"Kenapa, Ma?"
"Kata suster kondisi Kiki memburuk lagi. Ayo berdoa untuk Kiki, ya."
Kia memejamkan matanya. Kia mengucapkan doa satu barisnya. Kia memohon pada Tuhan sesuatu yang terbaik bagi Kiki.
"Mama Kiki!" pamggilan itu begitu terburu-buru.
Mama melepaskan pelukannya. Menyusul perawat. Ternyata Kiki seperti sedang berontak. Kiki sedang sekarat. Tubuh Kiki kemudian diam. Tenang. Tapi .... Dia juga tak bernafas lagi.
"Inalilahhi wainailaihi rojiun."
Hanya tangis yang mampu kami lakukan. Kiki betul-betul telah tiada. Kini Kia sendirian. Betul-betul sendirian.
"Maafkan Kia, Ki."
Tubuh Kiki kini terbujur kaku. Kia merasa dunia ini runtuh. Kia merasa telah membunuh kakak kembarnya itu. Seandainya... Ya, seandainya Kia tak meninggalkan Kiki, pasti Kiki tak tertabrak mobil brengsek itu. Pasti Kia sudah menolongnya.
***
Kia masuki kamar itu. Dengan langkah enggan. Tapi begitu ingin. Ingin sekali. Membayangkan di kamar itu masih ada Kiki. Yang sedang sibuk membaca buku atau mengutak-atik angka matematika.