Judul: Bleeding Heart
"Arghhhhh!!!" Mira berteriak, suaranya keluar bagai petir di siang bolong mengejutkan banyak orang, termasuk aku yang berada di sampingnya.
"Ini semua menyebalkan, menyebalkan, menyebalkan sekali." Mira meraih apa pun di sekitarnya lantas melemparkannya sembarangan.Â
"Dasar laki-laki menyebalkan, rasanya ingin ku remas-remas dia hingga menjadi debu." Mira menarik kasar dedaunan di sampingnya lantas meremas-remasnya seolah-olah daun-daun itu adalah seseorang yang sedang diomelinya.
Daun-daun di tangannya hancur seperti tergilas mesin penghancur, dan sekali lagi tangannya siap mencari mangsa selanjutnya. Sudut matanya melirik ke arah pot bunga cantik milik nenek. Mira melangkah ingin mengambil pot bunga itu, dan mungkin akan dilemparkannya seperti benda-benda yang lain.
Aku cepat memotong gerakannya, tidak akan kubiarkan bunga kesayangan nenek hancur begitu saja hanya karena sikap kekanak-kanakannya.
Mira melotot ke arahku. Aku menggeleng, berusaha bilang jangan. Tapi Mira menepis tubuhku hingga terdorong ke samping, dia tetap melangkah menuju bunga ini.
Aku melangkah cepat, berusaha tiba di depan pot bunga itu sebelum Mira.
"Minggir, Rion." Sekali lagi Mira menepis tubuhku.
"Mir, itu bunga kesayangan nenek. Jangan coba-coba kau rusak atau kau akan kena omel lebih dari sebulan."
Mira mendengus, tetap menghampiri bunga itu.
"Bunga ini jelek, dan apa namanya? Bleeding Heart, hati yang berdarah? Heh, apa cantiknya bunga ini."
"Cantik ataupun tidak, bunga itu punya nenek, dan paling disukai nenek."
"Kau tidak sadar, Rion. Bunga ini bukan kesayangan nenek, tapi bunga ini adalah luka bagi nenek. Kau mungkin tidak pernah memperhatikannya, tapi aku selalu bisa melihat itu ketika nenek menatap bunga ini."
"Apa maksudmu?"
"Heh, apa maksudku? Kau terlalu polos melihat semuanya, Rion. Mengunyah mentah-mentah apa yang dikatakan orang lain. Tapi aku tidak, aku selalu bisa melihat sesuatu dibaliknya."
"Kau lupa, Mir. Kau baru saja ditipu mentah-mentah oleh seorang cowok. Kau berteriak, bilang ingin meremas-remasnya hingga menjadi debu, marah-marah, dan melepaskan semua amarahmu itu kepadaku. Kau yang terlalu polos, seperti anak kecil saja, hanya bisa marah."
"Enak saja. Aku tidak ditipu mentah-mentah olehnya."
"Lalu apa namanya, ketika seorang cewek yang begitu tergila-gila dengan seorang cowok yang hanya memanfaatkannya, menyuruh-nyuruhnya mengerjakan ini, itu, belikan ini, itu, dan apa yang dilakukan ceweknya, astaga bodoh sekali cewek itu, menuruti semua perintah pujaan hatinya tanpa sedikit pun merasa bahwa dia telah ditipu, hanya dimanfaatkan sebagai babu pribadi."
Mira menimpukku dengan tas bahunya. Aku refleks mundur dan membuat tameng dengan tangan di depan wajahku. Dia terus mengejar, memukul-mukulkan tasnya ke arahku, dan aku terus menghindar. Jadilah saat itu kami berlari-lari, saling mengejar dan dikejar.Â
Aku berusaha lari sekencangnya menghindari pukulannya, berputar-putar di halaman belakang, dan saat seolah tidak ada celah lagi aku bisa menghindar dari pukulannya, nenek datang. Syukurlah, aku menghembuskan napas.
"Sudah besar kok masih main kejar-kejaran, anak Bu Ani di sebelah saja tidak main lagi, kalian yang sudah besar, tua, mahasiswa akhir dari kampus top, lari-larian? Sepertinya dunia memang sudah benar-benar terbalik." Nenek mengomel di depan pintu melihat kelakuan kami.
Kami berdua hanya nyengir, saling lirik dan saling melotot satu sama lain.
"Sudah, ayo masuk, nenek masak makanan kesukaanmu, Mira."
"Yeyyy, terima kasih nenekku yang cantik." Mira berlari menghampiri nenek.
Nenek mengangguk, tersenyum malu karena disebut cantik.
"Makanan kesukaannya Rion juga ada kan, nek?"
"Nggak ada. Kan kata nenek tadi makanan kesukaannya Mira, M, I, R, A. Mira bukan Rion." Mira membuat muka olok-olok ke arahku.
Aku melotot. Menatap ke arah nenek, "Ada kan, nek?"
"Eh!" Nenek terlihat merasa bersalah.
Mira di sebelah nenek, tersenyum penuh kemenangan, maksudnya apalagi kalau bukan benarkan, hanya makanan kesukaannya Mira.
"Sudah, sudah, ayo masuk, kita makan bersama. Nenek sudah lapar "
Kami bertiga melangkah memasuki rumah, seketika aroma wangi semur ayam tercium, perutku bereaksi seketika menciumnya.
"Nah, nenek masak banyak semur ayamnya."
"Nek, kenapa masak semur ayam sih" aku mencomot topik makan siang itu.
"Ya, karena Mira, cucu kesayangannya nenek suka semur ayam." Mira bicara dengan mulut berisi penuh makanan.
"Karena semua orang suka semur ayam, Rion. Mira, nenek, termasuk juga kau kan? Kedua, karena bahan masaknya hanya bisa buat masak semur ayam" nenek menjelaskan setelah selesai menelan makanannya.
"Nah, tuh dengarin, Mir. Bukan karena kamu yang suka."
"Terserahlah" Mira sibuk dengan semur ayam di piringnya.
"Oh iya, ngomong-ngomong soal suka, ada yang lagi patah hati, nek." Aku sengaja melirik Miri saat mengatakan itu.
"Oh ya? Siapa? Teman kamu di kampus?"Â
"Iya, nek. Teman aku di kampus, kasihan banget deh, nek. Dia sih, padahal ya nek sudah aku bilangin berkali-kali kalau orang yang dia suka itu tidak suka dia, tapi masih saja ngeyel."Â
Mira di seberang meja melempar buah anggur ke arahku, melotot.
"Mira, jangan lempar-lempar makanan. Nenek tidak suka." Nenek menatap tajam ke arah Mira.
Aku tersenyum, berusaha menahan tawa.
"Maaf, Nek. Habisnya Rion..." Dia melotot ke arahku.
"Kenapa Rionnya? Dari tadi dia santai makan kok, sudah, lanjutkan makannya."
Setelah makan, nenek bilang ingin istirahat duluan, kami berdua mengangguk, kami bisa membereskan meja jua mencuci piringnya. Mira cekatan mengambil piring-piring kotor di atas meja, membawanya ke belakang untuk dicuci. Sementara aku bertugas merapikan, membersihkan apa pun di atas meja. Mengelap meja makan itu, ada gambar bunga-bunga berhamburan di atasnya, aku tersenyum sepertinya nenek memang penyuka bunga sejati. Lihatlah setiap jengkal rumahnya dipenuhi oleh bunga, mulai dari bunga yang memang benar-benar bunga, maupun hanya sebatas gambar saja seperti di meja makan ini. Tapi... apa yang dikatakan Mira tadi. Apakah itu sungguhan atau hanya kata-kata isengnya saja karena terbawa emosi? Tapi Mira tidak pernah bicara ngawur, separah apapun emosinya. Gerakan tanganku mengelap meja perlahan berhenti, mataku menatap kosong, pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan. Luka? Kalau itu luka bagi nenek, kenapa nenek merawatnya? Bukankah jika seseorang terluka oleh sesuatu, dia akan langsung membuang sesuatu itu, berusaha melupakannya? Kenapa harus dirawat?
"Hei! Ngelamun saja, bersihin yang benar mejanya." Mira menepuk bahuku, membuatku terbangun dari lamunan.
"Iya, iya. Ini juga lagi dibersihin."
Mira duduk di salah satu kursi, tangannya terjulur mengambil sembarang buah. Aku yang sudah selesai mengelap meja ikut duduk di kursi.Â
"Mir"
"Iya" dia menjawab dengan mulut sambil mengunyah buah apel.
"Ngomong-ngomong..."
"Jangan bicara soal orang itu lagi ya, jika kamu bicara tentang dia lagi, kamu ku coret dari daftar nama teman masa kecilku." Mira mengancam.
"Aku tidak ingin membahas itu, tapi tentang perkataanmu tadi."
"Tadi? Yang mana?"
"Perkataanmu kalau bunga bleeding heart itu bukan bunga kesukaannya nenek tapi luka bagi nenek."Â
Mira tersedak, dia cepat menyambar gelas air yang ada di meja lantas meminumnya. "Lupakan saja perkataanku yang itu, Yon. Tidak penting."
"Tapi aku ingin tahu, apa maksud kata-katamu tadi."
"Lupakan saja, Rion. Sudah lah, aku ingin pulang dulu. Bye, sampai jumpa besok di kampus." Mira bergegas meraih tasnya, melambaikan tangan dan pergi.
***
Esok hari, di kampus.
Pukul delapan lewat tiga puluh, masih satu jam lagi aku masuk kelas, tapi tadi aku memutuskan berangkat lebih awal, sengaja ingin bertanya tentang bunga itu lagi ke Mira.Â
Aku duduk di kursi dekat pintu ruang kelasnya Mira agar nanti ketika kelasnya selesai aku bisa langsung menemuinya dan bicara dengannya.
Lima menit, pintu ruang kelas itu terbuka. Eh, kelasnya sudah selesai? Bukankah masih lima belas menit lagi baru selesai? Dosen mata kuliah Bahasa Inggris di program studi-ku keluar dari pintu itu--entah di program studinya Mira dia mengampu mata kuliah apa, dan tidak lama mahasiswa di dalamnya beranjak keluar, termasuk Mira. Hei! Dia berjalan beriringan dengan....
"Mira!" Aku melangkah sambil memanggil namanya. Mira menoleh, menghentikan langkahnya.
"Hai, Rion. Ada apa?"
"Dia..." aku menunjuk laki-laki di sebelah Mira.
"Calon suamiku. Dia baru saja melamarku tadi" Mira menjulurkan tangannya, memperlihatkan cincin di jari manisnya.
"Calon suami?" Aku bertanya dengan suara antara terdengar atau tidak.
Mira mengangguk, "Iya, dan kami akan segera menikah, setelah wisuda nanti."
Laki-laki di sampingnya tersenyum, menjulurkan tangan ke arahku. "Dewa, namaku Dewa."
Demi sopan santun aku juga ikut menjulurkan tangan, berjabat tangan dengannya juga balas menyebutkan nama, "Rion"
"Oh iya, kau ada perlu apa?" Mira bertanya.
"Tidak ada, nanti saja. Aku ada urusan lain. Bye." Aku segera pamit, melangkah cepat, pergi... entahlah kemana saja. Kakiku melangkah sembarangan, tak tentu arah. Ada sesuatu yang berbeda dariku. Tapi apa? Ada sesuatu yang terasa berbeda di dalam diriku, sakit? Kesal? Atau apa? Aku tidak mengerti. Dan karena apa? Aku benar-benar tidak tahu. Hei, tiba-tiba aku tersadarkan, aduh kenapa aku menuju parkiran, bukankah aku masih ada kelas? Aku melangkah kembali ke dalam bangunan kampus, kali ini menuju ruang kelasku. Tiba di sana, masih berlangsung pembelajaran di sana, aku memutuskan menunggu.Â
Hening, senyap, dan aku hanya duduk dalam diam, menatap kosong ke depan. Apa ini? Apa yang kurasakan ini? Rasanya tidak enak sekali, aku sakit? Aku menyentuh dahiku dengan belakang telapak tangan, dingin, tidak panas. Tapi aku merasa tidak enak.
"Hai, Rion. Selamat pagi." Ada yang menyapaku, tapi aku tidak tertarik membalas sapaan itu. Hatiku sibuk mencari penjelasan, apa yang telah terjadi? Kenapa aku merasa begini?
"Rion. Hei!" Orang yang memanggilku menggerak-gerakkan tangannya di depan mataku. "Kamu baik-baik saja, Rion?"
Aku menoleh, Linda, dia yang menyapaku tadi. Aku mengangguk, aku baik-baik saja. Dia menatapku seperti menyelidik, lalu duduk di kursi, di sebelahku.
"Kamu benar baik-baik saja, Rion. Kamu terlihat seperti tidak baik-baik saja." Dia menatapku dari samping.
"Aku baik-baik saja, Lin. Hanya sedikit tidak enak badan."
"Kamu sakit?"
"Entahlah." Aku menyandarkan punggungku di kursi, menghela napas berat.
"Kamu sedang punya masalah?"
Aku menoleh, menatapnya lantas menggeleng.
"Baiklah, coba ceritakan semuanya. Ada waktu setengah jam lagi hingga kelas dimulai. Ceritalah, aku akan mendengarkanmu." Dia memperbaiki posisi duduknya, menghadap ke arahku.
Aku sekali lagi menghela napas, baiklah aku akan cerita kepadanya, lagi pula aku sudah lama mengenalnya, dia bisa dipercaya, sama halnya dengan aku bisa percaya pada Mira. Bedanya Linda tidak pernah membuat pertengkaran denganku, sedangkan Mira selalu saja beradu mulut denganku.
Aku mulai bercerita, tepatnya sih curhat. Linda mendengarkannya saksama. Aku menceritakan bagaimana Mira yang marah-marah kemarin lantas tidak sengaja menyebut soal bunga bleeding heart sebagai luka bagi nenek, kemudian aku yang datang cepat ke sini ingin menanyakan itu kepada Mira, dan Mira yang sudah dilamar oleh laki-laki yang kemarin, baru saja kemarin dia bilang ingin meremas-remas laki-laki itu, tapi hari ini dia menerima lamaran itu? Aku sedikit menaikkan intonasi suaraku ketika mengatakan itu, dan Linda hanya tersenyum--senyum yang tidak kusadari itu adalah senyum yang dipaksakan.Â
Sepuluh menit, ceritaku selesai. Aku menghembuskan napas, rasanya lega sekarang setelah menceritakan itu.
"Terima kasih telah mau mendengarkanku."
Linda mengangguk, "Dan sepertinya aku punya sedikit saran untukmu."
"Saran?" Aku menatapnya heran.
"Iya, sebaiknya kau bilang ke Mira kalau kau selama ini bukan hanya menganggapnya teman sejak kecil, sahabat yang selalu ada atau orang yang bisa diajak bertengkar. Tapi kau juga menganggapnya lebih dari itu. Kau sadari atau tidak Rion, kau sepertinya mencintai Mira, menyayangi lebih dari seorang sahabat."
"Itu tidak mungkin, Lin. Aku hanya menganggapnya sebagai teman, sahabatku yang bisa ku ajak bermain juga bertengkar, tidak lebih dari itu."
"Tapi kenyataannya? Kau menganggapnya lebih dari itu, Rion. Kau mengakuinya atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kuharap kau bisa menyadari itu secepatnya, agar saat kesadaran itu muncul, kau tidak akan menyesal."
"Menyesal?" Aku bergumam.
"Karena sudah sangat terlambat menyadari itu. Waktumu hanya sebentar. Mira, wanita yang cerdas, dia bisa menyelesaikan kuliahnya kapan pun, lantas wisuda. Kau tidak akan menunggu sampai dia sudah resmi menjadi istri orang lain, bukan?"
Aku, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku mencintainya? Mira? Bagaimana mungkin? Tapi yang dikatakan Linda, juga apa yang kurasakan ini? Ya, perasaan ini muncul saat aku mendengar Mira sudah dilamar. Apakah aku cemburu karena itu? Aku benar-benar telah mencintainya?
"Aku mau ke toilet dulu, Yon. Titip tempat duduk, ya." Linda melangkah menuju toilet, meninggalkanku sendiri lagi di sini.Â
Ting!Â
Ponselku berdering. Ada pesan masuk. Maaf, anak-anak. Ibu ada acara di luar, jadi perkuliahan hari ini ditunda. Untuk perkuliahan susulan akan kita diskusikan nanti. Terima kasih. Aku mengeluh dalam hati. Satu jam lebih aku menunggu, dan kelasnya dibatalkan? Aku beranjak ingin pergi, pulang, tapi... hei itu tas Linda dia pasti meninggalkannya tadi saat bilang ingin ke toilet. Baiklah, aku akan menunggunya dulu.
Lima menit. Nah, itu dia.Â
"Kelasnya dibatalin, Lin. Kamu sudah baca pesan di grup?"
Linda mengusap matanya berkali-kali, "Dibatalin?"
"Iya. Kamu kenapa, kelilipan?"
"Tidak apa." Linda tersenyum.
"Kenapa hidungmu juga merah? Kamu habis menangis?"Â
"Tidak, hanya habis bersin tadi." Linda sekali lagi tersenyum.
"Kamu sakit?"
"Aku hanya bilang bersin, Rion. Bukan bersin-bersin. Aku baik-baik saja." Dia sedikit tertawa, membuat matanya berair.
"Kamu langsung pulang, Lin?" Aku bertanya saat Linda mengambil tasnya dari kursi.
Dia mengangguk, "Tidak ada kelas lagi hari ini, juga tidak ada yang ingin kulakukan di kampus."
"Mau makan bersamaku? Anggap saja sebagai bayaran atas curhatanku tadi."Â
"Aku temanmu, Rion. Tidak ada bayar-bayaran dalam pertemanan."
"Baiklah, kalau begitu anggap saja aku mentraktirmu karena ..."
Linda menunggu lanjutan kalimatku.
"Tiga bulan lagi ulang tahunmu." Aku tertawa, Linda juga tertawa, tapi dia mengangguk.
***
Kami berdua berjalan menuju kantin kampus. Linda yang mengusulkan tempatnya. Tadinya sih aku mau mengajaknya ke kafe kampus, tapi dia menggeleng bilang mahal, lebih baik ke kantin. Aku menyetujuinya--mengingat aku yang akan membayar semua makanannya, tentu saja aku langsung setuju dengan idenya, hehe.Â
Kantin kampus kami tidak seperti kafe kampus, meski sama-sama memakai nama kampus. Kantin itu sederhana, terdiri dari berbagai macam gerobak makanan dan abang-abang penjualnya. Memesan makanannya pun mudah, tinggal datang, bilang ke abangnya ingin mesan ini, itu, kemudian duduk, dan tidak lama setelahnya makanan akan datang, dengan aroma sedap yang menggugah selera.
Aku memesan makanan, Linda duduk di kursi menunggu.Â
"Baksonya dua ya, bang. Yang satu tidak pakai sayur, juga tidak pakai bawang." Aku menyebut pesanannya.
"Siap, Mas."
Aku melangkah lagi ke samping, menuju gerobak yang lain untuk memesan air minum.
"Teh esnya dua ya, Bu."
"Siap, den."
Kemudian aku kembali ke meja, tempat Linda duduk.Â
"Kau sudah memikirkan apa yang kubilang tadi?" Linda bicara, mengisi waktu menunggu pesanan kami datang.
"Memikirkan apa?"Â
Linda menepuk dahinya pelan, "Aduh, kamu pelupa sekali sih, Rion. Tentang Mira..."
"Hai. Kalian sedang membicarakanku." Mira datang, bergabung duduk bersama kami.
"Tidak, siapa yang ngomongin kamu." Aku berusaha berkelit.
"Jangan bohong deh. Aku dengar kok tadi Linda sebut nama Mira. Benarkan, Lin?"Â
Linda bingung ingin menjawab apa, menatapku seolah bertanya apa yang harus kukatakan? Untungnya abang penjual bakso datang mengantar makanannya.
"Satu mangkok lagi ya, bang. Yang pedas."
"Siap, neng."Â
"Kenapa kalian tidak mengajakku makan? Biasanya kan kalau mau kemana-mana selalu mengajakku, dan kita selalu pergi bertiga."
"Kami takut mengganggumu" aku menjawab sambil menyendok bakso di mangkok.
"Mengganggu apanya?"
"Kamu kan sudah punya calon suami, jadi pasti tidak punya waktu lagi kan untuk pergi bersama kami." Aku menyeruput kuah baksonya,Â
"Eh, siapa bilang? Aku selalu punya waktu kok untuk kalian."
Linda hanya diam, dia perlahan juga mulai memakan bakso miliknya.
"Lin, kamu juga kenapa. Kok jadi lebih pendiam sih?"
Linda tersedak. Aku bergegas mengambilkannya air. Ada air mineral botol di meja, aku membukanya, menyerahkannya ke Linda.
"Makasih, Yon."
Aku mengangguk.
Abang penjual bakso kembali mengantarkan makanan ke meja kami. Juga disusul ibu penjual air minum.
"Terima kasih, Bu."Â
"Kamu tidak pesan air, Mir?" Linda bertanya, melihat Mira tidak memesan air ke ibu penjual air tadi.
"Tidak, air mineral botol saja, Lin. Bisa kamu ambilkan satu?"Â
Linda mengangguk, mengambil satu botol air mineral.
"Mir"
"Iya" Mira mengangkat wajahnya, dia habis menyendok bakso.
"Sepertinya Rion ingin bicara sesuatu padamu." Linda menatap Mira, kemudian menatapku.
Aku hampir tersedak, secepat ini aku harus bicara?
"Mau bicara apa, Yon? Oh iya, tadi pagi kamu juga menungguku kan di luar kelas? Mau bicara apa?"
"Tentang bunga bleeding heart itu, kamu belum menjelaskannya kemarin."Â
Linda di seberang meja terdengar menghela napas, melanjutkan menyendok baksonya.
"Soal itu. Tapi kamu yakin ingin mengetahuinya. Kata pepatah ya, eh pepatah atau bukan sih, ketidaktahuan itu terkadang lebih baik dari rasa tahu itu sendiri. Kamu yakin ingin mengetahuinya?"
Aku mengangguk mantap. Aku yakin, dan aku harus tahu apa maksud luka yang dikatakan Mira.
Mira menghela napas, kemudian bicara, "Kamu tahukan legenda bunga itu?"
Linda mengangguk.
"Tahukan, Rion?" Mira sekali lagi bertanya.
Aku nyengir, mana aku tahu legenda bunga itu.
"Makanya banyak-banyak baca, Yon. Jangan cuma nyiram bunganya saja."
"Iya, iya. Memang legendanya seperti apa?"
"Linda, kamu saja yang cerita, aku mau menghabiskan baksoku dulu." Mira kembali menyendok baksonya.
Linda mengangguk, dia menatapku dan Mira bergantian lantas mulai bercerita, "Bunga itu, bleeding heart dianggap sebagai simbol cinta abadi. Konon katanya, ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis cantik. Pemuda itu berniat untuk melamar gadis yang dicintainya, berbagai hal dilakukan pemuda itu sebagai bukti cinta darinya kepada gadis impiannya dan juga untuk meyakinkan gadis itu agar mau menerima cintanya. Segala hal dikorbankannya, baginya tidak ada yang lebih penting daripada gadis itu. Tapi sayangnya setelah semua pengorbanan itu, sang gadis impiannya tidak juga luluh terhadap cintanya. Pemuda itu putus asa, semua hartanya telah habis digunakannya untuk membeli barang-barang berharga untuk gadis pujaan hatinya, tidak ada lagi yang dia punya. Akhirnya, pemuda itu mengambil pisau dan menusukkannya ke jantungnya." Linda mengakhiri ceritanya.
"Lalu apa hubungannya dengan nenek?"
"Kata Oma, sebelum dia meninggal... Kamu tahukan kalau nenek sama oma itu sahabatan?"
Aku mengangguk.
"Tapi kamu harus janji, setelah aku menceritakan semuanya tidak akan ada berubah di antara kita. Janji?"
Aku mengangguk.
"Mereka selalu bersama, bahkan kuliah mereka mengambil program studi yang sama. Dan bukan haja mereka berdua, tapi bertiga, dengan kakek." Mira berhenti sejenak.
"Suka duka mereka lewati bersama, selalu bersama. Tapi, semua itu berubah saat cinta memasuki persahabatan mereka. Nenek mencintai kakek, dan Oma juga mencintai kakek. Mereka berdua mencintai orang yang sama." Mira sekali lagi berhenti.
"Awalnya semuanya berjalan baik-baik saja karena mereka semua menyembunyikan perasaan masing-masing. Tapi saat kelulusan hampir tiba, hanya menunggu waktu wisuda, kakek memutuskan menyampaikan perasaannya."
"Kakek menyampaikan perasaannya pada Oma?" Aku bertanya, menebak ceritanya.
Mira menggeleng, "Bukan, tapi kepada nenek."
"Lalu apa masalahnya, bukankah cinta nenek yang akhirnya terbalaskan?"
"Masalahnya..."
"Karena kakek mencintai Oma? Tapi karena melihat oma sudah dilamar orang lain dan menerima lamaran itu, kakek malah menyampaikan perasaannya kepada nenek?" Linda bicara, memotong kalimat Mira.
Mira menatapnya, " bagaimana kamu tahu?"
"Itu yang terjadi?" Aku bertanya.
Mira mengangguk, "bagaimana kamu bisa tahu itu, Linda?"
"Aku hanya menebaknya, Mir."
Mira menatap Linda, "kamu mengatakannya bukan karena kamu berada di posisi itu, kan?"
"Tentu saja tidak, Mir." Linda tertawa kecil.
"Syukurlah. Aku tidak ingin persahabatan kita berakhir sama seperti mereka."
"Aku juga tidak ingin itu terjadi."
"Apa yang terjadi selanjutnya?" Aku mendesak.
"Nenek dan kakek menikah, saat itu oma masih bertunangan dengan orang yang melamarnya."
"Orang yang melamarnya? Orang itu bukan opa?" Aku memotong, tidak sabar ingin mengetahui semuanya.
"Bukan, belum ada opa di potongan cerita ini, opa baru datang saat semuanya kacau balau, seperti seorang pahlawan di film-film." Mira menatap kosong kuah baksonya, menyimpul senyum.
"Apa yang terjadi dengan orang yang melamar Oma?" Linda ikut bertanya.
"Dia meninggal, tepat saat kakek menyelesaikan ijab qabul pernikahan dengan nenek."
"Meninggal begitu saja?"
"Menurut dokter, orang itu terkena serangan jantung. Tapi itu tidak penting, yang terpenting adalah saat itu oma kembali sendiri. Dan dimulailah cerita rumitnya." Mira menghela napas panjang.
"Kakek mulai meragukan keputusannya. Dia memikirkan banyak hal, pikirannya runyam. Dia mulai menyalahkan diri sendiri, kenapa dia harus tergesa-gesa melamar nenek, padahal dia bisa saja menunggu sebentar saja. Perilaku kakek berubah seratus delapan puluh derajat, nenek bingung melihat perilaku suaminya, apa yang telah terjadi pada suaminya? Bukankah dulu saat masih menjadi teman dia tidak sependiam ini? Apakah dia melakukan kesalahan? Dan keadaan itu diperburuk lagi ketika kakek akhirnya tahu perasaan Oma yang sebenarnya bahwa Oma sebenarnya juga mencintai kakek."
"Apakah nenek tahu soal itu?"Â
Mira mengangguk, "Tentu saja nenek tahu karena saat mengetahui fakta itu kakek ingin menceraikan nenek."
Aku menelan ludah, tidak menduga itu semua terjadi. "Apakah... apakah kakek pernah menikah dengan Oma? Dan..."
"Dan apa, Rion?" Mira menatap lemah, menunggu kalimatku.
"Apakah kamu cucu kakek dan Oma?"Â
Mira mengangguk pelan.Â
Aku terperanjat, itu berarti aku dan Mira...
"Tidak, itu tidak benar." Linda menggeleng.
Aku dan Mira menatapnya.Â
"Itu hanya setengah dari kebenaran yang terjadi. Semua itu tidak benar, Mira, Rion. Tidak pernah seperti itu kejadiannya."
"Bagaimana mungkin itu tidak benar, Lin. Oma yang menceritakan itu kepadaku."
"Apakah Oma pernah bilang, bahwa kakek juga pergi darinya?"
"Apa maksudmu?"
"Iya, memang benar kalau kakek menceraikan nenek, dan menikah dengan Oma. Tapi apa yang selanjutnya terjadi? Oma tidak menceritakan itu kan?"
Mira menggeleng patah-patah.
"Setelah bercerai dengan nenek, kakek tidak langsung menikah dengan Oma. Karena bagaimanapun juga nenek adalah sahabatnya, bagaimana mungkin dia akan menyakiti sahabatnya?"
"Tapi kakek jelas telah menyakiti nenek dengan menceraikannya." Aku memotong, intonasi suaraku sedikit naik.
"Perceraian tidak selalu seburuk yang dibayangkan, Rion. Meski kebanyakan kasus perceraian itu menyakitkan. Tapi dalam kasus kakek, itu adalah pilihan terbaiknya. Jika pernikahan itu dilanjutkan, itu hanya akan menyakiti banyak hati, nenek, kakek, juga oma. Nenek, yang setiap saat bisa melihat dan merasakan suaminya mencintai orang lain, dan  setiap detik dia harus meyakinkan hatinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja padahal dia tahu persis semuanya sedang tidak baik-baik saja. Kakek, yang meski dia yang memutuskan semua itu, tapi dia juga merasakan rasa sakit itu, melihat sahabatnya yang setiap detik terluka karena perasaannya, tapi dia juga tidak bisa mematahkan fakta bahwa dirinya mencintai orang lain."
"Setelah perceraian itu, nenek pindah ke rumahnya, dan sebelum dia pergi dia mengatakan sesuatu kepada kakek. Kalian tahu apa yang dikatakan nenek, dia mengatakan 'Kau tahu bagi seseorang yang tulus mencintai, dia akan ikut bahagia ketika orang yang dicintainya juga bahagia. Menikahlah dengannya, aku tahu dia bisa membuatmu bahagia lebih dari yang aku bisa lakukan.' "
"Dan kakek menikah setelah itu? Benar-benar laki-laki yang tidak tahu diri. Apakah dia hanya bisa memikirkan dirinya sendiri? Dasar egois."
"Ya, kau benar, kakek egois dan itulah yang dirasakan setelah menikah dengan Oma, apalagi saat dia tahu kalau nenek ternyata sedang mengandung anaknya. Kakek benar-benar merasa bersalah saat itu, dia merasa dirinya egois. Dan ..."
"Dan kakek melakukan hal yang sama lagi, dia menceraikan Oma?"
Linda mengangguk, "Tebakanmu benar, Mir. Kakek menceraikan Oma. Dan pergi jauh, sejauh yang dia bisa untuk melupakan semuanya."
"Apakah dia tidak memikirkan Oma juga? Bagaimana mungkin dia pergi begitu saja?"
"Iya, kau benar Linda. Itulah yang terjadi dan saat Oma ingin melahirkan, opa datang dalam kehidupannya."Â
"Bayi itu tidak pernah lahir ke dunia, Mir. Bayi itu meninggal saat dilahirkan. Ayahmu, dia bukan anak kakek, tapi anak opa."
"Bagaimana kamu tahu segalanya, Lin? Itu bukan hanya sekedar tebakan, tapi kamu mengetahui semuanya."
Aku hanya diam, kata-kataku seakan menguap oleh emosi, bagaimana mungkin itu semua terjadi?Â
"Aku... aku adalah seseorang yang sangat berhutang budi kepada kakek."
"Kau, kau bukan cucunya dari wanita lain lagi kan?" Aku bertanya, sebenarnya itu tidak seperti sebuah pertanyaan, tapi seperti tuduhan.
"Bukan. Aku adalah anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek sejak bayi. Aku sangat mengenal kakek, dia orang yang baik terlepas dari semua masa lalunya yang kelam. Dan untuk itulah aku ada di sini. Aku hanya ingin meneruskan pesan kakek."
"Dimana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin bertanya kenapa dia tega sekali melakukan itu semua, nenek, oma, apakah mereka pantas untuk disakiti."
Linda menunduk, "Kakek sudah pergi untuk selamanya, Rion. Tiga tahun yang lalu, karena itu lah aku bertemu kalian di kampus ini."
"Kau merencanakan semuanya sejak tiga tahun lalu? Tapi kenapa baru sekarang kau menceritakannya." Mira juga terlihat sedikit marah sekarang.
"Karena aku menunggu saat yang tepat, ketika kalian sudah siap menerimanya."
"Apakah sekarang waktu yang tepat, Lin?" Aku bertanya kasar.
"Aku tidak tahu ini tepat atau tidak, Rion. Tapi aku merasa aku harus mengatakannya sekarang. Sebelum semuanya terulang lagi."
"Terulang, lagi?" Mira bertanya heran, melupakan sejenak amarahnya tadi.
Linda menatapku, "Maaf, Rion, tapi aku harus memberitahu Mira." Dia sekarang menatap Mira, "Mir, sebelum semua terlambat, aku harus mengatakan ini. Rion mencintaimu. Pikirkanlah, jangan sampai masa lalu itu terulang kembali. Aku tahu kau juga menganggapnya lebih dari sekedar teman. Aku harus pergi, tugasku sudah selesai." Linda menyambar tasnya cepat, bergegas melangkah keluar. Aku menoleh ke Mira, Mira masih diam, dia mungkin masih mencerna semua yang baru saja didengarnya.Â
Aku berdiri melangkah menuju gerobak, membayar semua makanan yang dipesan juga minumannya. Kemudian kembali lagi ke meja, mengambil tas, sebaiknya aku juga pergi.
"Apakah itu benar, Rion?"
Gerakanku terhenti, Mira menoleh ke arahku. Aku mengangguk pelan. Mira berdiri, kami sekarang saling berhadapan.
"Kenapa kau tidak mengatakan itu sejak awal." Dia melepas cincin di tangannya, dan melemparkannya ke arahku.
Aku mematung, apa... apa maksudnya.
"Aku juga mencintaimu, Rion. Sangat mencintaimu. Yeah, meski kau itu sangat menyebalkan. Tapi, aku menyukai itu. Pertengkaran kita, kebersamaan kita, aku menyukainya."
"Lalu kenapa kau menerima lamaran itu."
"Rion, kau memang polos sekali. Itu rencanaku dan Dewa, sebenarnya itu juga saran darinya. Karena kau tidak juga menyatakan cintamu padaku."
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Sebenarnya sih aku juga tidak akan tahu kalau aku mencintaimu, jika kamu tidak menerima lamaran palsu itu."
Mira tertawa pelan.Â
"Jadi, apakah pernikahannya akan tetap dilangsungkan setelah wisuda, nyonya Mira? Eh, maksudnya pernikahan Rion dan Mira, bukan Dewa dan Mira"
Mira tertawa, "Hei, kau bahkan belum bilang ke nenek."
Aku menepuk dahi, astaga benar juga.Â
"Kalau begitu, aku akan mengatakan sepulang ini."
Mira mengangguk, setuju.
***
Kami berdua pulang naik angkot menuju rumah nenek. Itu yang harus dilakukan pertama kali, jika nenek setuju maka urusan selanjutnya mudah. Orang tua Mira sudah mengenalku, mereka pasti akan menyetujuinya.Â
"Aku gugup, Yon." Mira menghentikan langkahnya di halaman depan.
Aku tertawa, "ini rumah yang sama ketika kamu teriak kemarin, Mir. Juga tempat kamu makan semur ayam kemarin. Kenapa gugup sih?"
"Rasanya berbeda, Rion."
"Terserahlah. Yang penting ayo masuk."
Mira mengangguk. Kami melangkah memasuki rumah.
"Nenek, Rion pulang."Â
Hening, tidak ada siapa-siapa di rumah?
"Di dapur mungkin?"Â
Aku mengangguk, mungkin nenek sedang memasak di dapur. Kami melangkah lagi menuju dapur. Juga tidak ada siapa-siapa di sana. Dimana nenek?Â
"Dengar itu, Yon?" Mira memasang telinganya. "Ada yang bicara di halaman belakang."
Aku juga ikut memusatkan telingaku, benar ada yang bicara di halaman belakang. Aku melangkah cepat ke halaman belakang. Disusul Mira.
"Linda?" Langkahku terhenti ketika melihat siapa yang bicara di sana.
"Eh, kalian sudah pulang. Nenek pasti tidak mendengarnya karena sedang bicara dengan Linda. Tunggu, kalian saling kenal?" Nenek menatapku dan Linda bergantian.
"Iya, nek. Linda teman satu kampus kami." Mira yang menjawab.
"Apa yang kamu lakukan disini, heh? Ingin membuat nenekku mengingat masa lalu itu lagi?" Aku bicara kasar.
Linda hanya menunduk, pasrah mendengar semua kalimatku.
"Mira, ayo duduk, bergabung dengan nenek dan Linda." Nenek tidak menghiraukan kalimatku.
"Iya, nek." Mira patah-patah melangkah duduk di samping nenek. Melihatnya duduk, aku juga ikut duduk.
"Sepertinya kau sudah mengetahui semuanya, Rion." Nenek bicara datar.
Aku mengangguk.
"Tapi kau belum tahu segalanya." Nenek melanjutkan kalimatnya.
"Apakah ada lagi luka yang disebabkan orang tua egois itu, nek?"
"Rion! Dia kakekmu, bicara yang sopan tentang dia."
"Untuk apa aku bicara yang sopan tentang dia, nek. Jika dia saja tidak pernah memikirkan kita, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dasar egois!"Â
"Baiklah, sepertinya menyuruhmu bicara sopan saja tidak cukup. Tunggu sebentar." Nenek mengambil sesuatu dari tumpukan kertas di meja. "Lihatlah!"
Aku membaca kertas itu, itu kertas pemindahan kepemilikan suatu bisnis.Â
"Lihat namanya!" Nenek menyuruh. "Itu salah satu bisnis kakekmu, dia memberikannya kepada nenek untuk biaya hidup kita. Sekolahmu, pakaianmu, semua darinya. Dia tidak pernah lalai terhadap tanggung jawabnya."
"Tapi aku tetap tidak setuju dengan keputusannya."Â
"Itu sudah terjadi, Rion. Maka biarlah terjadi. Hidup harus terus berlanjut semenyakitkan apa pun itu."
"Linda sudah menceritakan semuanya. Kakekmu membayar semua kesalahannya dengan mendirikan rumah singgah, menampung anak-anak tidak beruntung, dan merawatnya. Menyekolahkan mereka, hingga menjadi seseorang. Nenek bangga dengannya."
"Tapi aku tetap tidak bisa menerimanya, nek. Dia... dia tega sekali melakukan semuanya. Dan aku tidak akan pernah bisa menerimanya karena itu terlalu sulit untuk diterima."
Nenek menghela napas, menatapku "Dulu nenek juga menganggapnya begitu, Rion. Tapi apa hasilnya, hari-hari nenek hanya dihabiskan mengenang semua itu dengan kesedihan. Setiap hari, setiap detiknya, hati nenek terluka. Apakah luka itu bisa disembuhkan? Dulu nenek menganggapnya mustahil, bagaimana mungkin luka sebesar itu bisa sembuh. Tapi ternyata nenek salah, ternyata waktu bisa mengobati segalanya, selama kau membiarkan itu terjadi. Dan seiring waktu juga, nenek akhirnya mulai menyadari sesuatu. Kenapa nenek tidak memandangnya dari kacamata yang berbeda? Nenek pernah merasakan kebahagiaan yang sungguh sangat sangat besar, saat kakek melamar nenek. Nenek sangat bahagia saat itu..."
"Tapi dia hanya menjadikan nenek sebagai pelarian." Aku memotong kasar perkataan nenek.
"Iya, nenek tahu. Tapi apakah kau pernah membayangkan bagaimana perasaan Omanya Mira, saat orang yang dia cintai justru melamar sahabatnya? Nenek memikirkan semua itu, lantas nenek berdamai dengan semuanya, tidak ada gunanya menyesali semuanya, menyumpahi kehidupan, itu tidak ada gunanya sama sekali. Saat itu nenek memutuskan fokus merawat ibumu, nenek disibukkan dengan keseharian nenek, dan perlahan kenangan itu bisa nenek lupakan, meski dalam arti yang berbeda, bukan melupakan yang kau tidak ingat sama sekali kejadian itu, tapi melupakan dimana nenek tidak merasa sakit lagi saat mengingatnya, tapi tersenyum. Dan karena itulah nenek merawat bunga ini." Nenek menunjuk bunga bleeding heart yang ada di atas meja. Aku tidak menyadarinya, sejak kapan bunga itu diletakkan di sini, bukannya ada di teras depan?
"Pemuda dalam legenda itu bodoh, Nak. Mau-maunya dia mengakhiri hidupnya hanya karena cintanya tidak diterima. Padahal ada banyak kesempatan di luar sana, ada banyak gadis lain di luar sana, kenapa harus dengan gadis yang satu itu? Jika pun dia memang mencintainya, dia akan mengikhlaskan gadis itu memilih sendiri kebahagiaan, dan dia? Dia akan tersenyum bahagia melihat gadis yang dicintainya bahagia meski bukan bersamanya."
Aku menunduk, merasa bersalah mengatakan itu semua. Apa hakku mengatakan itu? Bukankah yang merasakan semua itu nenek? Jika nenek saja ikhlas memaafkan laki-laki itu, apa dayaku menentangnya?
"Maaf, Nek."
"Tidak apa, nenek bisa mengerti." Nenek tersenyum ke arahku.
"Oh iya, nek. Rion mau bicara sesuatu sama nenek." Mira mengingatkan.
"Mau bilang apa, Rion?"
"Eh, Rion..., kamu saja yang bilang sana."
"Eh, masa aku sih."Â
Aku dan Mira saling sikut, saling menyuruh mengatakan itu kepada nenek.
"Mereka ingin menikah, nek." Linda mengatakannya, tersenyum.
"Itu benar? Rion, Mira."
"Iya, nek." Aku menggaruk kepalaku.
Mira mengangguk patah-patah, malu, baru kali ini aku melihatnya sungkan mengakui sesuatu.
"Kapan?"
"Kapan? Eh, nenek setuju?"
"Memangnya apa yang membuat nenek tidak akan setuju." Nenek tersenyum.
Mira memeluk nenek, "makasih nenekku."
Nenek mengangguk, tersenyum.
***
Dua bulan berlalu, setelah nenek merestui hubungan kami, juga orang tua Mira merestuinya, pernikahan kami digelar. Ada banyak tamu undangan di pernikahan kami, temanku, teman Mira, juga undangan rekan kerja orang tuanya Mira. Pernikahan kami berlangsung meriah. Sepertinya kisah cintaku tidak serumit kisah cinta segitiga nenek, Oma, dan kakek. Syukurlah.
***
Di meja pojok tempat pesta pernikahan Rion dan Mira.Â
Seseorang duduk di sana, tersenyum getir menyaksikan semuanya. Menatap bisu semua kemeriahan, menghela napas berkali-kali, juga berkali-kali menyimpul senyum palsu di wajah. Menampilkan ekspresi seolah semua baik-baik saja, padahal di dalam, di dalam hatinya sana, dia sedang hancur. Bagaimana tidak, jika seseorang yang dicintainya menikahi orang lain. Matanya berkaca-kaca melihat itu semua, dan berkali-kali juga dia mengusap matanya. Berusaha keras menahan air matanya tumpah.Â
"Di sini rupanya kau, nak?" Nenek, ya neneknya Rion bicara dengan seseorang itu.
Seseorang itu menoleh, tersenyum. Tidak ada air mata lagi di wajahnya, dia telah mengusapnya tadi, hanya senyum bahagia yang tergambar di wajahnya. "Duduklah, nek. Nenek mau sesuatu biar aku ambilkan."
Nenek menggeleng, "Tidak, nenek hanya ingin bicara denganmu."
Seseorang itu mengangguk.
"Entahlah, apa yang harus nenek katakan padamu. Kau jelas memiliki pemahaman yang hebat tentang hidup ini. Bram pasti mengajarimu banyak hal."
Seseorang itu mengangguk lagi.
"Tapi aku sedih, Nak. Kau yang harus menerima kesedihan untuk kebahagiaan cucuku. Kau mengorbankan perasaanmu sendiri."
"Tidak, nek. Nenek tidak usah sedih. Memang seharusnya Linda melakukan itu, dan seharusnya sejak awal Linda menghentikan perasaan itu mekar di hati Linda"
"Dan seharusnya dulu nenek melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan hari ini."
"Tidak ada yang perlu disesali, nek. Dan mulai sekarang Linda juga akan merawat bunga bleeding heart. Menganggapnya sebagai simbol cinta yang tulus untuk seseorang, meski itu tidak pernah tersampaikan."
Linda merebahkan kepalanya ke bahu nenek. Nenek lembut mendekap kepalanya. Mereka berdua tersenyum. Lihatlah di depan sana, di atas panggung dengan semua hiasannya, kedua mempelai siap melemparkan bunga ke para undangan.
-TAMAT-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H