Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

18 Desember 2018   11:19 Diperbarui: 18 Desember 2018   11:23 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dyah Puspita yang tidak menyangka bahwa semuanya menjadi begitu mudah, ikut terharu melihat mata perempuan itu berkaca kaca.  Tanpa terasa dia sudah maju dan memeluk Nyai Genduk Roban dengan penuh perasaan simpati.

"Jangan khawatir Nyai.  Aku akan menjaganya dengan segenap jiwaku.  Aku akan mengajarkannya ilmu kanuragan yang aku punya.  Selain itu dia juga bisa mengajarkan aku cara memasak yang enak..."

Nyai Genduk Roban semakin terharu.  Dipeluknya kedua gadis itu. Matanya mengeluarkan airmata namun tanpa suara.

Sejak hari itu, Arya Dahana menjalani ritual pengobatan sihir untuk menghilangkan kutukan Ratu Laut Selatan.  Ritual yang harus dijalaninya luar biasa aneh.  Dia harus bersamadi selama 10 hari 10 malam di bawah air terjun kecil tanpa mengenakan pakaian sama sekali.  Waktu jedanya hanya pada saat dia harus makan atau keperluan pribadi lainnya.  

Dia juga harus merapalkan mantra pembalik yang sangat rumit selama bersamadi.  Dengan telaten Ayu Wulan bergantian dengan Dyah Puspita menyediakan semua keperluan Arya Dahana.  Tentu saja mereka tidak menunggui karena posisi bersamadi yang aneh tadi. 

Hanya saat mengantarkan makanan atau baju saja mereka akan datang.  Itupun cukup diletakkan di sebuah batu besar di pinggir sungai air terjun tadi. Sima Lodra lah yang dengan setia menjaga Arya Dahana.  Harimau itu tidak pernah bergerak kemana mana.  Sepertinya ikut juga bersamadi di pinggir sungai.

Dyah Puspita juga mulai diajarkan ilmu ilmu sihir oleh perempuan tua yang baik hati itu.  Siang dan malam.  Ayu Wulan belum mulai belajar ilmu kanuragan.  Dia akan mulai belajar pada saat neneknya pergi nanti.  Dyah Puspita memutuskan bahwa nanti pada saat Nyai Genduk Roban pergi, dia dan Arya Dahana akan menetap sementara di hutan Roban hingga saat Naga Merapi terbangun dari tidurnya beberapa tahun lagi.

Ini hari ke sepuluh Arya Dahana menjalani ritual penyembuhan.  Empat hari yang lalu adalah saat yang paling berat.  Hari saat seharusnya dia kambuh.  Tapi ternyata dia tidak kambuh.  Hanya saja dia merasa semua tulang tulangnya hampir copot.  Aliran darahnya seperti mengalir terputus putus.  Detak jantungnya melambat.  Matanya berkunang kunang.  Dan yang paling parah adalah dia harus muntah berkali kali tanpa boleh berhenti bersamadi.  Muntah yang dikeluarkannya bukan berupa makanan atau air, namun berupa asap biru hitam.  Arya Dahana melalui hari itu dengan siksaan terberat yang pernah dialaminya.

Sekarang tubuhnya terasa sangat segar.  Bahkan hawa murni berlawanan yang seringkali saling mengancam di dalam perutnya, sangat jauh berkurang.  Ritual itu juga ternyata bermanfaat mengendalikan hawa murni di dalam tubuhnya. Telinga dan matanya menjadi jauh lebih tajam.  

Seperti saat dia mendengar suara teriakan teriakan layaknya orang sedang bertempur.  Arya Dahana kaget bukan main.  Itu suara yang sangat dikenalinya.  Suara Dyah Puspita. 

Diliriknya Sima Lodra tetap memejamkan matanya di pinggir sungai tanpa menyadari sesuatu telah terjadi.  Arya Dahana menjadi gundah.  Ritualnya baru selesai sore hari.  Dia sama sekali tidak boleh meninggalkan area air terjun itu.  Waktu jeda yang dia punyapun sangat terbatas.  Karena jika dia melanggar aturan ritual itu, maka kutukan kabut itu akan berdiam selamanya dalam tubuh.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun