Aku tersenyum seraya mengangguk. Henry pun melangkah keluar kedai menuju ke kantornya. Sepertinya dia mempercepat langkahnya, mungkin hampir kesiangan atau takut.... takut kalau bertemu Mba Lidya lagi. Hmm.. Kira-kira dia mau mengajakku makan bakso di mana ya siang ini? Setahuku bakso di sekitar sini yang paling dekat hanya ada di ruko seberang. Bisa jadi dia mau mengajakku kesana.
"Eka.." aku memanggilnya lirih seraya kami bergerak saling mendekat.
"Semalem Henry ke rumah aku."
Eka tampak membelalakkan matanya padaku, "Hah? Serius Mel?"
"Iya, aku juga keget. Dia ngga bilang mau dateng. Kemarin siang dia minta alamat lengkap, terus kan aku kasih, tapi aku juga ngga nyangka dia bakalan dateng malem itu juga."
"Haha.. Gila juga tuh orang. Itu sih sudah jelas Mel.. Dia suka sama kamu."
"Masa sih Ka? Dia kan belum lama kenal aku, kenapa bisa suka sama aku?"
"Itu namanya dari mata turun ke hati, Mel. Dia jatuh cinta sama pandangan pertama."
Aku malah terdiam setelah mendengar ucapan Eka, aku teringat akan diriku ketika dulu menyukai Rama. Aku dan dia tidak pernah saling mengenal, bahkan aku hanya mencuri pandang padanya, tapi aku merasa aku menyukainya saat itu. Apa yang dialami oleh Henry saat ini sama dengan yang ku alami kala itu? Tapi aku hanya sebatas suka pada Rama, bukan jatuh cinta. Lalu Henry kepadaku, bisa dikatakan apa? Ah.. Sudahlah..
Pagi menjelang siang, di kedai belum terlihat ada keramaian. Pengunjungnya masih biasa-biasa saja. Kursi-kursi yang kosong tampak imbang jumlahnya dengan kursi yang terisi oleh pelanggan. Di sela-sela waktu menunggu kedatangan pelanggan, aku dan Dion sesekali mengelap toples-toples kaca tempat menyimpan berbagai jenis bubuk kopi hasil gilingan. Kami juga bercakap-cakap membahas hal yang berhubungan dengan kopi.
"Waktu gue kursus, ada tuh peserta juga.. Grind sizenya medium coarse, dia malah nyeduh pake mokapot."