"Rumah sakit tempat Kiki dirawat," kata Bayu kepada abang bajaj.
"Lho, saya kan tidak tahu Kiki dirawat di rumah sakit mana," kata Bang Bajaj kebingungan dan belum juga melajukan bajajnya.
"Kiki dirawat di mana?" tanya Bayu kepada Kia.
"Tak tahu," Kia baru sadar. Kia lupa menanyakan di mana Kiki di rawat.
"Kamu telpon lagi!" suruh Bayu.
"He-eh."
Tapi telepon Mama Kia sudah tak bisa dihubungi lagi. Yang terdengar selalu nada sibuk, sibuk, dan sibuk. Hampir saja Kia membanting telepon karena marah. Untung Bayu segera mencegahnya.
"Rumah sakit Islam, Bang," kata Bayu mengambil keputusan. Kalau ternyata keputusannya salah tak apa. Daripada tidak mengambil keputusan sama sekali.
Benar. Di ruang gawat darurat Kia melihat Mamanya yang panik sambil menangis. Di saat yang sama mama Kia juga sedang menelepon entah siapa. Kia berlari. Kia memeluk Mamanya.
"Kia......."
Sepotong tubuh yang kerempeng itu terbungkus selimut. Tak ada gerak. Tak ada tawa. Tak ada kehidupan. Karena yang terdengar hanya hembusan lirih nafasnya.