Kami berbincang-bincang sambil berjalan kaki beriringan. Hari ini Henry mengenakan kemeja lengan panjang warna biru dongker beraksen garis-garis kecil warna putih. Rambutnya masih tampak rapi disisir ke belakang, masih sama dengan tampilannya tadi pagi ketika dia mampir sebentar ke kedai kami. Dari kejauhan aku menyipit-nyipitkan mataku, mengamati mobil putih yang terparkir diantara jajaran mobil lainnya. Aku rasa itu mobil Mba Lidya. Dia sudah turun atau masih di dalam mobil ya?
Aku menepis pandanganku dengan menunduk. Akan lebih aman jika aku berpura-pura tidak melihat ke arah mobil putih itu. Aku juga mempercepat langkah agar Henry mengikutiku dengan langkah yang sama cepatnya. Menurutku, Henry tidak melihat atau tidak tahu kalau mobil Mba Lidya berada di sekitar kami. Aku hanya tidak mau Mba Lidya melihatku sedang bersama Henry. Aku malas jika ditanya-tanyai sesuatu tentang Henry. Aku tidak mau terlibat dalam pusaran konflik yang tercipta diantara mereka.
Setelah berhasil menyeberang bersama Henry, aku sudah merasa lebih lega dan aman. Sehingga aku menurunkan tempo langkah kakiku menjadi lebih santai daripada sebelumnya. Tidak ku kira Henry akan mengomentari gerak-gerikku sejak tadi.
"Amel, jalannya cepat juga ya kamu..?"
"Haha.. Iya Mas.. Baru tahu kan?!"
Sesampai kami di kedai bakso, aku langsung memesan dua porsi mangkuk bakso untuk kami. Serta dua gelas es teh manis. Aku dan Henry duduk berdampingan di bangku panjang dari kayu yang tampak masih mengkilap karena dipernis. Kami menjatuhkan badan, hampir berbarengan. Minuman kami diantar lebih dulu ke meja kami, lalu tidak lama kemudian dua porsi bakso lengkap dengan mie kuning dan soun serta irisan sawi hijau juga telah mendarat di atas meja kami.
Sambil melahap santapan siang kami masing-masing, kami menyelinginya dengan berbincang-bincang singkat.
"Nanti sore kamu keluar jam berapa Mel?"
"Jam empat, kadang telat-telat dikit, ngobrol dulu."
"Aku boleh anter kamu pulang ngga? Tapi aku keluar jam lima. Kamu mau nunggu ngga?"
"Kamu bawa helm dua emangnya ?"