Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

18 Desember 2018   11:19 Diperbarui: 18 Desember 2018   11:23 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tuan putri yang cantik jelita.  Maafkan saya kalau lancang tadi.  Saya hanya mencoba memeriksa apakah tuan putri sehat atau sakit? Waras atau gila?... begitu....ehhh maaf keceplosan..." Arya Dahana menutup mulutnya mendengar kalimat terakhirnya sendiri.

Dewi Mulia Ratri yang tadinya geli kembali merengut mendengar pemuda itu menuduhnya gila.

"Aku bukan tuan putrimu.  Kamu memang lancang tadi.  Dan berani beraninya kau sebut aku gila??!"

Dewi Mulia Ratri bertolak pinggang sambil membusungkan dadanya.  Nafasnya kembang kempis menahan jengkel. 

Arya Dahana kini lebih terpaku lagi ke bumi.  Sekarang dia bisa memperhatikan seutuhnya gadis di depannya ini.  Tubuh yang sangat menawan.  Wajah galak yang tetap cantik jelita.  Sikap berani yang luar biasa.  Melihat dari penampakannya, gadis ini pasti sakti bukan main.  Dia juga berpikir, pastilah gadis ini yang telah merawatnya saat dia terluka beberapa hari ini.  Tidak mungkin Sima Lodra bisa memberinya tetesan air minum ke mulutnya.  Bisa bisa cakar besar itu merontokkan giginya saat berusaha membuka mulutnya.  Dia bisa melihat baju dan tubuhnya juga bersih.  Perasaan aneh yang tadi menyergap hatinya datang lagi.  Ada rasa sengkring sengkring di ulu hatinya.  Seperti aliran kilat yang diluncurkan dari langit memasuki tubuhnya.

"Baiklah bukan tuan putri.  Aku harus memanggilmu apa?"

"Hmmm...namaku Dewi Mulia Ratri.  Kamu bebas mau memanggilku apa saja.  Asalkan jangan tuan putri.."

"Baiklah Dewi... ahhh bukan.  Mulia....tidak cocok.  Dewi Mulia....ehm kepanjangan.  Ratri...nah ini baru panggilan yang cantik....Ratri, maafkan aku.  Aku tahu, pastilah kamu yang telah merawatku.  Aku ingin berterima kasih untuk itu.  Dan maafkan  kalau sikapku sangat buruk kepadamu..."      

Dewi Mulia Ratri tertegun.  Pemuda ini sangat sopan sekali.  Tata bicaranya tidak lagi slengekan.  Teratur dan rapi seperti cara bicara orang yang terpelajar.  Tanpa sadar gadis ini mengangguk anggukkan kepalanya.

"Bolehkah aku mendapatkan cerita lengkap mulai dari aku pingsan sampai aku siuman tadi.  Kemanakah Dyah Puspita? Ayu Wulan? Nyai Genduk Roban? Dan bagaimana kau bisa tiba tiba ada di sini menolongku Ratri?"

Dewi Mulia Ratri tersenyum,

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun