Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

18 Desember 2018   11:19 Diperbarui: 18 Desember 2018   11:23 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Terimakasih Arya.  Kamu baik sekali memberikan hadiah istimewa ini buatku...dan...rangkaian kata katamu sangat indah sekali."

Yang dipuji agak tersipu namun tersenyum hangat sekali menyambut tangan si gadis cantik,

"Ah...itu bukan apa apa Puspa.  Hanya sebuah seruling dari bambu biasa...tidak sebanding dengan kebaikanmu selama ini kepadaku yang sebatangkara.."

Dyah Puspita meremas tangan pemuda itu dan berkata dengan penuh perasaan,"Arya, kamu tidak pernah sendirian.  Aku di sampingmu dulu waktu masih kecil.  Aku di sampingmu sekarang.  Dan aku akan berada di sampingmu selamanya....jika kau mau.." matanya sedikit mengembun ketika mengucapkan kalimat kalimat itu.  Suaranya bergetar menahan haru biru di dada.         

Arya Dahana sangat tersentuh melihat pemandangan di depannya, apalagi mendengar kalimat kalimat yang sangat mengharukan dan penuh pengharapan seperti itu.  Dia sangat sayang sekali dengan gadis di depannya ini.  Bahkan teramat sangat berhutang budi.  Diraihnya pundak Dyah Puspita.  Direngkuhnya dalam pelukan yang dalam dan lama. 

Lamunan panjang Dyah Puspita terputus saat jalan setapak di depannya ternyata bercabang dua.  Kini dia harus mengandalkan perasaan atau tebakan saja jalan mana yang harus dilalui.  Namun dia teringat sesuatu,

"Sima, kesini...jalan mana yang harus kita lalui.  Tunjukkan arah mana yang mempunyai aura sihir paling kuat..."

Harimau perkasa itu mendekati Dyah Puspita dan mengendus udara bergantian di dua cabang jalan setapak itu.  Kemudian menoleh kepada Dyah Puspita sambil berjalan pelan memasuki cabang sebelah kiri.  Dyah Puspita dan Arya Dahana mengikuti.

Jalan setapak itu semakin menyempit dan akhirnya terputus sama sekali ketika mendekati sebuah lembah dengan pepohonan yang sangat lebat.  Dan seketika itu juga hawa dalam hutan itu berubah drastis.  Yang tadinya angin membawa garangnya kemarau.  Kini hawa dingin sangat menusuk.  Yang tadinya suara burung ramai mengeluhkan panas menyengat.  Kini suara burung burung itu terasa sangat merdu dan indah. Yang tadinya sungai sungai kecil yang ditemui hampir sekarat mati tak ada air.  Kini gemericik air mengalir tak henti henti. 

Perubahan ini dirasakan benar benar oleh muda mudi dan harimau sakti itu.  Mereka seperti bertemu surga setelah kelelahan berkeliaran di neraka. Dyah Puspita sampai sampai tidak tahan untuk tidak menyelupkan kaki dan membasuh muka di sungai jernih yang sangat sejuk itu.  Arya Dahana bahkan membuka baju atasnya dan menceburkan tubuh di air sepinggang itu.  Sima Lodra tak mau kalah, direndamnya seluruh badan raksasanya hingga hanya tampak mata dan hidungnya saja di atas permukaan air. 

Untuk beberapa saat mereka betul betul menikmati surga kecil itu.  Sampai akhirnya Dyah Puspita tersadar bahwa bukan itu tujuan mereka pergi kesini.  Dia segera memanggil Arya Dahana dan Sima Lodra untuk segera naik ke daratan dan melanjutkan perjalanan.  Dengan enggan Arya Dahana dan Sima Lodra mematuhi perintah itu.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun