"Nyai Genduk Roban pergi entah kemana. Â Dyah Puspita ditangkap oleh pasukan Sayap Sima. Â Dibawa pergi ke ibukota Majapahit. Â Ayu Wulan ikut dengannya. Â Aku kebetulan lewat sini karena sedang mendapatkan tugas dari rajaku....nah masih ada lagi berondongan pertanyaan yang lain Arya?....Ahh aku tidak suka sebutan itu...terlalu banyak orang yang punya sebutan sama...aku akan memanggilmu Dahana saja...terserah kau suka atau tidak.."
Arya Dahana tertawa lepas," ha ha ha...kau boleh memanggilku apa saja Ratri. Â Arya boleh...Dahana boleh...tengil boleh...dekil boleh.."
Dewi Mulia Ratri ikut tertawa mendengar keceriaan pemuda itu.
"Nah Dahana, apakah kau sudah merasa sehat betul sekarang?"
Arya Dahana seperti tidak mendengar pertanyaan Dewi Mulia Ratri. Â Dia sedang merenungkan sesuatu. Â Kepalanya mendadak terangkat seperti terkejut akan sesuatu lalu bicara dengan terburu buru.
"Apa...apa maksudmu Dyah Puspita ditangkap? Â Dibawa kemana? Apakah saat ditangkap dia baik baik saja?"
Terdengar sekali nada khawatir yang teramat sangat dalam suaranya.
Dewi Mulia Ratri merasa ada duri tiba tiba menyelusup dalam hatinya. Â Sikap Arya Dahana yang sangat mengkhawatirkan Dyah Puspita. Nada suaranya yang cemas. Â Matanya yang meredup seperti kehilangan hidup. Â Membuat Dewi Mulia Ratri mereka reka kesimpulan sendiri bahwa memang dua orang itu saling mencintai dan menyayangi. Â Dia tidak tahu apa arti duri yang tadi sempat mampir ke hatinya. Â Hanya saja ada rasa perih yang masih tersisa di sana.
Namun dia adalah Dewi Mulia Ratri. Â Putri Sanggabuana yang keras hati dan punya harga diri. Â Disimpannya semua itu dalam hati dan menjawab pertanyaan Arya Dahana sambil tetap tersenyum,
"Dahana, Kakak Dyah Puspita baik baik saja. Â Dia dibawa ke ibukota Majapahit untuk diadili. Â Begitu yang aku dengar dari percakapan mereka sebelum pergi."
"Hah? Diadili?! Wah wah...kita...eh.. aku harus segera menyusul kesana. Â Banyak orang jahat di sana. Â Dia bisa dihukum mati....duuhhh."