"Nanti siang kita makan bareng ya. Kamu mau makan apa, nanti kabarin aku aja."
"Sip. Nanti aku keluar jam dua belas aja deh barengin kamu. Jadi setengah jam lebih lambat, ngga kaya biasanya."
Aku merasa lega tiap kali telah berkomunikasi dengan Henry. Tapi mungkin, suatu hari nanti aku tidak akan mendengar kabarnya lagi setiap hari. Mestinya aku bisa mulai belajar dari sekarang, mempersiapkan diri jika harus kehilangan.
Kehadiran pelanggan membuyarkan pikiranku. Dua orang gadis muda telah berdiri tegap di hadapanku, menyebutkan pesanan mereka dengan gaya bicara yang sangat ramah. Rupanya salah satu dari mereka sudah sering berkunjung kesini. Dia lantas berkomentar baik melihat penampilan baruku.
"Mba, ih.. Rambutnya dipotong. Cantik amat.." seraya gadis muda itu menatapku dengan dalam, memperhatikan dengan teliti bagian wajahku.
"Hehe, makasih.. Sering kesini ya?"
Dia mengangguk padaku, "Iya.. Waktu terakhir aku kesini, Mba masih dikuncir rambutnya, panjang.."
"Ini, dua cokelat hangat." aku menyodorkan dua gelas mug putih berisi cokelat hangat pesanannya. Temannya yang telah membawa bungkusan roti dan telah membayarnya, menghampiri kami dan menyabet satu buah gelas yang barusan ku sodorkan. Dia hanya tersenyum dan mengatakan terima kasih padaku. Mereka membopong gelas mereka masing-masing. Lantas mereka berdua melangkah pergi dari mejaku menuju meja tamu.
Sudah pukul sembilan lewat sepuluh, Faris belum terlihat hadir di kedai. Namun ketika aku sedang bertandang ke meja kasir mendekati Rena, langkah Faris terdengar dari ruang belakang menuju meja barista. Dari tempat Rena, aku mendengar Faris menanyakanku pada Mutia.
"Amel mana Mut?"
"Itu.." Mutia menunjuk aku dari arah belakang.