Namun yang dijumpai dikamar itu hanya sepi. Begitu sunyi. Tak ada suara teriakan melengking. Tak ada tawa yang begitu renyah. Tak ada permintaan tolong. Kamar itu betul-betul telah kehilangan keceriaan penghuninya.
"Sedang apa Kiki sekarang, ya?" tanya Kia dalam hati sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang masih selalu dirapikan oleh Mamanya walau sudah tak lagi berpenghuni itu.
"Kau mungkin sedang kedinginan. Padahal badanmu ringkih. Kau pasti menderita, Ki," lanjut Kia dalam gumam.Â
Sebuah keinginan mendorong langkah Kia. Kia pun duduk menghadap meja belajar Kiki. Membuka laci meja itu. Sebuah buku harian. Seolah tersenyum. Memasrahkan diri untuk dimengerti. Buku harian yang dulu selalu disimpan rapi oleh pemiliknya. Buku harian bersampul pink. Kia mengambilnya. Memeluknya. Begitu erat. Begitu lekat.
Tak terasa kesedihan itu hadir lagi. Tak terasa perasaan bersalah itu muncul lagi. Menghajar keangkuhan yang selama ini menggerogoti perasaan Kia.
Kia membuka buku harian itu. Tepat di halaman 18.
"Aku yakin adikku itu marah padaku. Aku ingin meminta maaf padanya. Kia, harusnya kamu tahu. Aku tak pernah mau. Semua ini bukan mauku. Tapi kamu tahu sendiri. Aku tak bisa melawan Mama. Aku terlalu lemah untuk mengatakan kata "tidak" pada Mama.
Mama selalu membelaku. Aku juga sudah meminta Mama untuk tetap melakukan kami sama. Tapi mama selalu beralasan bahwa aku tak boleh terlalu lelah.
Bosan. Aku juga bosan, Kia. Masa iya, harus dibantu melulu."Â
Senja terus meluruh. Petang hadir menggantikan. Kia masih duduk termenung di meja belajar Kiki. Membayangkan wajah Kiki. Merasa bersalah. Tak mau memahami terhadap apa yang dilakukan Mamanya. Sementara Kia begitu tak peduli pada alasan itu. Kia justru membenci Kiki.
"Apakah..." Kia tak mampu melanjutkan membaca. Tapi perasaannya terus mendorong Kia. Kia membuka halaman berikutnya.