Minggu,
"Kia. Kamu pasti tak tahu. Kiki pengin banget kayak kamu. Kamu bisa pergi ke sekolah untuk berolahraga bersama teman-teman. Kiki ngiri (kenapa mesti ngiri ya?  Padahal kan enakan nganan, hehehe...)
Seandainya, seandainya Mama memperbolehkan Kiki ikut Kia berolahraga, alangkah senangnya hati ini. Tapi Mama terlalu meragukan kekuatanku. Sehingga, aku pun harus merelakan diri untuk terkurung di kamar. Sepi. Sendiri."
Kia tak sanggup membendung air matanya. Kia selama ini ingin seperti Kiki. Dimanja oleh Mamanya. Tapi Kiki justru ingin seperti Kia. Bisa berolahraga.
"Kia. Kamu selalu menjagaku dengan baik. Kamu selalu mendahulukanku. Aku tahu kamu ingin main basket. Tapi kamu lebih memilih mengantarkanku pulang lebih dulu.
Kia. Belum pernah aku bisa membahagiakanmu. Ingin. Ingin sekali rasanya aku membahagiakanmu. Tapi kapan? Jangan-jangan sakitku lebih dulu mengambilku sebelum aku sempat memberimu sebuah kebahagian."
Kia ingat. Ingat sekali. Kia marah kepada Kiki. Saat Kia ulang tahun dan Kiki mremberinya hadiah sebuah bola basket. Kia merasa diledek. Karena selama ini Kia hanya mementingkan bola basket. Dan selalu jeblok nilai rapornya.
"Kia. Aku tak tahu harus bilang apa. Saat Kia marah padaku. Padahal aku betul-betul ingin melihat Kia bahagia. Tapi hasilnya, Kia justru tersinggung dan marah. Maafkan aku ya, Kia."
Malam sudah turun. Dari Mesjid terdengar suara imam salat Magrib. Kia betul-betul tak tahu kalau Kiki begitu memperhatikannya. Tapi Kia sering menyalahpahami.
"Kia!" panggil Mamanya.
"Ada apa, Ma?"