Kia harusnya bersyukur bisa membantu mamanya. Bukan malah merasa dibedakan. Toh, kembar juga tak harus selalu sama, kan?
"Kiki koma, Kia," kata Mama saat mereka sudah bisa menguasai diri lagi.
Kia duduk di samping tempat tidur Kiki. Tangan Kiki terasa begitu dingin. Mata Kiki juga masih terpejam. Tak tahu sekarang Kiki sedang apa.
"Kia sudah makan?" tanya Mamanya.
"Sudah, Ma."
Badan ringkih itu betul-betul menyedihkan. Ada beberapa luka di wajah Kiki. Tapi yang lebih menyedihkan tentunya otak Kiki. Ada pendarahan di otak Kiki. Kemungkinannya hanya dua. Bisa kembali seperti biasa tapi tak normal. Atau harus meninggalkan semuanya. Termasuk mama dan Kia.
"Kiki selalu tak sigap. Dia juga tak hati-hati. Seandainya waktu itu ada Kia, pasti hal ini tak akan terjadi," ratap Kia.
Mama hanya mengusap rambut Kia. Mencium pipinya dengan begitu hangat. Kia merasa Mamanya kembali seperti dulu. Selalu mencium dan membelai rambutnya.
***
Hari kesepuluh Kiki dirawat di IGD. Kondisi semakin baik. Walaupun belum sadar. Kiki masih koma. Hanya saja setiap kali ada yang mengusap tangan atau kepalanya yang sekarang sudah digunduli itu, Kiki selalu meresponnya dengan gerakan.
Kia dan Mamanya senang melihat kemajuan itu. Walaupun sedikit, tapi yang penting ada kemajuan. Setiap malam, Mama dan Kia tidur di rumah sakit. Kadang papa ikut tidur di rumah sakit juga. Hanya saja kalau ada banyak pekerjaan, papa mampir sebentar saja.