"Iya," jawab Mamanya.
"Saya tidak ikut. Ada pertandingan basket," kata Rizkia.
"Memang harus datang?" tanya Mamanya yang berharap Kia bisa ikut ke toko buku.
Mama memang masih selalu berharap satu anaknya lagi juga mencintai buku. Gemar membaca. Sehingga nilainya akan lebih baik.
"Kan Kia yang jadi kaptennya, Ma," Kia menjelaskan alasannya.
"Ya, sudah," kata Mamanya menyetujui meski dengan nada kecewa yang terlihat jelas.
Dan Kia mulai tak sama. Ketika Mama dan Kiki ke toko buku, Kia bermain basket. Ketika Mama dan Kiki bersama ke arisan keluarga, Kia juga tak ikut. Kia lebih senang pergi ke sekolah berlatih basket bersama teman-temannya.
Tak salah. Tak salah jika kemudian teman-teman Kia di ekskul basket memilih Kia sebagai ketua kegiatan. Kia juga bangga atas kepercayaan yang diberikan teman-temannya.
Setiap pagi, Kia pasti sudah mencari bola basketnya. Bahkan kadang-kadang tuh bola ikut tidur di kasur Kia. Sehingga mimpinya hanya satu, mimpi main basket.
Tapi, bola basket pula yang telah membuat Kia semakin terpuruk. Terpuruk pada perasaan kalah pada kakak kembarannya itu. Kia semakin jeblok nilainya. Maka yang lahir dari mulut beberapa orang hanyalah cibiran pada diri Kia.
"Kamu kembaran Kiki?" tanya Bu Ita. Guru baru yang mengajar di kelas Kiki juga mengajar di kelas Kia. Saat melihat Kia.Â