Sambil tetap mengucek baju, Kemala mulai mendengarkan. Di momen ini, akhirnya dia tahu bagaimana kehidupan Sultan di masa lalu. Laki-laki itu cukup nakal dan selalu membantah orangtua. Dia pernah kabur dari rumah, sebelum akhirnya sadar dan berusaha mencari hidup. Dia pernah mengamen di bus-bus jalur pantura. Dari situ juga, dia akhirnya sampai di Sidoarjo.
Setelah pulang dan meminta maaf kepada orangtuanya, Sultan pun mondok di salah satu pesantren di kota NU ini. Tak butuh waktu lama, kini dia menjadi abdi para habib di pesantrennya. Ini adalah tahun keenamnya. Baru enam tahun. Pantas saja logat Rembang-nya masih sangat kentara.
Topik-topik obrolan mereka cukup acak. Namun, tiba-tiba Kemala bergeming di satu momen, yaitu ketika Sultan secara mengejutkan menunjukkan bahwa dirinya sedang tertarik, kepada Liha.
"Loh, pean main game perang? Tipeku banget iki. Ayo, Mbak Liha!" seloroh Sultan diikuti tawa khas orang bercanda.
"Loh, loh, loh!" sahut Delia dengan heboh.
"Gak bahaya ta?" sambar Satria.
"Loh, aku main game perang dari dulu, sama adikku. Dia malah lebih jago," balas Liha tanpa nada-nada bingung atau salah tingkah.
"Oh, pean punya adik? Nek ngunu aku adike pean wae piye?" Sultan masih bernada canda.
"Adikku loh cowok!"
"Wahahaha!"
Sebenarnya, Kemala ingin lebih lama berada di kamar mandi, malas keluar. Namun, dia sudah selesai mencuci. Entah kenapa pula cuci-cuci kali ini bisa cepat selesai. Kemala pun keluar sambil membawa cuciannya dalam ember. Empat orang itu seketika melihatnya.