"Jadi..."
"Mama tidak sayang sama Kia," kata Mama yang langsung menusuk hati Kia.
"Jadi ...?" tanya Kia yang sudah hampir histeris berteriak.
"Mama tidak sekadar sayang sama Kia. Tapi Mama sangat sayang sekali sama Kia," kata Mama sambil memeluk erat Kia yang sekarang menjadi anak tunggalnya. Dan mama tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.
Kia juga memeluk Mamanya. Erat. Erat sekali. Seakan tak ingin terpisah lagi.
"Jangan kenceng-kenceng dong, Kia," kata Mama sambil mencium kening Kia.
"Emangnya tidak boleh?"
"Boleh. Tapi Mama jadi sulit bernafas. Tenaga kamu tambah kuat saja. Tambah hitam pula. Kebanyakan main basket sih," sindir Mama.
Kia merasakan Mamanya yang dulu. Yang selalu menyayanginya. Yang selalu bercanda. Kia sebetulnya ingin, ingin sekali untuk menikmati keakraban ini bukan hanya berdua. Tapi bertiga. Sayang, kini Kiki tiada. Seandainya Kiki masih bersama, pasti lebih seru.
"Ma, Kiki sedang apa, ya?" tanya Kia.
"Sedang melihat kita tersenyum."