"Loh, loh, loh! Mbak Mala? Siap ta, Mbak Mala?"
"Heh, udah. Udah-udah," sahut Delia. "Maaf, ya, tapi tolong jangan berisik. Aku lagi ngedit, dan Liha lagi bikin laporan."
"Kan," ujar Sultan. "Ya wes--"
"Eh! Salam dulu, Mas Sultan. 'Assalamualaikum, Mbak Kemala.' Ayo cepet!"
"Assalamualaikum, ... Semuanya."
"Cieee."
Kemala akhirnya menghela napas lega ketika Sultan benar-benar pergi. Dia gugup setengah mampus. Andai dia bisa bersikap kocak seperti Sultan, pasti semua akan lebih baik untuknya.
Malam itu, setelah urusannya selesai, Kiya dan Liha masuk ke dalam kamar dan tidur. Tak lama kemudian, suara motor perlahan terdengar lalu berhenti. Delia dan Kemala seketika melihat ke jendela.
"Lah? Satria?" desis Delia.
Sebelum Kiya dan Liha masuk, Kemala memang sempat menelepon Satria atas permintaan Delia. Barangkali laki-laki itu masih berada di luar dan membawa uang, mereka ingin menitip sesuatu. Namun, tadi dia mengatakan tidak membawa cukup uang.
"Mana uangnya? Mau beli apa?" tanya Satria dari luar jendela, karena pintu sudah dikunci.