"Bapaknya sakit, dan waktu itu aku baru dapet musibah. Uangku belum cukup. Tapi sebenernya masih bisa kalo cuma akad. Aku dulu gengsian, Mas. Tapi sekarang, kalo sama yang sekarang juga tiba-tiba disuruh cepet insyallah aku siap."
Deg!
"Yang sekarang?" Kemala membeo dengan suara lirih sambil terus menatap Sultan. Kedua matanya lantas berhenti pada tangan kanan laki-laki itu yang kini menepuk punggung Satria. Ada cincin emas putih di jari manisnya.
Jantung Kemala seketika mencelos. Gadis itu membuang muka, kemudian berdiri dan berjalan menjauh. Semua temannya bertanya dia akan ke mana, tetapi dia hanya terus melangkah sampai meninggalkan lapangan.
Sekarang, Kemala baru sadar, kenapa para anggota laki-laki sama sekali tidak ikut mencie-cie dirinya. Mereka tahu Sultan sudah dijodohkan, bahkan sudah bertunangan.
Kemala benar-benar tak menyangka. Dada sesaknya terasa seperti ditekan dalam-dalam. Bahkan, ketika semua anggota merayakan kerja keras mereka sebulan ini dengan bakar-bakar, gadis itu hanya bersandar di ruang tamu.
"Udah, lupain aja kayak biasanya," tutur Delia yang datang membawa sepiring bakaran sosis dan lain-lain. "Mending sama Satria. Jomblo dia. Green flag, kayak my husband."
Bukan menjawab atau mengambil satu tusuk bakaran, Kemala justru berdiri dan menuju kamar mandi. Baru saja dia memutar keran air, tiba-tiba benda itu terlepas. Seketika air menyembur kuat ke arah depan. Beruntung dia bisa menghindar.
"EH!"
Kemala seketika panik. Dia berusaha memasang keran itu lagi, tetapi tidak segera bisa. Benda itu tidak memiliki penggerat. Sepertinya patah. Dia pun keluar kamar mandi kemudian berteriak.
"Teteh! Teh Delia! Mbak Liha! Mbak Kiya!"