Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Buku Harian Rizki

7 Juli 2015   11:57 Diperbarui: 7 Juli 2015   11:57 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Entah kenapa, hari ini Jakarta terasa begitu panas.  Panas sekali.  Seperti di neraka saja.  Matahari seakan tepat ada di atas ubun-ubun.  Panasnya tak kepalang tanggung.  Seakan sedang menantang kemampuan manusia untuk menahan gejolaknya. 

Tapi semua itu tak seberapa.  Belum.  Belum seberapa.  Panas Jakarta yang begitu mengganas ternyata tak seberapa.  Jika  dibandingkan dengan panas hati Rizkia.  Hati Rizkia lebih panas.  Hari ini memang menjadi hari yang tak mengenakkan.  Buat Rizkia, tentunya.  Karena hari ini ada undangan.  Undangan pengambilan rapor tengah semester.  Sebuah teror.  Pasti Kia akan kena lagi deh.  Sebel.

"Ada apa, Kia?" tanya Mamanya.

Tak ada jawaban.  Hanya suara kedubrak pintu yang ditutup dengan beban emosi.  Mamanya pun balik ke tempat Rizki.

"Ada apa, Ki?"

"Undangan pengambilan rapor bayangan, Ma,"Jawab Rizki sambil langsung mencium pipi mamanya.

Setiap.  Ya, setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan rapor pasti akan meremukkan hati Rizkia.  Selalu ada perasaan menjadi orang kalah.  Kalah dari Rizki.  Saudara kembarnya itu.

"Ih, mirip banget," kata-kata itu selalu meneror Rizkia.  Walau pun orang yang melontarkan kata-kata itu justru mengungkapkan rasa kagum pada dua manusia cantik-cantik di depannya.

Rizki dan Rizkia memang cantik.  Semua orang mengakui itu.  Dan semua orang yang menjumpai mereka berdua pasti mengagumi kecantikan itu.  Bahkan pernah ada yang kejebur got, gara-gara matanya tak mau lepas memelototi Rizki dan Rizkia.

Bukan hanya wajah mereka yang mirip.  Tapi dari sejak lahir, Rizki dan Rizkia selalu dijadikan orang yang sama.  Betul-betul sama.  Saat satu memakai baju merah, pasti yang satunya juga harus memakai baju merah pula.  Saat yang satu memakai baju kuning, maka yang satunya lagi juga harus memakai baju kuning.  Bahkan pita di rambut pun selalu bermodel dan warna yang harus sama.

Tak akan ada yang bisa membedakan, mana Rizki dan mana Rizkia.  Bahkan mamanya sendiri lebih sering bingung sendiri untuk membedakan kedua anak kembarnya itu.

Kiki dan Kia memang selalu diperlakukan sama oleh mamanya.  Sehingga lama-lama kedua anaknya itu juga menganggap dirinya sama.  Saat Kiki menyukai sinetron di RCTI maka Kia juga berusaha menyukai sinetron itu.  Saat Kiki menyuka acara "tahan tawa", Kia terpaksa harus menyukai juga.

Pokoknya harus sama.  Dan Rizkia yang katanya adik Kiki karena lahirnya beda lima menit itu harus menderita.  Kia harus merelakan diri untuk selalu menyamakan apa yang disukai Kiki.  Karena Rizkia tak ingin melukai hati mamanya.

"Kia, pakai baju yang pink!" suruh Mama saat melihat Kia memakai baju biru kesukaannya.

"Tapi Kia suka yang ini," rajuk Kia.

"Besok saja pakai baju itu, sekarang pakai yang pink dulu," kata Mama yang tak mungkin dibantah lagi.

Meskipun agak marah, Kia akhirnya memakai baju yang sama dengan Kiki.

***

Hingga kini.  Hingga sekolah di SMP.  Sudah kelas delapan pula.  Mereka masih dipaksa harus selalu sama.  Hanya dengan alasan usang.  Karena mereka berdua kembar. 

Hingga sedikit demi sedikit muncul keinginan Kia.  Keinginan untuk menjadi diri sendiri.  Keinginan yang semakin kuat saat masuk SMP.  Rizkia merasa ingin bebas.  Bebas menentukan apa yang menjadi kesukaannya.  Menjadi diri sendiri. 

Rizkia bukan Kiki.  Rizkia merasa dirinya sebagai Rizkia.  Yang tak menyukai buku.  Yang lebih menyukai olahraga.  Kalau melihat bola basket, Kia pasti sudah geregetan ingin memainkannya.  Kia memang dapat dikatakan sebagai penggila basket.  Alias basket mania.

"Besok kita ke Gramedia, Ma," ajak Kiki.

"Iya," jawab Mamanya.

"Saya tidak ikut.  Ada pertandingan basket," kata Rizkia.

"Memang harus datang?" tanya Mamanya yang berharap Kia bisa ikut ke toko buku.

Mama memang masih selalu berharap satu anaknya lagi juga mencintai buku.  Gemar membaca.  Sehingga nilainya akan lebih baik.

"Kan Kia yang jadi kaptennya, Ma," Kia menjelaskan alasannya.

"Ya, sudah," kata Mamanya menyetujui meski dengan nada kecewa yang terlihat jelas.

Dan Kia mulai tak sama.  Ketika Mama dan Kiki ke toko buku, Kia bermain basket.  Ketika Mama dan Kiki bersama ke arisan keluarga, Kia juga tak ikut.  Kia lebih senang pergi ke sekolah berlatih basket bersama teman-temannya.

Tak salah.  Tak salah jika kemudian teman-teman Kia di ekskul basket memilih Kia sebagai ketua kegiatan.  Kia juga bangga atas kepercayaan yang diberikan teman-temannya.

Setiap pagi, Kia pasti sudah mencari bola basketnya.  Bahkan kadang-kadang tuh bola ikut tidur di kasur Kia.  Sehingga mimpinya hanya satu, mimpi main basket.

Tapi, bola basket pula yang telah membuat Kia semakin terpuruk.  Terpuruk pada perasaan kalah pada kakak kembarannya itu.  Kia semakin jeblok nilainya.  Maka yang lahir dari mulut beberapa orang hanyalah cibiran pada diri Kia.

"Kamu kembaran Kiki?" tanya Bu Ita.  Guru baru yang mengajar di kelas Kiki juga mengajar di kelas Kia.  Saat melihat Kia. 

"Iya, Bu," jawab Kia dengan senyum yang manis penuh bangga.

Kalimat apa yang akan meluncur dari Bu Ita?  Selalu, dan selalu kalimat sama dan selalu dikatakan orang kepada Kia.  Kata-kata yang menyakitkan.  Sangat menyakitkan hati Kia.

"Kok beda ya?" kata Bu Ita.

Gubrak!  Sebuah bom meledak satu kali lagi di hati Kia.  Kia memang tak lagi harus sama dengan Kiki seperti selalu dilakukan Mama.  Kia sekarang bisa menjadi dirinya sendiri.  Tapi, hampir semua guru di sekolah Kia selalu membandingkan Kia dengan Kiki.  Dan perbandingannya selalu antara langit dan bumi.  Kiki berdiri terang benderang di langit dengan seribu pujian.  Kia berada keok di bumi dengan injakan-injakan yang menyakitkan.

"Kenapa, Bu?" tanya Bu Tri.

"Kiki itu rajin sekali.  Kia kok tak pernah bisa menyelesaikan tugas tepat waktu.  Tugas Kia selalu selesai saat ibu sudah hampir kering tenggorokannya," jelas Bu Ita yang semakin terasa melemparkan diri Kia ke ujung dunia paling ganas penuh binatang buas.  Hanya ada satu jalan, menangis.  Tapi, masih layakkah ketua ekskul basket menangis?  Tak!  Tak boleh Kia menangis.

Untung tak ada kulit badak.  Kalau ada, Kia pasti sudah memakainya.  Biar tidak malu.  Biar tak sakit hati.  Kenapa begitu banyak orang yang senang membanding-bandingkan dirinya dengan Kiki?  Tak bolehlah dua orang itu berbeda, meskipun dua orang itu lahir kembar?

Teriris.  Pedih.  Perih.  Hati Kia seakan diiris-iris setiap ada guru yang membandingkan dirinya dengan Kiki.  Karena perbandingan itu akan berakhir dengan kesimpulan: Kiki hebat dan Kia keok.

.***

Sore terkepung mendung.  Jakarta seperti sedang diserang tentara luar angkasa yang hitam legam serta angkuh.  Betul-betul mendung tebal yang mengerikan.  Sementara petir begitu galak memborbardir tanpa henti.

Kia masih terduduk.  Hendak pulang tapi enggan.  Sementara di sekolah tinggal dirinya dan Bayu.  Bayu dari tadi menemani Kia.  Kasihan melihat Kia sendirian.  Apalagi mendung seakan meneror setiap warga kota metropolitan ini. Apalagi Kia masih terlihat cantik.  Meski Jakarta mendung.  Meski wajahnya murung.  Bayu betul-betul tak tega meninggalkannya sendiri.

" Belum pulang, Kia?" tanya Bayu.

"Males," jawab Kia  asal.

"Mau hujan lho."

"Biarin."

Kembali mereka terdiam.  Bayu tak ingin membuat Kia tambah sedih.  Bayu juga tahu, Kia tak perlu nasihat.  Kia hanya perlu ditemani.  Tak lebih.  Juga tak kurang.

Hingga dering itu mengagetkan keduanya.

"Apa?!" tanya Kia sambil terlihat panik.

"Rizki."

"Kenapa?"

"Rizki tertabrak.  Sekarang dia ada di rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

Kia berlari.  Bayu mengikuti sambil bingung sendiri.  Tas Kia dibawakannya karena Kia tadi lupa.  Terus naik bajaj yang pas lewat di depan mereka.

"Kemana?" tanya abang bajaj.

"Kemana, Kia?" tanya Bayu.

Abang bajaj tersenyum sendiri.  Mungkin abang bajaj ikut bingung.  Ada penumpang bajaj yang tak tahu mau ke mana tujuannya.

"Kemana?" Kia bertanya pula.  Juga bingung.

"Iya.  Mau kemana kita?"  tanya Bayu.

"Oh, ke rumah sakit," jawab Kia.

"Rumah sakit, Bang," kata Bayu.

"Rumah sakit mana?" tanya Abang Bajaj.

"Rumah sakit mana, Kia?" tanya Bayu kepada Kia.

"Rumah sakit tempat Kiki di rawat," jawab Kia.

"Rumah sakit tempat Kiki dirawat," kata Bayu kepada abang bajaj.

"Lho, saya kan tidak tahu Kiki dirawat di rumah sakit mana," kata Bang Bajaj kebingungan dan belum juga melajukan bajajnya.

"Kiki dirawat di mana?" tanya Bayu kepada Kia.

"Tak tahu," Kia baru sadar.  Kia lupa menanyakan di mana Kiki di rawat.

"Kamu telpon lagi!" suruh Bayu.

"He-eh."

Tapi telepon Mama Kia sudah tak bisa dihubungi lagi.  Yang terdengar selalu nada sibuk, sibuk, dan sibuk.  Hampir saja Kia membanting telepon karena marah.  Untung Bayu segera mencegahnya.

"Rumah sakit Islam, Bang," kata Bayu mengambil keputusan.  Kalau ternyata keputusannya salah tak apa.  Daripada tidak mengambil keputusan sama sekali.

Benar.  Di ruang gawat darurat Kia melihat Mamanya yang panik sambil menangis.  Di saat yang sama mama Kia juga sedang menelepon entah siapa.  Kia berlari.  Kia memeluk Mamanya.

"Kia......."

Sepotong tubuh yang kerempeng itu terbungkus selimut.  Tak ada gerak.  Tak ada tawa.  Tak ada kehidupan.  Karena yang terdengar hanya hembusan lirih nafasnya.

Ada sembab di bola mata Mama.  Mungkin mama kebanyakan menangis.  Menangisi anak kesayangannya yang sekarang terkapar.  Dan tak bisa apa-apa di ranjang tempat tidurnya.

"Mamaaaaa...." Rizkia memeluk Mamanya lebih erat.

Pelukan Mamanya tak bisa membendung derai air mata Rizkia.  Rizkia seperti terlempar pada masa lalu.  Saat masih kecil.  Berdua dengan Rizki.  Berebut peluk Mama.  Rizkia selalu menang.  Karena Rizkia lebih kuat larinya.  Tapi Mama selalu menyisakan sebagian peluknya juga untuk Rizki.

Pelukan itu kini dirasakan lagi oleh Rizkia.  Pelukan yang begitu lekat.  Begitu dekap.  Begitu erat.

"Kenapa Rizki, Ma?" tanya Rizkia.

Hanya pelukan sebagai jawaban dari mamanya.  Karena Mamanya juga tak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.  Tetes bening itu juga membasahi pipi mamanya.  Jatuh ke lantai menyatu dengan butiran-butiran bening milik Rizkia.

"Kia sayang sama Kiki, Ma."

Pelukan itu semakin terasa erat.  Dan tetesan itu semakin deras.  Mengalir.  Melepas kerinduan.  Juga rasa bersalah.

"Maafkan Mama selama ini, Kia."

Rizkia merasa telah berlaku tak adil.  Beberapa waktu ini Rizkia telah menjauh dari kakak kembarannya itu.  Bukan hanya menjauh tapi juga sudah membencinya.  Padahal Kiki masih menyayanginya.  Masih ingin selalu bersamanya.

Mama memang selalu membela dan mendahulukan Kiki.  Tapi itu juga ada alasannya. Kiki memang jantungnya lemah.  Tak boleh terlalu capai.  Sehingga tak mungkin Mama menyuruh Kiki.  Rizkia yang memang badannya sehat, harusnya menyadari itu. 

Kia harusnya bersyukur bisa membantu mamanya.  Bukan malah merasa dibedakan.  Toh, kembar juga tak harus selalu sama, kan?

"Kiki koma, Kia," kata Mama saat mereka sudah bisa menguasai diri lagi.

Kia duduk di samping tempat tidur Kiki.  Tangan Kiki terasa begitu dingin.  Mata Kiki juga masih terpejam.  Tak tahu sekarang Kiki sedang apa.

"Kia sudah makan?" tanya Mamanya.

"Sudah, Ma."

Badan ringkih itu betul-betul menyedihkan.  Ada beberapa luka di wajah Kiki.  Tapi yang lebih menyedihkan tentunya otak Kiki.  Ada pendarahan di otak Kiki.  Kemungkinannya hanya dua.  Bisa kembali seperti biasa tapi tak normal.  Atau harus meninggalkan semuanya.  Termasuk mama dan Kia.

"Kiki selalu tak sigap.  Dia juga tak hati-hati.  Seandainya waktu itu ada Kia, pasti hal ini tak akan terjadi," ratap Kia.

Mama hanya mengusap rambut Kia.  Mencium pipinya dengan begitu hangat.  Kia merasa Mamanya kembali seperti dulu.  Selalu mencium dan membelai rambutnya.

***

Hari kesepuluh Kiki dirawat di IGD.  Kondisi semakin baik.  Walaupun belum sadar.  Kiki masih koma.  Hanya saja setiap kali ada yang mengusap tangan atau kepalanya yang sekarang sudah digunduli itu, Kiki selalu meresponnya dengan gerakan.

Kia dan Mamanya senang melihat kemajuan itu.  Walaupun sedikit, tapi yang penting ada kemajuan.  Setiap malam, Mama dan Kia tidur di rumah sakit.  Kadang papa ikut tidur di rumah sakit juga.  Hanya saja kalau ada banyak pekerjaan, papa mampir sebentar saja.

"Ma, Kia tadi mampir beli tempat pensil.  Kia beli dua.  Satu buat Kiki.  Warna pink.  Itu kan warna kesukaan Kiki," kata Kia.

"Kok pink dua-duanya."

"Kia juga suka pink."

"Iya sayang."

Dan pada saat yang sama datang seorang perawat. Dia mencari Mama dan Kia.

"Mama Kiki?" tanya perawat itu.

"Ada apa, Sus?" Mama balik bertanya.

Kia tak tahu apa yang dikatakan Suster itu.  Tapi raut wajah mama langsung berubah drastis.  Mendung bergulung-gulung di wajah itu.  Kemudian mengalir butiran-butiran bening.

Mama memeluk Kia.  Begitu erat.  Begitu lekat.

"Ada apa, Ma?" tanya Kia.

"Kondisi Kiki."

"Kenapa, Ma?"

"Kata suster kondisi Kiki memburuk lagi.  Ayo berdoa untuk Kiki, ya."

Kia memejamkan matanya.  Kia mengucapkan doa satu barisnya.  Kia memohon pada Tuhan sesuatu yang terbaik bagi Kiki.

"Mama Kiki!" pamggilan itu begitu terburu-buru.

Mama melepaskan pelukannya.  Menyusul perawat.  Ternyata Kiki seperti sedang berontak.  Kiki sedang sekarat.  Tubuh Kiki kemudian diam.  Tenang.  Tapi .... Dia juga tak bernafas lagi.

"Inalilahhi wainailaihi rojiun."

Hanya tangis yang mampu kami lakukan.  Kiki betul-betul telah tiada.  Kini Kia sendirian.  Betul-betul sendirian.

"Maafkan Kia, Ki."

Tubuh Kiki kini terbujur kaku.  Kia merasa dunia ini runtuh.  Kia merasa telah membunuh kakak kembarnya itu.  Seandainya... Ya, seandainya Kia tak meninggalkan Kiki, pasti Kiki tak tertabrak mobil brengsek itu.  Pasti Kia sudah menolongnya.

***

Kia masuki kamar itu.  Dengan langkah enggan.  Tapi begitu ingin.  Ingin sekali.  Membayangkan di kamar itu masih ada Kiki.  Yang sedang sibuk membaca buku atau mengutak-atik angka matematika.

Namun yang dijumpai dikamar itu hanya sepi.  Begitu sunyi.  Tak ada suara teriakan melengking.  Tak ada tawa yang begitu renyah.  Tak ada permintaan tolong.  Kamar itu betul-betul telah kehilangan keceriaan penghuninya.

"Sedang apa Kiki sekarang, ya?" tanya Kia dalam hati sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang masih selalu dirapikan oleh Mamanya walau sudah tak lagi berpenghuni itu.

"Kau mungkin sedang kedinginan.  Padahal badanmu ringkih.  Kau pasti menderita, Ki," lanjut Kia dalam gumam. 

Sebuah keinginan mendorong langkah Kia.  Kia pun duduk menghadap meja belajar Kiki.  Membuka laci meja itu.  Sebuah buku harian.  Seolah tersenyum.  Memasrahkan diri untuk dimengerti.  Buku harian yang dulu selalu disimpan rapi oleh pemiliknya.  Buku harian bersampul pink.  Kia mengambilnya.  Memeluknya.  Begitu erat.  Begitu lekat.

Tak terasa kesedihan itu hadir lagi.  Tak terasa perasaan bersalah itu muncul lagi.  Menghajar keangkuhan yang selama ini menggerogoti perasaan Kia.

Kia membuka buku harian itu.  Tepat di halaman 18.

"Aku yakin adikku itu marah padaku.  Aku ingin meminta maaf padanya.  Kia, harusnya kamu tahu.  Aku tak pernah mau.  Semua ini bukan mauku.  Tapi kamu tahu sendiri.  Aku tak bisa melawan Mama.  Aku terlalu lemah untuk mengatakan kata "tidak" pada Mama.

Mama selalu membelaku.  Aku juga sudah meminta Mama untuk tetap melakukan kami sama.  Tapi mama selalu beralasan bahwa aku tak boleh terlalu lelah.

Bosan.  Aku juga bosan, Kia.  Masa iya, harus dibantu melulu." 

Senja terus meluruh.  Petang hadir menggantikan.  Kia masih duduk termenung di meja belajar Kiki. Membayangkan wajah Kiki.  Merasa bersalah.  Tak mau memahami terhadap apa yang dilakukan Mamanya.  Sementara Kia begitu tak peduli pada alasan itu.  Kia justru membenci Kiki.

"Apakah..." Kia tak mampu melanjutkan membaca.  Tapi perasaannya terus mendorong Kia.  Kia membuka halaman berikutnya.

Minggu,

"Kia.  Kamu pasti tak tahu.  Kiki pengin banget kayak kamu.  Kamu bisa pergi ke sekolah untuk berolahraga bersama teman-teman.  Kiki ngiri (kenapa mesti ngiri ya?  Padahal kan enakan nganan, hehehe...)

Seandainya, seandainya Mama memperbolehkan Kiki ikut Kia berolahraga, alangkah senangnya hati ini.  Tapi Mama terlalu meragukan kekuatanku.  Sehingga, aku pun harus merelakan diri untuk terkurung di kamar.  Sepi.  Sendiri."

Kia tak sanggup membendung air matanya.  Kia selama ini ingin seperti Kiki. Dimanja oleh Mamanya.  Tapi Kiki justru ingin seperti Kia.  Bisa berolahraga.

"Kia.  Kamu selalu menjagaku dengan baik.  Kamu selalu mendahulukanku.  Aku tahu kamu ingin main basket.  Tapi kamu lebih memilih mengantarkanku pulang lebih dulu.

Kia.  Belum pernah aku bisa membahagiakanmu.  Ingin.  Ingin sekali rasanya aku membahagiakanmu.  Tapi kapan?  Jangan-jangan sakitku lebih dulu mengambilku sebelum aku sempat memberimu sebuah kebahagian."

Kia ingat.  Ingat sekali.  Kia marah kepada Kiki.  Saat Kia ulang tahun dan Kiki mremberinya hadiah sebuah bola basket.  Kia merasa diledek.  Karena selama ini Kia hanya mementingkan bola basket.  Dan selalu jeblok nilai rapornya.

"Kia.  Aku tak tahu harus bilang apa.  Saat Kia marah padaku.  Padahal aku betul-betul ingin melihat Kia bahagia.  Tapi hasilnya, Kia justru tersinggung dan marah.  Maafkan aku ya, Kia."

Malam sudah turun.  Dari Mesjid terdengar suara imam salat Magrib.  Kia betul-betul tak tahu kalau Kiki begitu memperhatikannya.  Tapi Kia sering menyalahpahami.

"Kia!" panggil Mamanya.

"Ada apa, Ma?"

"Salat jamaah, yuk!"

Sudah begitu lama.  Seakan lama sekali.  Kia tak salat berjamaah.  Jangankan berjamaah.  Untuk salat saja, Kia enggan melakukannya.

"Iya, Ma," jawab Kia.

"Sedang apa, Kia?"

"Baca buku harian Kiki."

"Coba Mama lihat," kata Mama yang sudah berdiri di pintu kamar Kiki.

Akhirnya berdua membaca buku harian itu.  Mama juga menangis saat membaca buku harian itu.

"Kia baru tahu lho, Ma."

"Apa?"

"Mama sayang Kia juga ya?"

"Ah, siapa bilang?"

"Jadi..."

"Mama tidak sayang sama Kia," kata Mama yang langsung menusuk hati Kia.

"Jadi ...?" tanya Kia yang sudah hampir histeris berteriak.

"Mama tidak sekadar sayang sama Kia.  Tapi Mama sangat sayang sekali sama Kia," kata Mama sambil memeluk erat Kia yang sekarang menjadi anak tunggalnya.  Dan mama tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

Kia juga memeluk Mamanya.  Erat. Erat sekali.  Seakan tak ingin terpisah lagi.

"Jangan kenceng-kenceng dong, Kia," kata Mama sambil mencium kening Kia.

"Emangnya tidak boleh?"

"Boleh.  Tapi Mama jadi sulit bernafas.  Tenaga kamu tambah kuat saja.  Tambah hitam pula. Kebanyakan main basket sih," sindir Mama.

Kia merasakan Mamanya yang dulu.  Yang selalu menyayanginya.  Yang selalu bercanda.  Kia sebetulnya ingin, ingin sekali untuk menikmati keakraban ini bukan hanya berdua.  Tapi bertiga.  Sayang, kini Kiki tiada.  Seandainya Kiki masih bersama, pasti lebih seru.

"Ma, Kiki sedang apa, ya?" tanya Kia.

"Sedang melihat kita tersenyum."

"Berarti Kiki ikut bahagia dong?"

"Pasti."

Tak terasa papa sudah berdiri di ambang pintu.  Tak berkata apa-apa.  Hanya diam mematung.  Melihat dua orang yang disayanginya sedang berpelukan.

"Ehemmmm...!"

Kia dan Mamanya kaget.  Langsung mengusap pipi masing-masing.  Sambil tersipu.

"Perasaan... lama amat, menunggunya," kata Papa.

"Maaf, Yah," kata Kia.

"Ayo!" ajak Mamanya.

Mereka bertiga melakukan salat Magrib bersama.  Berjamaah.  Papa membaca ayat-ayat suci dengan khusyuk.  Kia semakin ingat Kiki.

Maafkan Kia, Ki.  Kia akan mencoba menggantikanmu.  Akan belajar seperti kamu.

***

"Maaa, Mama....!" panggil Kia.

"Ada apa, sayang?"

"Ada surat panggilan dari sekolah, Ma," kata Kia.

"Ada apa?" tanya Mama terkejut.

"Tak tahu, " jawab Kia yang memang tak tahu isi surat panggilan itu.

"Tapi Kia tak melakukan kesalahan, kan?" Mama teringat waktu lalu.  Saat Kia mendapat surat panggilan.  Selalu alasan ribut di kelas, nilai jeblok, sampai bolos tanpa alasan.  Mungkinkah ini terulang?

"Kia kan sudah jadi anak baik, Ma," Kia mencoba meyakinkan Mama.

"Tidak bolos kan?" Mama memang agak panik.

Segera mama Kia pergi ke sekolah.  Walau sebetulnya undangannyua untuk besok pagi.  Sudah tak tahan.  Ingin tahu kenapa dipanggil ke sekolah.  Suasana sekolah sudah sepi.  Untung Bapak Kepala Sekolah masih ada di sekolah.  Mama Kia langsung masuk ke ruangan Bapak Kepala Sekolah.

"Ada apa, Pak?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Mama yang masih panik dan takut Kia melakukan kesalahan.  Mama sudah menandatangani perjanjian.  Di atas materai pula.  Jika Kia tak berubah alias melakukan bolos lagi, maka Mama harus memindahkan Kia ke sekolah lain.

"Kia telah melakukan...."

"Melakukan apa, Pak?" potong Mama sebelum Bapak Kepala Sekolah selesai menyampaikan maksud surat panggilannya.

"Tunggu sebetar, Bu," kata Bapak Kepala Sekolah sambil tersenyum. 

"Tapi kenapa?" Mama Kia pun agak reda dari kepanikannya saat melihat senyum Bapak Kepala Sekolah.

"Begini, Bu.  Kia, putri ibu telah terpilih menjadi juara lompa olimpiade sains tingkat Kodya," jelas Bapak Kepala Sekolah.

"Apa?" teriak Mama Kia tak percaya dengan apa yang didengarnya.  Selama ini Kia tak bercerita apa-apa.  Apalagi tentang keikutsertaannya dalam kegiatan olimpiade sains segala.

 "Ibu, anak ibu yang bernama Rizkia telah terpilih menjadi juara lomba olimpiade sain tingkat kodya," ulang Bapak Kepala Sekolah.

Mendengar kata-kata Bapak Kepala Sekolah, Mama Kia nyaris pingsan.  Karena bahagia yang tiada tara.

Sepotong senyum yang sudah sekian lama tak Kia lihat, sore ini telah kembali mengembang.  Sambil menenteng sebuah sertifikat yang dikipas-kipaskan, Mama langsung memanggil Kia.

"Iya, Ma," jawab Kia sambil lari terpontang-panting.

Mama memeluk Kia.  "Maafkan Mama kalau selama ini telah berbuat tak seharusnya pada Kia, ya?"

"Kia memang mencoba untuk melanjutkan cita-cita Kiki, Ma.  Mama pernah lihat Kia membaca buku harian Kiki kan?  Ternyata Kiki pengin sekali ikut lomba olimpiade sains.  Kia mencoba menggantikannya.  Mewujudkan impiannya, Ma.  Tak apa-apa kan?" kata Kia.

Tak ada jawaban Mama.  Mama hanya memeluk Kia dengan semakin erat.  Seakan hendak menebus perasaan bersalahnya selama ini. 

Ternyata, enak juga menjadi anak baik dan penurut.  Tidak percaya?  Coba saja!  Benar, lho!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun