayahnya.

17. Kiriman Makan Siang

"Tuan Carlos sudah dua kali mengeluhkan padaku tentang kejanggalan pada laporan keuangan milik perkebunan, terkait tagihan pajak."

"Apa yang dikatakannya?"

"Beliau secara rutin setiap bulan memberikan sejumlah uang kepada tuan Benedict untuk disetorkan kepada pihak pajak. Jumlah yang diberikannya juga sesuai dengan tagihan pajak yang tertera, sebagai pajak hasil perkebunan. Tapi, tuan Carlos justru menerima surat tagihan berikutnya dengan nilai yang lebih besar, sebagai akumulasi dari beberapa bulan tagihan pajak yang tertunggak."

"Apa itu berarti... selama ini tuan Benedict tidak menyetorkannya ke pihak pajak?"

"Hmm. Ya, begitulah."

"Tapi, bukankah seharusnya tuan Carlos mengecek bukti penerimaan pembayaran dari pihak pajak, setelah tuan Benedict mengatakan telah menyetorkan uangnya?'

"Tentu Rodrigues, bahkan tuan Carlos melihat bukti fisiknya. Secarik kertas itu menyatakan, pihak pajak telah menerima pembayaran pajak hasil perkebunan."

"Itu artinya ada dua tagihan yang datang dari pihak pajak, tagihan yang asli dan yang palsu. Lalu, kertas bukti pembayarannya juga pasti dipalsukan."

"Dan pasti hal itu sudah berlangsung cukup lama Rodrigues, karena tagihan yang dikatakan tertunggak itu nilainya sangat besar."

"Ah.. pasti semua itu ada hubungannya dengan gedung arsip. Artinya hal itu tidak hanya terjadi di perkebunan anggur tempatmu bekerja saja. Pasti ada beberapa perkebunan lain atau bahkan perusahaan yang mengalami hal serupa pada laporan keuangannya."

"Hmm. Itu tepat Rodrigues! Karena salah satu lantai di gedung arsip menyimpan salinan dari setiap bentuk tagihan dari pihak pajak kepada banyak instansi di negeri ini."

"Itu cukup menantang, Matias! Kau berencana menyelidiki?"

"Hahaha. Tidak! Itu bukan bagianku. Mungkin tuan Carlos akan menyewa detektif untuk menyelidiknya. Tapi, bisakah kau merahasiakan hal ini pada semua orang?"

"Tentu Matias! Kau pikir aku ini seorang penyebar rumor."

Keduanya kompak tertawa, duduk bersisian pada sebuah kursi panjang yang terbuat dari balok kayu. Mereka sedang berada di pinggir perkebunan anggur. Hingga seorang gadis datang menghampiri, membuat tawa mereka kian memudar.

"Selamat siang tuan." seraya membungkuk gadis itu membawa sebuah keranjang rotan di tangannya.

"Ya nona. Bukankah Anda.. Pelayan yang mulia tuan putri?"

Gadis itu mengangguk tersenyum, "Anda betul, tuan Matias! Saya Bella dan Saya membawakan makan siang untuk Anda, dari yang mulia tuan putri Nicole."

"Apa? Makan siang?"

"Ini tuan, Saya harap Anda bersedia menerimanya." seraya menyodorkan keranjang rotan yang bagian atasnya tertutup kain berwarna merah.

"Anda yakin yang mulia mengirimnya untuk Saya?"

"Tentu tuan! Beliau sangat berterima kasih, karena tempo hari tuan sudah membantunya memetik anggur."

"Ah, tapi itu memang tugasku, nona. Itu bagian dari pekerjaanku."

"Tapi, tolong Anda bisa menerima ini tuan."

"Baiklah! Aku sangat menghargainya. Terima kasih nona dan.... tolong sampaikan juga rasa terima kasihku pada yang mulia tuan putri."

"Baik tuan, kalau begitu... Saya pergi sekarang."

"Wah, kau sungguh beruntung Matias!" ujar Rodrigues ketika gadis tadi terlihat semakin menjauh.

"Beruntung apanya?" ucapnya seraya meletakkan keranjang makanan itu di tengah-tengah tempat duduk mereka.

"Tuan putri Nicole mengirimkan sebuah makan siang untukmu."

"Aku hanya akan merasa beruntung, jika makan siang itu ku dapat dari..."

"Hahaha. Kau masih berharap pada nona Nivea?"

"Aku sudah mulai mendekatinya terang-terangan."

"Benarkah? Sejak kapan kau melakukannya?"

"Sejak kemarin. Sejak aku mengajaknya bermain dengan hujan."

"Hahaha.. Kau gila, Matias! Semoga kau berhasil dengan semua usahamu!" seraya sebelah tangannya merangkul sahabatnya itu.

***

Sementara itu, yang terjadi di istana.

"Bagaimana Edmund, apa kau sudah menemui titik terang untuk mendekati putri duke Eduardo?"

"Belum juga, Ayah. Semalam gadis itu tampak sangat lelah sepulangnya dari toko roti." Edmund menghela nafas.

"Aku menghabiskan waktu di rumahnya dengan berbincang bersama duke Eduardo." tambahnya.

"Jadi, dia hanya muncul untuk menyapamu sebentar?"

"Ya! Dan itu pasti... dia lakukan karena semata-mata menghormatiku sebagai putramu. Jika saja aku bukan putra dari seorang baginda raja, mungkin dia sama sekali tidak ingin menemuiku."

"Apa sesulit itu? Gadis itu sungguh bersifat keras kepala. Tapi, aku kagum karena prinsipnya."

"Apa maksudmu, Ayah?"

"Ya! Nona Nivea tampaknya bukan gadis bodoh. Dia memiliki prinsip dan pandangan tentang hidupnya yang sangat kuat. Gadis seperti dia memang tidak mudah ditaklukkan. Dia juga tidak mudah digoyahkan. Kau harus berperang dengan prinsipnya jika ingin mendapatkan dirinya."

"Lantas apa yang harus aku lakukan, Ayah?"

"Berpikirlah sendiri! Kau bukan anak kecil lagi. Kau seorang lelaki, Edmund!"

Sang pangeran hanya bisa menghela nafas, kemudian pergi dari ruangan itu, "Baiklah! Aku pergi, Ayah!"

Hatinya terbakar, rasanya begitu panas setelah telinganya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan sang ayah. Seolah-olah dirinya begitu lemah dan tidak becus menjadi seorang lelaki. Pangeran Edmund geram kepada ayahnya.

"Kakak! Ada apa dengan wajahmu?" putri Nicole mencegat langkah pangeran Edmund yang sedikit terburu-buru.

"Aku hanya sedikit kesal dengan ucapan ayah."

"Ucapan ayah? Apa yang dikatakannya padamu, Kak?"

"Aku tak ingin mengulangi kalimat yang sudah membuatku kesal, Nicole!"

"Baiklah! Apa sekarang kau akan keluar?"

"Ya. Aku akan melanjutkan beberapa pekerjaan di kantor pajak."

"Tapi, apa kau mengenal putra dari count Antonio?"

"Apa yang kau maksud itu count Antonio Lawrence?"

"Benar kak! Kau juga mengenal anak laki-lakinya?"

"Entahlah! Aku tidak yakin."

"Pemuda itu bekerja di perkebunan anggur milik pemerintah. Dia bekerja sebagai pemimpin dari para pekerja disana."

"Lalu, ada apa dengannya?"

"Aku rasa, aku menyukai pemuda itu."

"Benarkah? Kau mulai bisa merasakan suka kepada lawan jenis?" seraya menyondongkan tubuhnya dengan mimik wajah menggoda kepada sang adik.

Gadis itupun memundurkan wajahnya, "Kau pikir aku tidak normal, Kakak?"

"Hahaha. Hanya saja, tampaknya.. aku harus semakin berhati-hati menjagamu. Baiklah adikku, aku harus pergi sekarang."

Lelaki yang mengenakan setelan jas hitam itu, berlalu pergi meninggalkan putri Nicole yang masih mematung. Gadis itu tak sempat melanjutkan ceritanya kepada sang kakak.

Putri Nicole pun mulai melangkah anggun menuju halaman belakang istana. Mencari keberadaan pelayan pribadinya yang belum terlihat lagi sejak tadi. Kedua matanya menangkap keberadaan Bella di tengah halaman sana. Pelayan pribadinya itu sedang memberi makan burung-burung liar yang hinggap disana.

"Bella!"

"Ah, yang mulia." Bella yang membungkuk segera berdiri tegap memutar tubuhnya ke arah putri Nicole dan menghampirinya.

"Apa yang kau lakukan, Bella? Sejak kapan kau sampai disini?"

"Saya belum lama sampai, yang mulia."

"Bukankah setelah sampai, kau harus langsung menemuiku?"

"Maafkan Saya, yang mulia. Beberapa menit yang lalu Saya baru turun dari kereta. Karena melihat burung-burung itu, Saya jadi berniat memberinya makan."

"Baiklah! Apa kau memberikan kotak makan siang tadi langsung ke tangan tuan Matias?"

"Tentu, yang mulia. Saya langsung menemuinya dan beliau sendiri yang menerima kiriman dari yang mulia."

"Apa yang dikatakannya? Apa dia tampak terkejut atau... terlihat senang?"

"Beliau hanya meminta Saya menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada yang mulia. Saya melihat raut wajahnya biasa-biasa saja, yang mulia. Beliau tidak tampak terkejut atau senang."

"Ah, jadi begitu ya. Baiklah! Terima kasih sudah melakukan tugasmu Bella."

18. Nona Isabel

Nivea memandang heran pada dirinya sendiri yang tampak mengenakan gaun bergaya sangat kuno. Dirinya itu juga terlihat kian bergerak maju menghampirinya.

Nivea mengernyitkan dahi memperhatikan wajahnya sendiri.

"Hai nona! Apa kau sehat?"

"Astaga! Kau berbicara padaku?" Nivea mundur satu langkah.

"Tentu saja, nona yang cantik!"

"Tapi, bagaimana bisa wajahmu....?"

"Aku adalah dirimu di masa lalu. Namaku Isabel, aku datang dari ratusan tahun silam."

"Apa kau bercanda, nona Isabel?"

Gadis dengan rambut kepang itu menggeleng pasti, "Tidak! Aku datang untuk melihat diriku di masa depan."

"Apa maksudmu, nona?"

"Kau tahu, aku tak pernah berhasil untuk dicintai oleh lelaki yang sangat aku cintai. Bahkan dirinya tak pernah mau memikirkan tentang ketulusanku. Dan semua itu... membuatku membunuh diriku sendiri, saat melihatnya menikahi gadis lain."

Nivea menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya pun ikut bereaksi. Membelalak tak percaya.

"Tapi di masa ini, lelaki itu sangat menyukaiku. Ah, tidak! Aku salah. Dia sangat menyukaimu. Jadi sebaiknya, kau jangan mencoba untuk berlari, nona yang cantik! Mulailah menata hatimu untuk menerimanya, tanamkan benih cinta di hatimu untuknya. Karena kemana pun kau berlari, takdirmu akan tetap mempertemukan mu dengannya."

"Bisakah.. Bisakah kau bicara lebih singkat nona?"

"Astaga, nona yang cantik! Baiklah, singkatnya adalah.. Jangan lagi kau menghindar dari lelaki yang telah mengajakmu bermain dengan hujan! Selamat tinggal nona!"

"Eh..??? Nona Isabel. Kau dimana?"

Dalam sekejap semua terlihat putih. Hanya cahaya putih yang tampak disana, dirinya yang datang dari masa lalu itu telah lenyap entah kemana, tak menyisakan apapun. Kecuali tanya di benak Nivea.

Beberapa jam kemudian, gelapnya malam telah berganti pagi. Nivea sudah bangun dari tidurnya. Dia sedang duduk di depan meja riasnya, memandangi setiap sudut raut wajahnya. Dan berbicara di depan cermin.

"Mimpi itu benar-benar membuatku gila. Aku dapat berbicara dengan... kembaranku dari masa lalu. Tidak! Dia bilang dirinya adalah aku. Kami tidak kembar. Kami orang yang sama di masa yang berbeda. Dengan jarak waktu yang... sangat amat jauh. Apa yang dikatakannya semalam padaku? Lelucon macam apa yang dia katakan. Bagaimana bisa dia tahu, ada lelaki yang mengajakku bermain dengan hujan?"

"Air hangatmu sudah siap, nona!" ucap Seri yang tiba-tiba melangkah kian mendekat padanya.

"Hmm. Terima kasih Seri. Tolong siapkan gaun dengan warna biru langit."

"Biru langit?"

"Ya! Aku ingin terlihat cerah hari ini."

"Ah, Saya mengerti nona. Saya akan menyiapkannya untuk Anda."

Aktivitas pagi hari Nivea dan Seri kembali berjalan seperti biasanya. Setelah selesai bersiap-siap, keduanya pun berangkat menuju ke toko roti. Dan Nivea, lagi-lagi dirinya melewati sarapan bersama. Dia hanya meminum teh hangat yang selalu disediakan oleh Seri setiap pagi di atas nakas dalam kamarnya.

"Tuan Willy, apakah teman Anda jadi datang pagi ini?" tanya Nivea kepada sang kusir, setelah menapakkan kakinya turun dari kereta kudanya di depan toko.

Lelaki itupun sedikit membungkuk, menjawab pertanyaan nonanya. "Tentu nona. Tuan Gerry akan datang pagi ini. Saya juga sudah menjelaskan padanya tentang apa yang harus dilakukannya, nona."

"Ah, baiklah kalau begitu. Terima kasih tuan Willy, aku akan menunggu beliau."

Nivea melangkah memasuki tokonya, setelah mengitari jajaran meja pelanggan disana, dia bergegas menuju ke dapur.

"Selamat pagi Clara, David!"

"Selamat pagi nona." jawab keduanya hampir bersamaan.

"Nona, apakah meja ini sudah boleh dipindahkan ke tempat semula?" tanya David yang sedang berdiri sangat dekat dengan meja kayu segi empat, yang merupakan meja kerja bersama milik mereka.

"Ah, benar! Memang cukup sulit bekerja di sebelah sana. Pagi ini kenalan tuan Willy akan datang untuk memperbaiki atap yang bocor. Aku rasa memperbaikinya tidak memakan waktu yang lama. Karena posisi ruangan ini tidak berada di bawah kamarku. Ruang sebelah sini langsung mengarah ke langit."

"Jadi, kita akan memindahkan meja ini setelah kenalan tuan Willy selesai memperbaiki kebocorannya?"

"Tentu David!"

Tak lama, Nivea memulai pekerjaannya. Berinteraksi dengan tepung terigu, telur serta bahan lainnya yang akan digunakannya untuk membuat adonan roti. Begitupun kedua pekerjanya yang mulai terlihat sibuk. Sementara Seri berjaga di meja pemesanan.

Hari ini tampaknya akan cerah. Meski masih terlalu pagi untuk memprediksi cuaca hari ini. Meski begitu setiap orang optimis, cerah akan mewarnai sepanjang hari ini.

Dua jam berlalu, roti-roti hasil karya Nivea telah matang. Dia pun beranjak dari dapur untuk berjaga dengan Seri di meja pemesanan. Setelah dirinya melayani dua orang pelanggan, kenalan tuan Willy akhirnya tiba disana. Lantas Nivea berbincang singkat dengan lelaki itu.

Tanpa berlama-lama lagi, tuan Gerry langsung naik melalui akses yang memungkinkan dirinya untuk dapat memperbaiki kebocoran pada atap dapur toko tempo hari.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, tuan Gerry kembali ke hadapan Nivea.

"Saya telah selesai memperbaikinya, nona. Karena hari ini cerah maka kita belum bisa mengujinya. Jika saatnya nanti hujan dan ternyata masih bocor, Anda dapat menghubungi Saya kembali."

"Ah, itu benar tuan. Baiklah! Semoga saja tidak ada kebocoran lagi. Terima kasih sudah menolong kami, tuan. Dan... ini upah untuk Anda." dengan senyumnya Nivea menyodorkan sebuah amplop kecil berwarna cokelat ke tangan lelaki itu.

"Oh, terima kasih nona."

Setelah tuan Gerry pergi meninggalkan toko rotinya, Nivea melangkah ke dapur, dia akan mengatakan sesuatu pada kedua orang pekerjanya.

"David, Clara! Ayo kita pindahkan meja itu sekarang."

"Baik nona." keduanya langsung menghentikan sejenak kegiatan mereka dan menghampiri letak meja kayu itu berada.

Mereka bertiga kompak bekerjasama mengangkat meja kayu yang cukup berat itu, memindahkannya ke tempat semula. Agar ruang gerak mereka bisa lebih leluasa tanpa harus terbatas oleh dinding seperti di sudut sebelumnya.

"Huh, selesai juga! Bagaimana waktu itu Anda memindahkannya nona? Pasti David membantu Anda?"

Nivea tersentak, "Ya? Oh.. waktu itu.. Tentu David yang membantuku."

David justru mengernyitkan dahinya. Melihat ekspresi wajah David yang seperti itu, Nivea buru-buru membuka mulutnya sebelum David bicara apapun.

"Apa kau lupa David? Hahaha. Ayolah David, kau masih terlalu muda untuk menjadi orang yang pelupa."

"Tapi nona...."

"Ayo kembali bekerja!" ucapnya memotong kalimat David lalu beranjak kembali ke depan sana.

Nivea dan Seri kembali melayani pelanggannya satu persatu. Toko roti itu tampak sudah mulai ramai. Terlihat beberapa orang berbaris, mengantre untuk dapat dilayani. Hingga pada saatnya Nivea harus melayani pelanggan yang berada di urutan paling akhir.

Dan pelanggan itu benar-benar terkesan dengan warna gaun yang dikenakan Nivea hari ini. Karena warnanya membuat Nivea tampak semakin bersinar. Matias yang memandangnya, semakin tak sabar ingin memiliki dirinya.

19. Berbelanja ke Pasar

"Ah, kau rupanya. Sejak tadi kau ikut mengantre ya? Maaf sudah membuatmu menunggu."

"Tidak masalah, Nivea. Aku juga... pelangganmu."

Keduanya sama-sama tertawa.

"Kau memilih gaun yang tepat, Nivea. Itu sangat cerah, seperti hari ini."

"Ah, benarkah? Jadi, kau mau roti selai cokelat?"

"Ya, aku mau satu saja. Tapi, tolong kau bungkus saja karena... aku akan menikmatinya sambil berjalan-jalan."

"Ya? Kau bercanda?"

"Aku serius Nivea. Maukah kau berjalan-jalan denganku hari ini?"

"Hah? Hmm.. Kemana?"

"Aku akan menemani kemana pun kau ingin berjalan-jalan."

"Hahaha.. Kau sungguh bercanda Matias!"

"Tidak! Aku rasa... kau yang lebih tahu, kau ingin pergi kemana. Dan aku, akan bersedia menemani mu."

"Baiklah! Kalau kau tidak bercanda, maukah kau menemaniku pergi ke... pasar?"

"Hah? Kau yang bercanda, Nivea?"

"Tidak.. tidak! Aku ingin memilih sendiri buah-buahan dari kios buah tuan Robert."

"Ah, baiklah! Kalau begitu, apa kita harus berangkat sekarang juga?"

Nivea mengangguk riang, "Tentu! Tunggu sebentar!"

Gadis itu membalikkan badannya lalu menuju ke dalam dapurnya. Dia meminta Seri untuk berjaga di meja pemesanan.

"David! Apa kau sudah mencatat daftar belanjaan yang harus kau beli di pasar?"

"Sudah nona."

"Aku bisa melihatnya?"

David mengangguk dan meninggalkan sementara pekerjaan tangannya, dia melangkah ke sudut ruangan, mengambil sebuah buku catatan kecil dari dalam laci.

"Ini nona. Ada beberapa jenis buah dan bahan lainnya yang persediaannya sudah mau habis." seraya menyerahkan catatan itu ke tangan Nivea.

Gadis itu membaca dengan sedikit mengangguk ringan, "Baiklah! Aku akan pergi ke pasar sekarang."

"Apa?" David dan Clara bertanya kompak seolah tak percaya.

"Ya! Biar aku saja yang membelinya. Kenapa? Apa... ada yang aneh dengan diriku jika pergi ke pasar?"

"Ah, tidak nona. Hanya saja, itu tugas kami."

"Tidak masalah! Kita dapat selalu saling membantu."

Nivea melengos pergi, membiarkan kedua orang pekerjanya itu terheran-heran padanya.

"Seri, tolong kau jaga disini sampai aku kembali. Jangan biarkan antrean panjang mengular."

"Apa Anda ingin keluar, nona?"

"Kau cerdas Seri! Aku akan pergi sebentar dengan... Matias."

"Ah, baiklah nona. Apa Anda dan tuan Matias pergi diantar tuan Willy?"

"Hmm. Benar!"

"Ah, syukurlah kalau begitu."

Seri memandang heran kepada Nivea yang mulai melangkah keluar dari area dalam tokonya. Dengan Matias mengekor di belakangnya. Seri mengenal nonanya sebagai seseorang yang cukup sulit didekati lelaki. Tapi saat ini sepertinya pertahanan diri nonanya itu mulai goyah, meski sempat bersikeras menghindar dan tak ingin bertemu lagi dengan lelaki itu.

Nyatanya kini sudah kedua kalinya Seri melihat Nivea tampak lebih ceria berada di dekat Matias, setelah sebelumnya Seri menyaksikan kedua orang itu basah kuyup bermandikan hujan.

"Kenapa kau sangat ingin pergi ke pasar?" tanya Matias kepada gadis yang berada di hadapannya. Saat ini mereka sudah berada dalam kereta kudanya, dalam perjalanan menuju ke pasar yang berada di sebelah selatan kota itu.

"Itu karena... sudah lama sekali aku tidak pergi kesana. Dulu Ibuku pernah satu kali membawaku ke pasar tanpa sepengetahuan ayah."

"Ah, benarkah?"

"Hmm. Dan sekarang aku sangat menikmati perjalanan ini. Oh ya, apa nanti kau mau membantuku memenuhi daftar belanjaan ini?" seraya menunjukkan catatan kecil milik David.

"Tentu Nivea! Aku akan membantumu membelanjakan semua itu. Bahkan jika kau ingin membeli sesuatu yang lain, aku bisa mengantarmu ke tempatnya."

"Benarkah? Terima kasih Matias, kau... sangat baik padaku."

"Jangan berlebihan Nivea, kau belum banyak mengenalku. Aku baik pada semua orang."

"Ah, jadi begitu ya. Aku harap juga begitu. Kau dapat berbuat baik kepada siapapun yang kau temui, tanpa harus memandang status sosial mereka."

Waktu telah membawa mereka sampai di tujuan. Matias membantu Nivea perlahan turun dari kereta kudanya. Keduanya mulai melangkah beriringan ke dalam area pasar yang terlihat sangat bersih. Namun memang cukup terasa gersang, karena di sekitar pasar tidak terdapat penghijauan.

Mereka memulainya dengan mengunjungi kios buah tuan Robert yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka turun tadi.

"Hai tuan Robert!" seru Nivea kepada lelaki paruh baya yang mengenakan topi koboi itu.

"Ah, lihat siapa yang datang! Benarkah kau nona Nivea? Ini kejutan, nona!"

"Ya tuan! Sudah lama sekali bukan, saat terakhir kali kau mengantar buah-buahmu ke toko rotiku. Dan kita bertemu disana."

"Benar nona. Dan karena kendaraanku rusak, aku tidak bisa datang lagi ke tokomu mengantar buah."

"Aku memakluminya tuan Robert. Aku ingin memilih beberapa buah untukku." seraya kedua matanya menjelajah kepada susunan buah-buahan di hadapannya.

Sementara sejak tadi Matias hanya tersenyum sesekali kepada tuan Robert.

"Tentu nona! Aku akan mengambilkan keranjang untuk Anda."

"Ini nona, silahkan Anda memilihnya dengan tidak terburu-buru." tuan Robert telah kembali dengan sebuah keranjang rotan di tangannya. Dan menyerahkan benda itu ke tangan Nivea sambil sedikit membungkuk sopan.

"Ah, baiklah tuan."

"Silahkan tuan. Anda bisa memilih juga." ucapnya kemudian, ramah kepada Matias.

Matias pun mengangguk, "Baik tuan, terima kasih."

Setelah selesai memasukkan buah-buah pilihannya ke dalam keranjang, Nivea pun membayar jumlahnya kepada tuan Robert. Dan keluar dari kios buah itu dengan menjinjing tas belanja berisi buah-buahnya. Masing-masing dari Nivea dan Matias menjinjing satu buah tas belanjanya di tangan mereka.

"Dimana aku bisa membeli tepung terigu, Matias?"

"Ah, bahan-bahan untuk membuat kudapan ada di bagian tengah sana. Ayo kita kesana!" lelaki itu mulai melangkah dan Nivea menyeimbangkan langkah di sampingnya.

"Kau tahu banyak tentang pasar, Matias."

"Tidak terlalu, hanya saja aku pernah melewatinya saat menemani Rodrigues membeli bunga untuk Ibunya. Untuk sampai di kios yang menjual bunga, kami melewati banyak sekali kios. Ada berbagai macam kios penjual yang kami lewati."

Nivea masih mengikuti langkah Matias, hingga langkah itupun terhenti.

"Nah, kau bisa membeli tepung terigu di dalam sana." seraya mengarahkan pandangan Nivea kepada kios yang berada di sebelah kiri mereka.

Beberapa menit berlalu, Nivea merasa sudah membeli semua barang yang berada dalam daftar belanjaan David. Dan sekarang, saatnya untuk kembali ke toko rotinya.

"Ayo Nivea, kita bisa membeli limun disana." ucap Matias yang pandangannya mengarah kepada kedai penjual limun di seberang jalan sana.

"Limun?"

"Ya! Apa kau tidak haus?"

"Hahaha.. Tentu! Aku cukup haus."

"Aku tahu itu, Nivea. Mana mungkin sejak tadi kau tidak merasa haus. Ayo kita kesana sekarang." keduanya kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

Kini mereka telah duduk berdampingan, di sebuah kedai yang menyediakan tempat untuk para pembelinya dapat duduk beristirahat sejenak untuk menikmati limun mereka, melepas dahaganya setelah berbelanja di pasar.

"Terima kasih Matias. Kau.... sudah mau berteman denganku."

Dengan senyum terbaiknya, lelaki itu mengangguk, "Tentu Nivea! Katakan saja jika sewaktu-waktu kau memerlukan bantuanku."

20. Dua Lelaki Mencurigakan

Matias telah tiba di perkebunan anggur sore itu, dia berniat menemui tuan Carlos di ruang kantornya. Namun dia kembali mundur satu langkah di balik dinding, saat kedua matanya menangkap keberadaan tuan Benedict sedang berbincang dengan seorang lelaki bermata satu. Lelaki itu mengenakan penutup satu mata layaknya seorang bajak laut.

Namun penampilan lelaki itu tak jauh berbeda dengan kebanyakan kaum lelaki di masa itu. Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam. Baru kali ini Matias melihat sosok lelaki itu.

Dengan berkonsentrasi Matias memasang telinganya dengan tajam. Ketidaksopanan yang dilakukannya itu bukan tak berdasar. Dirinya terpaksa menguping karena merasa kedua orang lelaki itu cukup mencurigakan. Pasalnya tuan Benedict adalah orang yang dicurigai oleh tuan Carlos sebagai orang yang menyelewengkan pajak perkebunan.

Dan ternyata dugaan itu tidak salah. Matias dapat mendengar apa yang mereka perbincangkan disana.

"Ini tuan Keith, Saya sudah mendapatkan tagihan bulan ini dari pihak pajak. Kau harus melakukannya seperti biasa."

"Tentu tuan. Saya akan memusnahkan yang ini dan mencetaknya kembali dengan nilai yang lebih besar."

"Bagus! Dan tentu kau akan mendapatkan bagianmu."

Lelaki yang ternyata bernama Keith itu adalah seseorang yang membantu Benedict memanipulasi tagihan dari pihak pajak selama ini. Matias belum tahu pasti siapa lelaki itu. Dia hanya sekedar orang suruhan lepas ataukah seorang pekerja di kantor pajak.

Matias tak punya bukti jika dirinya harus memberitahukan langsung hal itu kepada tuan Carlos. Dia lantas berpikir bagaimana caranya untuk segera mendapatkan bukti. Setelah melihat kedua orang tadi sudah berpencar, Matias melanjutkan langkahnya menuju ruangan tuan Carlos.

"Permisi tuan Carlos."

"Ah, kau Matias! Ada apa?"

"Saya ingin menanyakan tentang sisa upah pekerja yang belum Anda bayarkan."

"Ya! Besok pagi aku akan memberikannya."

Matias mengangguk, "Hmm. Baiklah! Oh ya tuan, Saya ingin menyampaikan sesuatu. Tapi maaf jika... Saya terkesan tidak sopan. Apa tidak sebaiknya Anda langsung mendatangi kantor pajak? Sebaiknya Anda jangan mempercayakan tugas itu kepada... tuan Benedict lagi."

"Hmm. Kau... ada benarnya, Matias. Aku akan mengatur waktu untuk pergi sendiri kesana. Terima kasih atas masukan darimu. Aku sangat menghargainya."

"Baiklah tuan Carlos, kalau begitu Saya permisi."

***

Dua hari berselang sejak Matias menguping pembicaraan antara tuan Benedict dengan lelaki bermata satu yang bernama tuan Keith. Hari ini dia bertemu dengan sahabatnya, Rodrigues.

"Bagaimana hasil penelitianmu tempo hari, Rodrigues? Apa kau berhasil memenuhi syarat kelulusan?"

"Ah, hasilnya sangat baik Matias. Kau telah membuatku sangat mudah melakukan penelitian itu. Aku sangat berterima kasih padamu."

"Hmm. Aku rasa tuan Benedict bekerjasama dengan seseorang untuk melakukan penyelewengan pajak."

"Apa kau melihat titik terang dari masalah itu?"

"Sepertinya begitu Rodrigues, beberapa hari yang lalu aku menguping pembicaraannya dengan seorang lelaki bermata satu."

"Benarkah? Dimana?"

"Di perkebunan. Mungkin saat itu... mereka mengira tidak ada siapapun di sekitar mereka. Aku bersembunyi di balik dinding ruangan tuan Carlos."

"Lalu kau bisa mendengar dengan jelas, apa yang mereka katakan?"

"Hmm. Aku hanya perlu berkonsentrasi untuk menggunakan telingaku. Lelaki bermata satu itu bernama tuan Keith. Dia yang selama ini memalsukan surat tagihan dari pihak pajak. Dan tentunya... dia bekerja atas suruhan tuan Benedict."

Rodrigues menggeleng-geleng, "Mereka melakukan pemalsuan dan juga praktik korupsi. Tapi aku menduga, masih ada pihak lain yang bekerjasama dengan mereka."

"Jika itu benar, bukankah artinya ada orang dalam dari pihak pajak yang terlibat? Ah, aku memang belum tahu pasti siapa tuan Keith sebenarnya. Apakah dia pekerja di kantor pajak atau hanya sebatas orang suruhan."

"Itu sangat menarik Matias! Apa kau sudah mengatakan semua hal yang kau dengar itu kepada tuan Carlos?"

"Tentu saja belum, Rodrigues. Bagaimana mungkin aku menyampaikan semua itu tanpa membawa sebuah bukti."

"Kau tepat Matias! Lalu, apa kau berencana menyelidiki lebih lanjut agar mendapat buktinya?"

"Aku belum berpikir sejauh itu. Hanya saja, aku sudah menyampaikan masukanku pada tuan Carlos agar secepatnya beliau sendiri yang menemui pihak pajak dan sebaiknya jangan mempercayakan hal itu lagi pada tuan Benedict."

"Kau melakukan hal yang benar. Tapi rasanya, kurang seru kalau kita tidak menyelidikinya."

"Hahaha. Kau kira, kau menemukan arena permainan baru! Tapi, aku sempat terpikir dengan sebuah gambar. Bukankah jika menyelidiki masalah itu, setidaknya kita butuh untuk mengambil gambar? Apa kau punya sebuah alat untuk memotret, Rodrigues?"

"Tidak. Tapi kita bisa menyewanya di kios pusat dokumentasi yang ada di wilayah selatan."

Penghujung sore telah tiba, petang yang menyongsong mengiringi perjalanan Matias kembali pulang ke kediamannya.

"Hai Kak, kau tampak sangat lelah."

"Benarkah?"

"Hmm. Apa saja yang kau lakukan hari ini?"

"Tentu aku bekerja seperti biasa.. dan sepulang dari perkebunan aku mampir ke rumah Rodrigues. Kenapa kau ingin tahu, Martha?"

"Ah, tidak. Hanya saja... sepertinya kau sudah lama tidak membahas tentang nona Nivea di depanku."

"Hahaha.. Apa kau ingin mendengar tentangnya? Apa yang ingin kau dengar dariku?"

"Makan malam sudah siap.." terdengar suara bibi Puff yang lantang, berteriak dari ruang tengah.

"Ayo kita makan Kak!"

"Pergilah lebih dulu! Aku akan mengganti pakaian sebentar."

Selang beberapa menit."

"Selamat malam Ayah, Ibu."

"Selamat malam." sahut count Antonio berbarengan dengan wanita yang berada di sisi kirinya.

"Kita mulai makan sekarang." ucap beliau kemudian. Diikuti dengan gerakan semua anggota keluarganya yang mulai menyantap menu makan malam yang telah tersedia di piring mereka masing-masing.

Dalam hitungan menit hanya suara sendok garpu yang beradu dengan piring, yang terdengar di ruang makan keluarga Lawrence yang berukuran cukup luas itu.

"Ah, aku hampir melupakan sesuatu."

"Ada apa suamiku?"

"Ada undangan perjamuan dari yang mulia permaisuri. Beliau mengundang jajaran duke, marquees serta count beserta keluarga."

"Kapan itu Ayah?" tanya Martha penasaran.

"Dua hari lagi. Mereka akan menjamu untuk makan malam di istana."

"Ah.. Jadi begitu, Ayah." timpal Martha disertai anggukan, namun dengan pandangan kedua matanya yang tampak menggodai sang kakak di hadapannya.

Namun tak lama setelah itu, mereka pun telah berpencar ke tempatnya masing-masing.

"Aduh, kakak! Apa yang kau lakukan?!" Martha mengaduh kesal karena Matias menarik kuncir rambutnya dari belakang. Membuatnya menghentikan langkah di hadapan Matias.

"Apa maksudmu dengan memandangku seperti tadi?"

"Ah, itu.. Jika nanti keluarga kita menghadiri jamuan makan malam di istana, tentu saja kau akan bertemu dengan nona Nivea. Bukankah seharusnya kau merasa sangat senang dan beruntung, kakak?"

"Apa aku harus menunjukkan sikap berlebihan di hadapan ayah dan ibu?"

"Hahaha. Tentu tidak kakak!"

"Kalau kau tahu jawabannya, sebaiknya kau jangan bertingkah aneh lagi di hadapan mereka."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun