Kemala terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. "Iya, bener."
"Ya udah. Ayo masuk, Mbak."
"Iya."
Dengan hati sedikit sedih, Kemala mengikuti langkah Sultan memasuki rumah. Obrolan yang dia bayangkan skan sukses seperti kemarin tidak tercapai. Dia justru tertampar oleh kenyataan.
Dibandingkan Zirly, Kemala jelas tak ada apa-apanya. Zirly cantik, manis, ramah, tidak terlalu tinggi, dan berilmu. Dia sangat lancar membaca Al-Qur'an, diba, kitab, bahkan sanggup memberi tausyiah dadakan. Belum lagi, dia seorang ning.
Apalah Kemala yang setengah juz amma saja tidak hafal.
Sejak itu, Kemala menjadi lebih pendiam dan sebisa mungkin mengatur jadwalnya agar tidak satu tim dengan Sultan, hingga beberapa hari. Dia sadar, dan berpikir untuk segera mundur sebelum perasaannya menjadi makin jelas.
Selain fokus berkegiatan, Kemala hanya sibuk mengurusi diri sendiri untuk mengisi waktu. Dia memilah-milah pakaian yang bisa dipakai lebih dari satu kali, dan mengatur berapa maksimal pakaian yang bisa dia tumpuk sebelum dicuci. Dia juga lebih sering menata kopernya.
Malam ini, dia akan mencuci pakaian setelah tiga hari menumpuk. Selain itu, beberapa hanger-nya juga akan dipinjam oleh Delia besok siang. Untuk cuci-mencuci, Kemala cukup oke, karena ibunya sudah membawakannya sabun cuci cair. Namun, ya, dia tetap asal ucek dan bilas.
Di tengah mencuci di kamar mandi, Kemala tiba-tiba mendengar suara Sultan dan Satria. Mereka datang untuk makan karena tadi tidak ikut makan bersama. Namun, tidak hanya makan, ternyata mereka juga mengobrol dengan yang lain.
Suasana cukup sepi, karena para perempuan sudah masuk ke dalam kamar. Yang berada di ruang tamu hanya Delia dan Liha.