Ada sembab di bola mata Mama. Mungkin mama kebanyakan menangis. Menangisi anak kesayangannya yang sekarang terkapar. Dan tak bisa apa-apa di ranjang tempat tidurnya.
"Mamaaaaa...." Rizkia memeluk Mamanya lebih erat.
Pelukan Mamanya tak bisa membendung derai air mata Rizkia. Rizkia seperti terlempar pada masa lalu. Saat masih kecil. Berdua dengan Rizki. Berebut peluk Mama. Rizkia selalu menang. Karena Rizkia lebih kuat larinya. Tapi Mama selalu menyisakan sebagian peluknya juga untuk Rizki.
Pelukan itu kini dirasakan lagi oleh Rizkia. Pelukan yang begitu lekat. Begitu dekap. Begitu erat.
"Kenapa Rizki, Ma?" tanya Rizkia.
Hanya pelukan sebagai jawaban dari mamanya. Karena Mamanya juga tak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Tetes bening itu juga membasahi pipi mamanya. Jatuh ke lantai menyatu dengan butiran-butiran bening milik Rizkia.
"Kia sayang sama Kiki, Ma."
Pelukan itu semakin terasa erat. Dan tetesan itu semakin deras. Mengalir. Melepas kerinduan. Juga rasa bersalah.
"Maafkan Mama selama ini, Kia."
Rizkia merasa telah berlaku tak adil. Beberapa waktu ini Rizkia telah menjauh dari kakak kembarannya itu. Bukan hanya menjauh tapi juga sudah membencinya. Padahal Kiki masih menyayanginya. Masih ingin selalu bersamanya.
Mama memang selalu membela dan mendahulukan Kiki. Tapi itu juga ada alasannya. Kiki memang jantungnya lemah. Tak boleh terlalu capai. Sehingga tak mungkin Mama menyuruh Kiki. Rizkia yang memang badannya sehat, harusnya menyadari itu.Â