Mohon tunggu...
Nailu Chirzati
Nailu Chirzati Mohon Tunggu... Security - Mahasiswa

Saya tertarik dengan topik-topik fantasi, sejarah, sains, dan perasaan yang tulus.

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Cinta dan Almamater Hijau Tua

27 Juni 2024   08:00 Diperbarui: 27 Juni 2024   08:06 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tidak pernah melakukan pekerjaan rumah, tidak pernah membeli keperluannya sendiri, dan tidak pernah menginap kecuali untuk rekreasi. Setiap ketidaktahuannya selalu dimaklumi, dan setiap kesalahannya selalu dimaafkan. Sepanjang 21 tahun, seperti itulah hidupnya.

Dia, Kemala Ayudya.

Kini, gadis yang hidup bak putri Solo itu harus menjalani program KKN. Tidak lama, hanya satu bulan. Namun, apakah dia bisa melaluinya, tidak ada yang tahu. Di hari keempat ini saja, gadis itu sudah terkapar sendirian di kamar dengan alas yang tipis. Dia demam.

Ceklek!

"Mala, ayo."

Kemala membuka mata, lalu menoleh dengan lemah ke arah Delia di ambang pintu. "Hm? Udah?"

"Udah. Ayo cepet!"

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Kemala segera duduk. Dia pun merapikan jilbab dengan lambat, mengambil almamater hijau tua di atas koper dan memakainya, lalu berdiri dan keluar.

Di ruang tamu rumah, sudah ada banyak bapak-bapak yang datang. Mereka berbaju muslim dan memakai peci, duduk bersila mengitari ruangan, serta sedikit mengobrol. Tak lama kemudian, istighosah pun dimulai.

Setelah sekitar 30 menit, tibalah sesi makan-makan. Beberapa teman Kemala pun menyiapkan beberapa lembar daun pisang yang sudah dibersihkan dan meletakkannya di tengah, lalu mulai membagi nasi, ikan goreng, sambal, acar, dan kerupuk di setiap daun.

Sambil menikmati hidangan yang sangat sederhana itu, mereka sedikit mengobrol dan bercanda ria. Hingga, tarhim perlahan terdengar, tanda waktu Isya akan segera tiba. Acara segera diakhiri, dan bapak-bapak tamu pun mulai pamit satu per satu.

"Oke. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh," salam Yudha si ketua kelompok, setelah semua temannya berkumpul.

"Waalaikumussalam."

"Sebelumnya, aku mau mengucapkan terima kasih untuk acara malam ini, terutama ke mbak-mbaknya yang udah mau direpotin masak. Acara ini itung-itung untuk memulai silaturahmi, karena kita akan tinggal di Desa Simo ini selama satu bulan ke depan. Setelah ini, silakan istirahat. Tapi, sebelumnya, sie acara ada yang mau disampaikan?"

Kemala seketika mengerjap. "Hah? Oh, iya. Jadi, semua kegiatan kita udah pasti, kecuali PAR dan lomba 17-an. Itu nanti nyusul. Untuk jadwal bakal aku bagi per hari mulai besok."

Setelah evaluasi dan apresiasi, mereka pun bubar. Para laki-laki mulai berdiri dan menuju rumah sewa mereka. Ya, kelompok ini memakai dua rumah; satu rumah untuk 10 perempuan dan satu rumah lagi untuk 12 laki-laki.

"Mboten, Mas. Lintune. Ngeten. ...."

Suara yang pelan di tengah ramainya keadaan menarik perhatian Kemala. Itu cukup jernih untuk suara laki-laki. Logatnya juga tidak seperti logat kota ini, Sidoarjo. Kemala tahu betul itu nada bicara dari daerah mana.

Tak lama kemudian, pandangannya terkunci pada laki-laki kurus yang baru akan melewati pintu. Dia mengobrol dengan Satria, seorang atlet tembak provinsi, hingga mereka benar-benar keluar dari rumah.

"Pasti dari Rembang," desis Kemala.

Tebakan itu terbukti benar. Kemala mendengar sendiri di hari pertama mereka ikut mengajar di salah satu TK di sana. Kepala TK menanyakan asal mereka sebagai topik obrolan, dan laki-laki yang akhirnya Kemala ketahui bernama Sultan itu, berasal dari Lasem, Rembang.

"Mas Sultan!" Kemala berlari kecil hingga sejajar dengan Sultan, laki-laki bercelana jins, bersandal gunung, berambut merah, juga berkacamata fotokromik itu.

"Nggeh?"

"Mas Sultan beneran dari Rembang?"

"Nggeh, Mbak. Lasem. Pripun?"

"Aku juga dari Rembang."

"Oh, nggeh ta?"

"Iya."

"Di Rembang-nya?"

"Nggak, aku di Sarang, di daerah Lodan--- khem-khem," balas gadis itu sebelum memperbaiki tenggorokan yang mulai radang.

"Oh, Lodan. Aku ada mbah di sana. Rumahnya deket waduk."

"Oh, waduk. Aku tau. Aku sering ke sana dulu."

Obrolan itu berlanjut sedikit lebih lama, sebelum mereka dan dua anggota lainnya kembali pulang. Malam itu, Kemala bisa berbaring di ruang tamu dengan lebih nyaman, meski itu hanya beralas karpet. Dia juga tidak memakai bantal, hanya memakai selimut bergambar Barbie.

"Bagi, dong!" seru Delia yang baru datang sambil membawa bantal, sebelum menarik selimut pink itu. "Betewe, kamu yakin nggak pake bantal?"

"Hm? Nggak usah. Dari kemarin juga nggak pake. Hehe."

"Kamu kenapa senyum-senyum?"

"Aku? Nggak. Aku seneng aja udah bisa pake skincare rutin. Nih, setiap malem aku udah double cleansing, pake moisturizer."

Delia menatap aneh. "Ya ... bagus kalo gitu. Ya udah, tidur. Besok jadwal kita masak."

Meski hanya diisi oleh para anggota perempuan, rumah ini tidak memiliki cukup ruangan untuk 10 orang. Satu kamar untuk tujuh orang, dan kamar lainnya untuk barang-barang. Jadi, mereka juga menggunakan ruang tamu untuk tidur.

Esok pun tiba. Kemala bangun pada pukul 4.23 dan segera ke kamar mandi. Setelah salat, dia membangunkan yang lain dan mulai menyapu.

Konon katanya, ada orang-orang yang baru disiplin ketika berada dalam keadaan tertentu. Mungkin Kemala adalah salah satu dari mereka. Jangankan pukul 4.23. Salat Subuh saja selalu terlambat sebelumnya.

Setelah menyapu seluruh rumah, Kemala dan para perempuan mulai sarapan. Bukan makanan berat, melainkan jajanan warung yang dibeli oleh anggota laki-laki yang piket memasak juga hari ini. Mereka membelinya sekaligus berbelanja bahan-bahan masakan.

Setelah sarapan, Kemala membagi teman-temannya untuk kegiatan hari ini dari pagi hingga malam. Akan ada yang mengajar di TK, SD, membantu posyandu, mengajar TPQ, serta les dan taqrar.

Sementara semua berkegiatan, Kemala dan Delia sibuk memasak. Lebih tepatnya, hanya Delia. Kemala hanya bisa memotong-motong meski tidak rapi, mengulek-ulek meski sangat lama, apa pun itu, kecuali berada di hadapan kompor.

Menu hari ini, bakwan jagung, sayur bayam, dan sambal.

Setelah semua selesai, Kemala segera menuju teras rumah. Dia duduk di sana dan menunggu seseorang. Tak lama kemudian, di ujung jalan, terlihatlah Sultan dan para anggota laki-laki.

Baru saja Kemala berdiri, sebuah motor matic datang dan parkir di halaman rumah. Gadis yang menaikinya pun melepas helm, lalu menghampiri Kemala dengan raut sungkan. Setelah sedikit mengobrol, gadis itu pun masuk ke dalam.

Sesaat kemudian, para anggota laki-laki juga sudah tiba di teras. Mereka segera melepas alas kaki dan masuk.

"Mbak Mala," panggil Sultan.

"Eh, iya?" Kemala menunjukkan senyum lebar.

"Itu tadi siapa?"

"Oh, itu Mbak Zirly."

"Kelompok kita? Kok nggak pernah kelihatan?"

"Iya. Sekolah tempat dia ngajar cuma kasih izin setengah hari aja. Bapaknya juga sakit stroke di rumah. Jadi dia cuma bisa dateng sebentar dan pulang pergi," jelas gadis itu.

"Oh, ning yang ngajar Qur'an itu?"

Kemala terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. "Iya, bener."

"Ya udah. Ayo masuk, Mbak."

"Iya."

Dengan hati sedikit sedih, Kemala mengikuti langkah Sultan memasuki rumah. Obrolan yang dia bayangkan skan sukses seperti kemarin tidak tercapai. Dia justru tertampar oleh kenyataan.

Dibandingkan Zirly, Kemala jelas tak ada apa-apanya. Zirly cantik, manis, ramah, tidak terlalu tinggi, dan berilmu. Dia sangat lancar membaca Al-Qur'an, diba, kitab, bahkan sanggup memberi tausyiah dadakan. Belum lagi, dia seorang ning.

Apalah Kemala yang setengah juz amma saja tidak hafal.

Sejak itu, Kemala menjadi lebih pendiam dan sebisa mungkin mengatur jadwalnya agar tidak satu tim dengan Sultan, hingga beberapa hari. Dia sadar, dan berpikir untuk segera mundur sebelum perasaannya menjadi makin jelas.

Selain fokus berkegiatan, Kemala hanya sibuk mengurusi diri sendiri untuk mengisi waktu. Dia memilah-milah pakaian yang bisa dipakai lebih dari satu kali, dan mengatur berapa maksimal pakaian yang bisa dia tumpuk sebelum dicuci. Dia juga lebih sering menata kopernya.

Malam ini, dia akan mencuci pakaian setelah tiga hari menumpuk. Selain itu, beberapa hanger-nya juga akan dipinjam oleh Delia besok siang. Untuk cuci-mencuci, Kemala cukup oke, karena ibunya sudah membawakannya sabun cuci cair. Namun, ya, dia tetap asal ucek dan bilas.

Di tengah mencuci di kamar mandi, Kemala tiba-tiba mendengar suara Sultan dan Satria. Mereka datang untuk makan karena tadi tidak ikut makan bersama. Namun, tidak hanya makan, ternyata mereka juga mengobrol dengan yang lain.

Suasana cukup sepi, karena para perempuan sudah masuk ke dalam kamar. Yang berada di ruang tamu hanya Delia dan Liha.

Sambil tetap mengucek baju, Kemala mulai mendengarkan. Di momen ini, akhirnya dia tahu bagaimana kehidupan Sultan di masa lalu. Laki-laki itu cukup nakal dan selalu membantah orangtua. Dia pernah kabur dari rumah, sebelum akhirnya sadar dan berusaha mencari hidup. Dia pernah mengamen di bus-bus jalur pantura. Dari situ juga, dia akhirnya sampai di Sidoarjo.

Setelah pulang dan meminta maaf kepada orangtuanya, Sultan pun mondok di salah satu pesantren di kota NU ini. Tak butuh waktu lama, kini dia menjadi abdi para habib di pesantrennya. Ini adalah tahun keenamnya. Baru enam tahun. Pantas saja logat Rembang-nya masih sangat kentara.

Topik-topik obrolan mereka cukup acak. Namun, tiba-tiba Kemala bergeming di satu momen, yaitu ketika Sultan secara mengejutkan menunjukkan bahwa dirinya sedang tertarik, kepada Liha.

"Loh, pean main game perang? Tipeku banget iki. Ayo, Mbak Liha!" seloroh Sultan diikuti tawa khas orang bercanda.

"Loh, loh, loh!" sahut Delia dengan heboh.

"Gak bahaya ta?" sambar Satria.

"Loh, aku main game perang dari dulu, sama adikku. Dia malah lebih jago," balas Liha tanpa nada-nada bingung atau salah tingkah.

"Oh, pean punya adik? Nek ngunu aku adike pean wae piye?" Sultan masih bernada canda.

"Adikku loh cowok!"

"Wahahaha!"

Sebenarnya, Kemala ingin lebih lama berada di kamar mandi, malas keluar. Namun, dia sudah selesai mencuci. Entah kenapa pula cuci-cuci kali ini bisa cepat selesai. Kemala pun keluar sambil membawa cuciannya dalam ember. Empat orang itu seketika melihatnya.

"Udah selesai, Mal?" tanya Delia.

"Hm," jawab Kemala sambil tersenyum kecil.

Malam itu, setelah memakai rangkaian skincare dan berbaring dengan selimutnya, Kemala tidak bisa tidur, padahal tadi dia lelah dan mengantuk. Di sampingnya, Delia juga belum tidur. Gadis itu sedang mengedit video hari ini.

"Kenapa, Mal?" tanya Delia. "Sultan?"

"Hah? Ng-nggak."

"Kamu pikir aku nggak tau?"

Kemala seketika menoleh, lalu memperhatikan sekitar; tidak ada siapa pun. Delia juga langsung meletakkan ponselnya, lalu duduk menghadap gadis yang masih harus banyak belajar itu.

"Kok ... tau?" tanya Kemala.

"Feeling. Jadi bener? Cie-cie, Mala."

Kemala menghela napas. "Apa, sih? Orang aku mau move on."

"Lah, kenapa?"

"Kayaknya Mas Sultan udah suka sama orang lain."

"Siapa?"

"Mbak ... Zirly. Kapan itu dia tanya-tanya tentang Mbak Zirly gara-gara baru kelihatan."

Delia melongo. "Ya itu karena dia baru lihat Zirly, karena Zirly baru nongol. Wajar, lah!"

"Hng?" Kemala tertegun. "Mbak Liha? Tadi aku denger dia kayak suka gitu sama Mbak Liha."

"Ya ampun, Mala." Delia menghela napas. "Dia cuma iseng. Dia emang gitu anaknya. Lagian Liha kan udah punya."

"Tapi--"

"Menurutku, ya, Sultan itu emang orangnya suka iseng. Dia godain Liha karena Liha udah punya, dan dia tahu Liha nggak akan baper. Sampe di sini ngerti?"

Kemala berkedip beberapa kali, melirik ke sana-sini, lalu kembali menatap Delia sambil meringis. "Hehe. Gitu, ya?"

"Iya, lah!'"

"Kalo Mbak Ratna?"

"Astaga. Itu juga iseng. Lagian kalo Ratna mah bukan cuma Sultan doang yang godain. Semua cowok kelompok kita juga gitu, 'kan? Biasa, lah, cowok. Itu juga cuma karena Ratna ketua kartar di sini. Ratna mana mau sama cowok kelompok kita. Buluk semua gitu."

Kemala mengangguk-angguk mendengar pendapat Delia. Masuk akal juga, pikirnya. Delia memang pintar. Mungkin karena gadis itu lebih tua tiga tahun darinya.

"Dia juga dari Rembang, loh," ujar Kemala sedikit mengubah topik.

"Ck! Udah tau!"

"Oh, ya?"

"Ya gimana aku nggak tau? Kamu aja kadang tiba-tiba ngomong pake logat yang mirip-mirip sama dia. Kebawa, 'kan?"

"Hehe. Ya, walaupun hampir seumur hidup tinggal di sini dan cuma pulkam pas lebaran, aku kan tetep orang sana."

"Jadi, logat Rembang itu gitu, ya?"

Kemala mengangguk cepat. "Ehm."

"Lucu juga. Ya udah. Tidur sana. Aku mau ngedit."

Sejak malam itu, Kemala kembali mengizinkan dirinya untuk menyukai Sultan, si laki-laki manis yang membuatnya seperti berada di kampung halaman. Dia juga mulai memperhtikan Sultan lagi, meski masih sembunyi-sembunyi.

Hari demi hari berlalu, hingga tak terasa KKN sudah berjalan setengah bulan. Setiap anggota di kelompok ini mulai memperlihatkan sifat-sifat asli mereka, dan mereka menjadi makin akrab. Beberapa anggota yang sakit juga sudah baik-baik saja.

Suatu sore, Kemala dan beberapa anggota yang baru kembali dari rumah ketua kelompok Asman, membeli es krim yang lewat. Di saat bersamaan, Satria datang karena Delia memintanya untuk membeli air galon dan tabung gas.

"Eh, Mas Satria," panggil Kemala.

Satria menoleh. "Ya?"

Pada awalnya, Kemala hanya ingin meminta laporan kegiatan para anggota laki-laki sebelum hari istighosah, karena waktu itu dia belum mulai mencatat. Namun, dia malah dikejutkan dengan fakta-fakta menyenangkan.

Sejak hari istighosah, ternyata Sultan dan Yudha bergantian azan di musala belakang. Sultan juga mulai melatih banjari di masjid setiap Rabu dan Jumat sejak pekan lalu.

Setelah Satria pamit, Kemala tidak bisa lagi menahan senyum. Tidak salah lagi. Baru kali ini dia menyukai lski-laki dengan spek seperti Sultan. Ayah dan ibunya pasti sangat bangga jika Sultan menjadi menantu mereka.

Malamnya, lagi-lagi Sultan datang terlambat untuk makan malam, dan kali ini Kemala juga sengaja menunda makannya. Keinginannya terwujud. Dia dan Sultan mengambil makan bersama di dapur sekarang.

"Makan, Mbak Mala," sapa Sultan basa-basi.

Kemala tersenyum. "Iya."

"Aku ambil banyak nggak papa, ya, Mbak?"

"Oh, nggak papa. Habisin aja. Nggak ada yang makan juga."

"Ya nggak aku habisin. Nanti pean makan apa?"

Kemala seketika meringis. "Oh, iya."

Sultan tersenyum lucu melihat Kemala, lalu beranjak meninggalkan dapur lebih dulu. Setelah itu, Kemala pun mengambil oseng-oseng kerang di wajan, lalu makan cukup jauh dari laki-laki itu.

Tentang kerang, tentu kelompok ini tidak membelinya. Kerang, ikan-ikan sebelah, dan kepiting yang sampai di rumah mereka adalah pemberian Pak Hasbullah, pemilik jasa bekam langganan Sultan dan Satria selama KKN. Dia memiliki kapal besar, tetapi hanya mengambil beberapa jenis ikan.

Sejak itu, Kemala mulai berani berinteraksi sedikit lebih banyak dengan Sultan. Dia selalu berjaga di malam hari karena tahu Sultan akan mengetuk pintu. Dia juga meminjamkan gunting kuku beberapa kali pada laki-laki itu. Sampai akhirnya, tidak hanya Delia, tetapi seluruh anggota tahu tentang perasaannya.

Hari-hari mulai berjalan dengan ledekan. Semua perempuan di sini seolah setuju. Kemala juga tak begitu meladeni. Dia malah malu-malu dan salah tingkah, apalagi ketika dia dan Sultan berada di satu tempat.

"Eh, eh, Mas Sultan! Mau ke mana? Jangan balik dulu, dong. Ini, loh, masih ada Mbak Kemala," celoteh Kiya ketika Sultan sudah berada di ambang pintu.

"Apa, sih, Mbak Kiya? Aku belum mandi, loh."

"Loh? Udah malem belum mandi?"

"Belum. Makanya. Mandiin aku, dong!" Sultan tiba-tiba bersikap bak anak kecil yang manja.

"Loh, loh, loh! Mbak Mala? Siap ta, Mbak Mala?"

"Heh, udah. Udah-udah," sahut Delia. "Maaf, ya, tapi tolong jangan berisik. Aku lagi ngedit, dan Liha lagi bikin laporan."

"Kan," ujar Sultan. "Ya wes--"

"Eh! Salam dulu, Mas Sultan. 'Assalamualaikum, Mbak Kemala.' Ayo cepet!"

"Assalamualaikum, ... Semuanya."

"Cieee."

Kemala akhirnya menghela napas lega ketika Sultan benar-benar pergi. Dia gugup setengah mampus. Andai dia bisa bersikap kocak seperti Sultan, pasti semua akan lebih baik untuknya.

Malam itu, setelah urusannya selesai, Kiya dan Liha masuk ke dalam kamar dan tidur. Tak lama kemudian, suara motor perlahan terdengar lalu berhenti. Delia dan Kemala seketika melihat ke jendela.

"Lah? Satria?" desis Delia.

Sebelum Kiya dan Liha masuk, Kemala memang sempat menelepon Satria atas permintaan Delia. Barangkali laki-laki itu masih berada di luar dan membawa uang, mereka ingin menitip sesuatu. Namun, tadi dia mengatakan tidak membawa cukup uang.

"Mana uangnya? Mau beli apa?" tanya Satria dari luar jendela, karena pintu sudah dikunci.

"Ya ampun," sambar Delia. "Kamu ke sini buat ambil uang terus pergi lagi?"

"Iya, nggak papa, sekalian."

"Beneran?" timpal Kemala.

"Iya. Mau beli apa, sih?"

Malam itu, mereka memberikan sejumlah uang untuk dibelikan sekotak susu stoberi dan sebotol vitamin. Sebenarnya, yang butuh hanya Delia. Dia butuh vitamin karena merasa tidak sehat, sedangkan Kemala ikut-ikut saja.

Di dua pekan terakhir, mereka menjadi makin sibuk. Selain kegiatan harian, mereka juga harus membantu karang taruna melangsungkan lomba-lomba peringatan hari kemerdekaan. Mereka pun sambil mengerjakan PAR; membangun taman di lahan pos terbengkalai dan membuat produk klepon dari daun katuk.

Setelah repot menyelesaikan PAR selama hampir 10 hari, kini mereka hanya memiliki satu kegiatan tersisa, yaitu karnaval. Mereka hanya panitia tambaban, tetapi mendapatkan tugas yang cukup banyak.

Di tengah teriknya matahari, setelah membantu menjuri maskot-maskot, Kemala memilih duduk di stan es kelapa bersama yang lain, menyimak nomor kupon yang dibacakan oleh si MC, Delia.

Di tengah itu, terdengar suara dari depan. Itu adalah Sultan dan Satria yang berada di stan mi ayam bakso. Mereka berdua sedang mengobrol membelakangi para perempuan.

"Ya, ngoten niku lah, Mas," kata Sultan. "Dulu aku udah pernah dijodohin sama kyaiku. Tapi, karena keadaan nggak memungkinkan, dan ada yang lebih siap menikahi si dia, ya udah. Nggak ada yang tau tentang jodoh. Ya, dijodohin emang paling tenang. Tapi, cari sendiri juga nggak masalah."

Satria mengangguk-angguk. "Tapi, apa yang bikin sampean merasa nggak memungkinkan?"

"Bapaknya sakit, dan waktu itu aku baru dapet musibah. Uangku belum cukup. Tapi sebenernya masih bisa kalo cuma akad. Aku dulu gengsian, Mas. Tapi sekarang, kalo sama yang sekarang juga tiba-tiba disuruh cepet insyallah aku siap."

Deg!

"Yang sekarang?" Kemala membeo dengan suara lirih sambil terus menatap Sultan. Kedua matanya lantas berhenti pada tangan kanan laki-laki itu yang kini menepuk punggung Satria. Ada cincin emas putih di jari manisnya.

Jantung Kemala seketika mencelos. Gadis itu membuang muka, kemudian berdiri dan berjalan menjauh. Semua temannya bertanya dia akan ke mana, tetapi dia hanya terus melangkah sampai meninggalkan lapangan.

Sekarang, Kemala baru sadar, kenapa para anggota laki-laki sama sekali tidak ikut mencie-cie dirinya. Mereka tahu Sultan sudah dijodohkan, bahkan sudah bertunangan.

Kemala benar-benar tak menyangka. Dada sesaknya terasa seperti ditekan dalam-dalam. Bahkan, ketika semua anggota merayakan kerja keras mereka sebulan ini dengan bakar-bakar, gadis itu hanya bersandar di ruang tamu.

"Udah, lupain aja kayak biasanya," tutur Delia yang datang membawa sepiring bakaran sosis dan lain-lain. "Mending sama Satria. Jomblo dia. Green flag, kayak my husband."

Bukan menjawab atau mengambil satu tusuk bakaran, Kemala justru berdiri dan menuju kamar mandi. Baru saja dia memutar keran air, tiba-tiba benda itu terlepas. Seketika air menyembur kuat ke arah depan. Beruntung dia bisa menghindar.

"EH!"

Kemala seketika panik. Dia berusaha memasang keran itu lagi, tetapi tidak segera bisa. Benda itu tidak memiliki penggerat. Sepertinya patah. Dia pun keluar kamar mandi kemudian berteriak.

"Teteh! Teh Delia! Mbak Liha! Mbak Kiya!"

Akan tetapi, bukan mereka yang dipanggil, yang datang justru orang lain, laki-laki berbadan tegap dengan kemeja hitam yang lengannya dilipat sebagian. Laki-laki itu, Satria.

"Kenapa?"

"A-anu, kerannya patah!" jawab Kemala sambil menunjukkan keran di tangannya.

Satria mengambil benda itu. "Pean keluar dulu."

Dalam sekejap setelah Satria masuk, kerannya sudah kembali terpasang. Laki-laki itu kemudian keluar, berdiri di hadapan Kemala yang masih tampak panik di sana.

"Itu bukan patah. Emang lepas. Besok beli solasi pipa aja di toko bangunan depan."

"Oh? Iya. Besok. M-makasih, Mas."

"Iya. Udah makan bakarannya?"

"Belum, tapi udah diambilin, kok."

Satria mengangguk-angguk. "Perlu beli susu stroberi lagi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun